KAFALAH DAN IMPELEMENTASI DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum, syarat kafiah adalah kafalah
harus seizin pihak yang menjamin. Pemjaminan yang dilakukan memang atas izin
dan permintaan. Selain syarat ini, masing masing rukun diatas ini mempunyai syarat tertentu,
syarat yang terkait dengan pihak penangung adalah, pihak penangung harus cakap
(berakal balik dan tidak dalam paksaan) pihak menjamin (kafil) harus mengetahui
objek yang menjamin selain itu menurut kalangan hanafiyah, pihak menjamin harus
ada dimajelis akad agar dapat mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya. Syarat yang terkait dengan pihak ashil yang
berutang yang dijamin (makhul anhu) adalah ia dan wakilnya (ahli warisnya) mempunyai
kemampuan untuk menyerahkan objek yang menjamin (makful bihi). Syarat lainya
adalah, pihak yang dijamin harusnya diketahui oleh pihak penjamin (kafil).
Menurut kalangan syafi’iyah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun dan syarak kafalah?
2. Apa saja jenis-jenis kafalah?
3. Kapan Berakhirnya Akad Kafalah Menurut yuni (2008)
berakhir akad kafalah?
4. Apa yang dimaksud Fee Akad Kafalah
?
5. Apa yang dimaksud dengan Al Kafalah (garansi)?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui rukun dan syarak kafalah
2. Untuk mengetahui jenis-jenis kafalah
3. Dapat mengetahui kapan Berakhirnya Akad Kafalah Menurut
yuni (2008) berakhir akad kafalah
4. Untuk mengetahui yang dimaksud Fee
Akad Kafalah
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Al Kafalah (garansi)
A. Pengertian
Kafalah
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman
(jaminan), hamalah (beban) dan zama’ah (tanggungan). Sedangkan menurut syara’ yaitu:
1.
Menurut madzhab Syafi’i
Al-Kafalah adalah “akad yang
menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau
menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang
berhak menghadirkannya.
2. Menurut madzhab Maliki
Al-Kafalah adalah “Orang yang
mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang
disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang
berbeda.
3. Menurut Sayyid Sabiq,
Pengertian kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafil menjadi beban asjhil dalam tuntutan dengan benda
(materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjaan.
B. Rukun
dan Syarat Kafalah
Rukun dan syarat kafalah ada dua, yaitu ijab
dan kabul rukun kafalah menurut jumhur
ada empat yaitu:
1. Pihak penjamin (al-kafil) yaitu
pihak yang mempunyai pihak yang kecakapan untuk mentafharuskan hartanya,
2. Objek yang dijamin (al-makful
bihi) , yaitu berupa hak dan dapat diwakili kepada pihak yang lain, biasanya
berupa utang atau barang hartan tertentu yang statusnya tertangung.
3. Pihak yang menjamin (al-makful’
anhu) yaitu pihak yang mempunyai tanggungan harta yang harus dibayar, baik
masih hidup maupun sudah mati.
4. Akad ijab dan kabul (sighat),
yaitu ungkapan, baik menguynakan lisan, tertulis maupun isyarat yang
menunjukkan adanya kehendak para pihak untuk melaksanakan kafalah.
Menurut kalangan syafi’iyah rukun kafalah ada
lima, yaitu empat sebagaimana disebutkan diatas, dan satu lagi yaitu adanya
pihak yang berpiutang (makful’)
1. Rukun
kafalah terdiri dari:
a. Pihak penjamin/penanggung (kâfîl,
dhamin, za’im), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak
penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan
tanggungan kafalah tersebut.
b. Pihak yang berhutang/yang dijamin
(makfûl ‘anhu, ‘shil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan
tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
c. Pihak yang berpiutang/yang
menerima jaminan (makfûl lahu, madhmun lahu), dengan syarat
diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu aqad atau memberikan kuasa, dan
berakal sehat.
d. Objek jaminan (makfûl bih, madhmun
bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik
berupa utang, benda, orang maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh penjamin,
harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin, hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan
spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz
ijab dan kabul itu berarti menjamin.[1]
Secara umum, syarat kafiah adalah
kafalah harus seizin pihak yang menjamin. Pemjaminan yang dilakukan memang atas
izin dan permintaan. Selain syarat ini, masing masing rukun diatas ini mempunyai syarat tertentu,
syarat yang terkait dengan pihak penangung adalah, pihak penangung harus cakap
(berakal balik dan tidak dalam paksaan) pihak menjamin (kafil) harus mengetahui
objek yang menjamin selain itu menurut kalangan hanafiyah, pihak menjamin harus
ada dimajelis akad agar dapat mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya. Syarat yang terkait dengan pihak ashil yang
berutang yang dijamin (makhul anhu) adalah ia dan wakilnya (ahli warisnya) mempunyai
kemampuan untuk menyerahkan objek yang menjamin (makful bihi). Syarat lainya
adalah, pihak yang dijamin harusnya diketahui oleh pihak penjamin (kafil).
Menurut kalangan syafi’iyah. Pihak menangung orang yang telah meningalpun diperbolehkan. Pasal 293 ayat (1) KHES
menyebutkan syarat terkait dengan makful, anhu peminjam, yaitu ia harus dikenal oleh kafil/penjamin.
Syarat yang terkait yang diberi
jaminan makful lahu antara lain, jelas orangfnya atau pihak yang jelas, harus
cakap dan harus ada pada saat akad. Pihak yang diberi jaminan harus berakal,
tidak harus baligh tapi seadanya anak kecil, ia harus mumayziz pasal 293 ayat
(2) KHES menyebutkan bahwa makful
lahu/pihak memberi pinjaman harus diketahui identitasnya.
2. Syarat
Objek Kafalah
Adalah harus berupa utang yang
mengikat. Onjek yang dijamin (makful bihi) harus suatu yang harus dipenuhi.
Seperti utang yang harus dipenuhi menurut wahbah al-zuhaili , syarat makful
bihi adalah makful bihi harus yang menjadi tanggungan pihak ashil baik berupa
utang barang , jiwa atau perbuatan makful bihi
harus mampu dipenuhi pihak kafil yang agar akad kafalah yang
dilaksanakan benar benar dimanfaatkan: utang yang ada harus benar-benar utang
yang statusnya mengikat dan sah:
3. Rukun
dan Syarat Kafalah
a. Pihak Penjamin (Kafiil)
1)
Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
2)
Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam
urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
b. Pihak Orang yang berutang (Ashiil,
Makfuul ‘anhu)
1) Sanggup menyerahkan tanggungannya
(piutang) kepada penjamin.
2) Dikenal oleh penjamin.
c. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul
Lahu)
1) Diketahui identitasnya.
2) Dapat hadir pada waktu akad atau
memberikan kuasa.
3) Berakal sehat.
d. Obyek Penjaminan (Makful)
1)
Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang,
baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
2)
Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
3)
Harus merupakan piutang mengikat (lazim),
yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
4)
Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
5)
Tidak bertentangan dengan syari’ah
(diharamkan).[2]
Syarat yang terkait objek yang
ditanggung adalah utang yang jelas dan mengikat para pihak jelas dan mengikat
para pihak. Utang merupakan utang hakiki yang memang wajib dibayar oleh puihak
pengutang. KHES pasal 294 menyebutkan bahwa syarat terkait objek jaminan makful
bihi adalah sebagaioi berikut:
1. Makful bihi atau objek jaminan
harus;
2. Merupakan tangungan peminjam baik
berupa uang, benda, atau pekerjaan.
3. Merupakan piutang mengikat/lazim
yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
4. Jelas nilai, jumlah, dan
spekifisikasinya dan
5. Tidak diharamkan.
C. Jenis
Jenis Kafalah
Menurut imam al-saraksi, kafalah ada dua
macam, yaitu kafalah bi al-nafsi (ansuransi jiwa) dan kafalah bi al-mal
(ansuransi harta). Menurut wahbah al-zuhaili, jenis-jenis kafalah antara lain
adalah jaminan terhadap barang (al-kafalah bin’ain), jaminan terhadap jiwa (al-kafalah
bilnafs) sementara bentuk kafalah yang umum di dunia perdsagangan antara
adalah.
1. Daman al-darak, yaitu jaminan
terhadap harga yang piuhak penjual dan penjamin terhadap barrang yang dijual
yang menjadi pihak pembeli.
2. Penjamin pasar, yaitu pihak penjamin utang yang akan menjadi tanggungan pihak
pedagang dan menjamin barang barang bersetatus barang tanggungan yang akan
diserahyterimakan kepadanya.[3]
3. Jaminan terhadap kekurangan akibat
ketidakkakuratan timbangan, takaran dan ukuran. Sementara menurut syafii
antonio, jenis jenis kafalah adalah sebagai berikut.
a. Kafalah bi nafs
Merupakan akad memberikan jaminan atas (personal
guarantee) srebagai contoh, dampak praktif perbankan untuk bentuk kafalah
bin-nafis adalah seorang nasabah yang mendapat pembiyayaan dengan jaminan nama
baik dan ketokohan seorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara tidak
memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat menguasakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiyayai mengalami kesulitan.
b. Kafalah bil-mall
Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunas uang.
c. Kafalah bit taslim
Bisa dilakukan untuk menjamin mpemgembalian atas barang
yang disewa, pada masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan dapat
dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama
dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank
dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee)
kepada nasabah itu.
d. Kafalah al-munjazah adalah jaminan
mutlak yang tidak dibatasin oleh jangka waktu dan bentuk kepentingan atau
tujnuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-mujazah adalah pemberian jaminan
dalam bentuk performance bond jaminan prestasi
suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dalam hal ini sesuai dengan
bentuk akad ini.
e. Kafalah al-muallaqah
Merupakan penyederhanaan dari kafalah al-mujazah, baik
noleh industri perbankan maupun asuransi al-mujazah, baik oleh industri perbankan maupun asurransi.
Kafalah dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu kafalah dengan harta dan kafalah dengan jiwa. Sementara itu jenis kafalah
ada tiga yaitu.
1. Al-kafalah bit taslim, yaitu
jaminan pengembalian barang yang disewa.
2. Al-kafalah al-mualaqoh, yaitu
jaminan mutlak tampa batas waktu,dan
3. Al-kafalah al-mualaqah, yaitu jaminan
yang dibatasi jangka waktu tertentu.
Dasar hukum Bank Garansi adalah perjanjian penanggungan
(borgtocht) yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1820 s/d 1850.
Kelangsungan Bank Garansi, maka penanggung mempunyai “Hak istimewa“ yang
diberikan undang-undang, yaitu untuk memilih salah
satu, menggunakan pasal 1831 KUH Perdata atau pasal 1832 KUH Perdata, yang
berbunyi, “Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang,
selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus
lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utang”.
Perbedaan kedua pasal tersebut menjelaskan, bahwa jika bank menggunakan
pasal 1831 KUH Perdata, apabila timbul cidera janji, si penjamin dapat meminta
benda-benda si berhutang disita dan dijual terlebih dahulu. Sedangkan jika
menggunakan pasal 1832 KUH Perdata, bank wajib membayar Garansi Bank yang
bersangkutan segera setelah timbul cidera janji dan menerima tuntutan pemenuhan
kewajiban (klaim). Dalam Bank Garansi, bank wajib mencantumkan ketentuan yang
dipilihnya dalam Bank Garansi yang bersangkutan, agar pihak yang dijamin.[4]
Mengenai hadis-hadis yang bertema sentral kafālat
al-yatῑm dengan dua sub tema, yakni hadis-hadis tentang dasar hukum
pemeliharaan anak yatim dan bentuk-bentuk pemeliharaan anak yatim, yang
tersebar dalam al-kutub al-tis’ah, kecuali Sunan al-Dārimiy22,
yaitu.
1. Dalam kitab Shahῑh al-Bukhāriy terdapat
2 matan hadis
2. Dalam kitab Shahῑh Muslim terdapat
1 matan hadis
3. Dalam kitab Sunan Abῑ Dāwud terdapat
2 matan hadis
4. Dalam kitab Sunan al-Turmudziy terdapat
1 matam hadis
5. Dalam kitab Sunan al-Nasāiy terdapat
1 matan hadis
6. Dalam kitab Sunan Ibn Mājah terdapat
1 matan hadis
7. Dalam kitab Musnad Ahmad bin
Hanbal terdapat 4 matan hadis
8. Dalam kitab Muwaththa’ Mālik terdapat
1 matan hadis.
Dari hasil takhrῑj tersebut dapat
diketahui bahwa hadis-hadis tentang kafālat al-yatῑm sebanyak buah hadis. Namun dalam pembahasan tulisan
ini penulis hanya mengangkat lima buah hadis untuk dianalisis secara tekstual dan
kontekstual.
Kelima hadis tersebut terdiri dari 1 buah
hadis tentang dasar hukum (keutamaan/balasan) bagi orang-orang yang memelihara
anak yatim, dan buah hadis yang
menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk pemeliharaan terhadap anak yatim, baik
terhadap diri anak yatim itu sendiri maupun dilakukan melalui metode bi
al-mawdhū’iy dengan menggunakan alat bantu berupa kamus hadis yang berjudul
Miftāh Kunūz al-sunnah. Hasilnya, ditemukan tema hadis tentang al-yatāmā,
tetapi di dalamnya tidak ditemukan hadis-hadis tentang dasar hukum pemeliharaan
anak yatim dan bentuk-bentuk pemeliharaan anak yatim yang mejadi obyek kajian
penulis.20 Oleh karena itu, Ulama fiqih menyatakan bahwa kafalah dibolehkan
apabila di akadnya dengan lafal tertentu, yang menurut ulama mahjab hanafi dan
sfi’i dapat berbentu as-sarih (jelas atau al-kinayah (sindiran). [5]
Lembaga jaminan kafalah dalam hukum islam ,
secara umum jaminan dalam hukum islam (Fiqih dibagi menjadi dua, jaminan yang
berupa orang (personal guarancy) sering dikenal dengan istilah kafalah,
jaminan yang berupa harta benda yang dikenal dengan istilah rahn.[6]
D. Berakhirnya
Akad Kafalah Menurut yuni (2008) berakhir akad kafalah dapat dilakukan dengan
tiga cara yaitu:
1. Jika kafalah berbentuk harta, maka
diangap lunas dua cara:
2. Membayarkan kepada memberi utang atau suatu yang sama dengan
makna membayar, baik pembayar itu dilakukan, baik pembayaran dilakukan oleh
pemnjamin aqtau orang yang yang dijamin,
3. Dibebaskan (pemutihan) atau cara
yang sama dengannya, apabila pemberi uang membebaskan menjamin atau orang yang
dijamin, maka utang nya bearti sudah lunas (selesai) berdasarkan
kafalah,kecuali yang dibebaskan itu adalah penjamin saja, maka orang byang berutang
tidak bebas dari utangnya.
4. Jika kafalah dengan badan (diri) atau kafalah bi al-nafsi dapat selesai dengan
dua cara yaitu:
a. Penyerahan diri kepada orang yang
menuntut kafalah, pada tempat yang mungkin untuk menghadiri dimajlis hakim.
b. Pembebasan yaitu orang yang
memberi utang (yang berhak) membebaskan penjamin tersebut. Akan tetapi orang yang berutang, maka
keduanya bebas.
E. Fee
Akad Kafalah
Ulama fiqih menyatakan bahwa, akad kafalah
seorang kafil tidak memperkenalkan pengembalikan (upah) atau jasa pertangungan
yang telah diberikan kepada makful.[7]
Wakalah bukan akad yang mengikat melainkan
akad yang ja’iz (artinya bisa dibubarkn). Imam malik berpendapat bahwa
pemberian kuasa itu ada dua macam yaitu,
bersifat umum dan khusus, bersifat umum ialah memberikan kuasa yang berlaku
secara umum tampa menyebutkan satu-persatu perkaranya, sebab apabila disebutkan maka sifat-sifat
keumuman dan menyerahkan tidak dapat digunakan. [8]
Kafalah
pada dasarnya akad tabarru yang bernilai bagi menjamin bagi penjamin termasuk
kerjasama dalam kebajikan (ta’awun’alal birri), dan penjaminan berhak meminta
gantinya kembali kepada terutang.[9]
F. Al Kafalah (garansi)
Jaminan
yang diberikan penangung jawab pihak ketika untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau yang ditanggung dapay pula dibiyarkan pengalihan penangung jawab
kepada pihak lain.[10]
Menurut
sebagian ulama fiqh kafalah bin-nafs adalah kesediaan menghadiri tertanggung
(makful’anhu) kehadapan pihak penerima tanggungan (makful lahu) untuk duatu
tujuan dengan seizin tertangung kafalah ini diperbolehkan pertangungan
tersebut.[11]
Dan untuk legalitas suatu kontrak maka dalam kafalah kita lihat beberapa rukun
dan akad dari kafalah menurut mahjab syafi’i
rukun kafalah hanya pada ijab dan kabul saja, lain jumhur lain
bersepakat mengenai rukun dan syarat kafalah sebagai syarat.[12]
Kafalah diisyratkan oleh ALLAH SWT. Pada
al-Quran surata yusuf ayat 72 penyuru itu berseru kami kehilangan piala raja
dan barang siyapa yang dapat mengembalikan akan memperoleh makanan (seberat)
beban unta dan aku menjamin terhadapnya.[13]
Kitap fiqih menulis salah satu definisi dikemukakan oleh sayyid sabiq, bahwa
kafalah terbagi menjadi dua jenis , pertama kafalah bi an-nafs (kafalah diri) yang artinya sempit
yaitu kewajiban seorang penjamin untuk mendatangkan orang yang ditanggung.[14]
Para
pakar hadis berpendapat bahwa takhrij al-hadist dapat dilakukan dengan bi
al-maudhu’iy dan metode bi al-alfazrij yang disebutkan pertama berdasarkan
topik masalah hadis dan motode.[15]
DAFTAR
PUSTAKA
Aditio, Rayno Dwi. “Perpektif
Koplikasi Hukum Ekonomi Syariah Dan Jaminan Keperdataan” 2 (1 Juni 2015).
Budi Nugraheni, Destri. “Analisa Fakta Dewan
Syariah Nasional Tentang Wakalah, Hawalah dan Kalafah Dalam Kegiatan Jasa
Perusahaan Pembiyaaan Syariah.” Media Hukum 24 (2 Desember 2017).
Djuawaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqih
Muamalah. Pustaka Pelajar, 2015.
Fatma Kartika, Rini. “Jaminan Dalam
Pembiyayaan Syariah (Kafalah Dan Rahn.” KORDINAT 57 (2 Oktober 2016).
Fauzi, Ika Yunia. “Akad Kafalah Dan Samsarah
Sebagai Solusi Atas Klaim Keharaman Dispoship Dalam Jual Beli.” ISLAMICA
9 (Maret 2015).
HAMDADI. “ANALISIS IMPLEMENTASI KONSEP
KAFALAH PADA BANK SYARIAH MANDIRI BANDA ACEH: STUDI TERHADAP PENYELESAIAN
KONTRA GARANSI SEKTOR KONSITUSI.” SHARE 2 (1 Juni 2013).
Ibrahim, Azharsyah. “Kartu Kridit Dalam Hukum
Syariah Kajian Terhadap Akad Dan Pensyaratan.” Jurnal al-mu’asbirah 7
(15 Maret 2010).
Imam Mustofa. Fiqih Muamalah. 3.
Depok: Rajagranfindo persada, 2018.
“KORDINAT Vol-XV No-2 Oktober 2016.1.1,” no.
2 (2016): 24.
Lutfi, Ah Azharuddin. “Penerapan Hukum Islam
Dalam Pembiyaaan Di Perbankan Syari’ah,” t.t., 2.
Mugiyati. “Kajian Hukum Islam Aplikasi
Kafalah Pada Asuransi Takaful.” AL-QANUN 17 (1 Juni 2014).
Munawir, Satria. “Analisis Manajemen Risiko
Produk Kafalah (Studi Pada Bank Muamalat Indonesia Banda Aceh).” SHARE 3
(1 Juni 2014).
Ratnawati, Anny. “Poyensi Dan Strategi
Pengembangan Bank Syariah Di Indonesia: Kajian Produk Syariah Dari Segi Fiqih
Mu’amalah.” Copyrigh 9 (2 Desember 2019).
Rosmania, Hamid. “Kafalah Al-Yatim Dari
Perpektif Hadis Nabi” 17 (tahun 2013).
[2] Budi Nugraheni, “Analisa Fakta Dewan Syariah Nasional Tentang
Wakalah, Hawalah dan Kalafah Dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiyaaan
Syariah.”134
[4] HAMDADI, “ANALISIS IMPLEMENTASI KONSEP KAFALAH PADA BANK SYARIAH
MANDIRI BANDA ACEH: STUDI TERHADAP PENYELESAIAN KONTRA GARANSI SEKTOR
KONSITUSI.”6
[5] Munawir, “Analisis Manajemen Risiko Produk Kafalah (Studi Pada Bank
Muamalat Indonesia anda Aceh).”
[8] Fauzi, “Akad Kafalah Dan Samsarah Sebagai Solusi Atas Klaim
Keharaman Dispoship Dalam Jual Beli,” 337.
[10] Ratnawati, “Poyensi Dan Strategi Pengembangan Bank Syariah Di
Indonesia: Kajian Produk Syariah Dari Segi Fiqih Mu’amalah,” 259.
0 Response to "KAFALAH DAN IMPELEMENTASI DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH"
Posting Komentar