Tekhnik-Tekhnik Evaluasi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tujuan evaluasi merupakan langkah awal yang harus diperhatikan
ddalam setiap kegiatan evaluasi. Penentuan tujuan evaluasi sangat bergantung
pada jenis evaluasi yang digunakan. Tujuan evaluasi yang digunakan. Tujuan
evaluasi ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Jika tujuan
evaluasi masih bersifat umum, maka tujuan tersebut perlu diperinci menjadi
tujuan khusus. Ada dua cara yang dapat ditempuh guru untuk merumuskan tujuan
evaluasi yang bersifat khusus. Pertama, melakukan perincian ruang lingkup
evaluasi cara ini berhubungan dengan luas pengetahuan sesuai dengan silabus
mata pelajaran. Kedua, melakukan perincian proses mental yang akan dievaluasi.
Dan cara kedua ini berhubungan dengan jenjang pengetahuan, seperti yang
dikembangkan Bloom dkk.
Tujuan evaluasi
pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan dan efisiensi system
pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan, materi, metode, media,
sumber belajar, lingkungan maupun system penilaian itu sendiri.
Dalam konteks yang lebih
luas lagi, Gilbert Sax (1980) mengemukakan tujuan evaluasi dan pengukuran
adalah untuk “selection, placement, diagnosis and remediation, feedback:
norm-referenced and criterion-referenced interpretation, motivation and guidance
of learning, program and curriculum improvement: formative and summative
evaluations, and theory development”.
Perlu diketahui bahwa
evaluasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan, antara lain dala
kegiatan bimbingan dan penyuluhan, supervise, seleksi, dan pembelajaran. Setiap
bidang atau kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. Dalam kegiatan
bimbingan, tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi secara menyeluruh
mengenai karakteristik peserta didik, sehingga dapat diberikan bimbingan dengan
sebaik-baiknya. Begitu juga dalam kegiatan supervisi, tujuan evaluasi adalah
untuk menentukan keadaan suatu situasi pendidikan atau pembelajaran, sehingga
dapat diusahakan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan mutu pendidikan
di sekolah. Dalam kegiatan seleksi, tujuan evaluasi adalah untuk menengetahui
tingkat pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai peserta didik untuk
jenis pekerjaan, jabatan atau pendidikan tertentu.
BAB II
Tekhnik – Tekhnik Evaluasi Pendidikan
A.
Pengertian
Penilaian (assessment)
Penilaian merupakan komponen penting
dalam proses dan penyelenggaraan pendidikan. Upaya menigkatkan kualitas
pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan
kualitas sistem penilaiannya. Keduanya saling terkait. Sistem pembelajaran yang
baik akan menghasilkan kualitas yang baik. Kualitas pembelajaran ini dapat
dilihat dari hasil penilaiannya. Selanjutnya, sistem penilaian yang baik akan
mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi
peserta didik untuk belajar dengan lebih baik. Oleh karena itu, dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan diperlukan perbaikan sistem penilaian yang
diterapkan. [1]
Menurut TGAT (1987), penilaian atau
asesmen mencakup semua cara yang digunakan untuk unjuk kerja individu. Proses
asesmen meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta
didik. Bukti ini tidak melalui tes saja, tetapi juga dikumpulkan melalui
pengamatan atau laporan diri (self report). Definisi penilaian berkaitan
dengan semua proses pendidikan, seperti karakteristik peserta didik,
karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi.
Seperti yang telah diuraikan di atas,
penilaian mencakup cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu.
Penilaian berfokus pada individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai oleh
individu. Proses penilaian meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian
kemajuan belajar peserta didik. Bukti ini tidak selalu diperoleh melalaui tes saja,
tetapi juga bisa dikumpulkan melalui pengamatan atau laporan diri. Penilaian
memerlukan data yang baik mutunya sehingga perlu didukung oleh proses
pengukuran yang baik.
Paradigma penilaian sebagai suatu
pembelajaran peserta didik telah dirintis lebih dari 20 tahun yang lalu, yaitu
sebagai contoh cara mengubah lembaga melalui proses penilaian (Berno,1994).
Pendekatan yang digunakan ini merupakan penegasan bahwa penilaian merupakan
bagian dari cara membelajarkan seseorang. Evaluasi hasil belajar yang dalam
pelaksanaannya didahului penilaian harus mampu mendorong peserta didik belajar
lebih baik dan juga mendorong guru untuk mengajar lebih baik.[2]
Menurut (Chittenden, 1991), kegiatan
penilaian dalam proses pembelajaran perlu diarahkan pada empat hal:
1. Penelusuran: yaitu
kegiatan yang dilakukan untuk menelusuri apakah proses pembelajaran telah
berlangsung sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Untuk kepentingan ini,
guru mengumpulkan berbagai informasi sepanjang semester atau tahun pelajaran
melalui berbagai bentuk pengukuran untuk memperoleh gambaran tentang pencapaian
kemajuan belajar anak.
2. Pengecekan: yaitu
untuk mencari informasi apakah terdapat kekurangan-kekurangan pada peserta
didik selama proses pembelajaran. Dengan melakukan berbagai bentuk pengukuran,
guru berusaha untuk memperoleh gambaran menyangkut kemampuan peserta didiknya,
apa yang telah berhasil dikuasai dan apa yang belum dikuasai.
3. Pencarian: yaitu untuk
mencari dan menemukan penyebab kekurangan yang muncul selama proses
pembelajaran berlangsung. Dengan jalan ini, guru dapat segera mencari solusi
untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul selamaproses belajar berlangsung.
4. Penyimpulan: yaitu
untuk menyimpulkan tentang tingkat pencapaian belajar yang telah dimiliki
peserta didik. Hal ini sangat penting bagi guru untuk mengetahui tingkat
pencapaian yang diperoleh peserta didik. Selain itu, hasil penyimpulan ini
dapat digunakan sebagai laporan hasil tentang kemajuan belajar peserta didik,
baik untuk peserta didik itu sendiri, sekolah, orang tua, maupun pihak-pihak
lain yang berkepentingan.
Tujuan evaluasi dalam bidang
pendidikan adalah untuk meningkakan kinerja individu atau lembaga. Usaha
peningkatan kinerja harus didasarkan pada kondisi saat ini yang diperoleh
melalui kegiatan penilaian atau asessmen. Data untuk kepentingan penilaian
diperoleh dengan menggunakan alat ukur. Alat ukur yang banyak digunakan dalam
penilaian pendidikan adalah tes. Agar diperoleh data yang akurat, tes yang
digunakan harus memiliki bukti-bukti tentang kesahihan dan kehandalannya.
Dengan demikian, peningkatan kualitas pendidikan memerlukan alat ukur yang
sahih dan handal. [3]
B.
Pengertian
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan salah satu
rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja, atau produktifitas
suatu lembaga dalam melaksanakan programnya. Fokus evaluasi adalah individu,
yaitu prestasi belajar yang dicapai kelompok atau kelas. Melalui evaluasi akan
diperoleh informasi tentang apa yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai.
Selanjutnya, informasi ini digunakan untuk perbaikan suatu program.
Evaluasi menurut Griffin & Nix
(1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil
pengukuran. Menurut definisi ini selalu didahului dengan kegiatan pengukuran
dan penilaian. Menurut Tyler (1950), evaluasi adalah proses penentuan sejauh
mana tujuan pendidikan telah tercapai. Masih banyak lagi definisi tentang
evaluasi, namun semuanya selalu memuat masalah informasi dan kebijakan, yaitu
informasi tentang pelaksanaan dan keberhasilan suatu program yang selanjutnya
digunakan untuk menentukan kebijakan berikutnya.
Evaluasi secara singkat juga dapat
didefinisikan sebagai proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian
belajar kelas atau kelompok. Hasil evaluasi diharapkan dapat mendorong guru
untuk mengajar lebih baik dan mendorong peserta didik untuk belajar lebih baik.
Jadi, evaluasi memberikan informasi bagi kelas dan guru untuk meningkatkan
kualitas proses belajar mengajar. Informasi yang digunakan untuk mengevaluasi
program pembelajaran harus memiliki kesalahan sekecil mungkin. Evaluasi pada
dasarnya adalah melakukan judgment terhadap hasil penilaian, maka
kesalahan pada penilaian dan pengukuran harus sekecil mungkin.
Stark dan Thomas (1994) menyatakan
bahwa evaluasi yang hanya melihat kesesuaian antara unjuk kerja dan tujuan
telah dikritik karena menyempitkan fokus dalam banyak situasi pendidikan.
Hasil yang diperoleh dari suatu program pembelajaran bisa banyak dan multi
dimensi. Ada
yang terkait dengan tujuan ada yang tidak. Yang tidak terkait dengan tujuan
bisa bersifat positif dan bisa negatif. Oleh karena itu, pendekatan goal
free dalam melakukan evaluasi layak untuk digunakan. Walaupun tujuan suatu
program adalah untuk meningkatkan prestasi belajar, namun bisa diperoleh hasil
lain yang berupa rasa percaya diri, kreatifitas, kemandirian, dan lain-lain.[4]
Astin (1993) mengajukan tiga butir
yang harus dievaluasi agar hasilnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Ketiga butir tersebut adalah masukan, lingkungan sekolah, dan keluarannya.
Selama ini yang dievaluasi adalah prestasi belajar peserta didik, khususnya
pada ranah kognitif saja. Ranah afektif jarang diperhatikan lembaga pendidikan,
walau semua menganggap hal ini penting, tetapi sulit untuk mengukurnya.
Kondisi lingkungan sekolah ikut
menentukan kualitas pendidikan, namun jarang dievaluasi kemungkinan karena
datanya tidak bisa dijaring melalui tes tertulis. Kondisi lingkungan sekolah
dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu iklim akademik dan iklim sosial. Iklim
akademik berupa kegiatan akademik yang terjadi di luar kelas di dalam sekolah,
sedangkan iklim sosial merupakan hubungan antara pendidik (guru), peserta
didik, kepala sekolah, dan staf pendukung atau karyawan. Penanaman iklim
akademik dan iklim sosial yang baik ditentukan oleh pimpinan dengan dukungan
dari semua warga sekolah bersama karyawan
Hasil evaluasi pendidikan merupakan
informasi yang sangat berguna bagi pengelola pendidikan, baik yang berada pada
tingkat pusat maupun di wilayah. Salah satu tujuan evaluasi pendidikan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan tampaknya belum berhasil. Hal ini dapat
terlihat dari perkembangan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun yang tidak
berubah, walau berfluktuasi namun masih dalam kategori rendah. Keadaan ini
menunjukkan bahwa hasil evaluasi kemungkinan belum memberikan informasi yang
akurat dan rinci untuk perbaikan kualitas pendidikan.
Hasil evaluasi pendidikan yang
bersifat nasional dapat dianalisis untuk memperoleh informasi yang akurat untuk
perbaikan kualitas pendidikan nasional. Namun hal ini belum banyak dilakukan,
sehingga tiap sekolah tidak menerima kekurangannya secara rinci. Akibatnya,
proses pembelajaran yang dilakukan di kelas dari tahun ke tahun tidak banyak
mengalami perubahan. Evaluasi pendidikan yang bersifat nasional yang diselenggarakan
setiap tahun seperti program rutin saja, karena hasilnya belum memberikan
kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kualitas pendidikan.[5]
Ditinjau dari cakupannya, evaluasi
ada yang bersifat makro dan ada yang mikro. Evaluasi makro cenderung menggunakan
sampel dalam menelaah suatu program dan dampaknya. Sasaran evaluasi yang
bersifat makro adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk
memperbaiki program pendidikan. Evaluasi mikro sering digunakan di tingkat
kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian kemajuan belajar peserta didik.
Pencapaian belajar ini bukan hanya yang bersifat kognitif saja, tetapi juga
mencakup semua potensi yang ada pada peserta didik. Jadi. Sasaran evaluasi
mikro adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggungjawabnya
adalah guru untuk tingkat sekolah, dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi.
Evaluasi pembelajaran dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif
bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hasil tes seperti kuis
misalnya, dianalisis untuk mengetahui konsep mana yang belum difahami sebagian
besar peserta didik. Kemudian diikuti dengan kegiatan remedial, yaitu
menjelaskan kembali konsep-konsep tersebut. Evaluasi untuk perbaikan bisa dilakukan
dengan membuat angket untuk peserta didik. Angket ini berisi tentang pertanyaan
mengenai pelaksanaan pembelajaran menurut perspektif peserta didik. Hasilnya
dianalisis untuk mengetahui aspek mana yang harus diperbaiki.
Evaluasi sumatif bertujuan untuk
menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik. Nilai yang dicapai peserta didik
ditetapkan lulus atau belum. Evaluasi sumatif bisa terdiri dari beberapa
kegiatan pengukuran dan penilaian. Hal ini harus dijelaskan kepada peserta
didik di awal pelajaran, yaitu tentang penentuan nilai akhir. Bobot dari tugas,
ujian tengah semester, dan ujian akhir semester harus dijelaskan kepada peserta
didik.[6]
Dampak hasil evaluasi terhadap
motivasi belajar peserta didik adalah yang meningkat, tetap, bahkan ada yang
turun. Setiap peserta didik mempunyai harapan terhadap hasil ujian (ulangan)
pelajaran, yaitu besarnya prestasi yang dinyatakan dengan dalam skor hasil tes.
Harapan ini ada yang terpenuhi dan ada yang tidak terpenuhi. Sesuai dengan
karakteristik peserta didik, ada yang motivasi belajarnya naik, ada yang tetap,
dan kemungkinan ada yang turun.
Masalah yang sering timbul dalam
melakukan evaluasi terletak pada tujuannya, pendekatan yang digunakan,
manfaatnya dan dampaknya, baik yang berskala makro maupun mikro. Selain itu
evaluasi pendidikan juga harus memberi manfaat kepada peserta didik, lembaga,
dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila evaluasi pendidikan yang digunakan
tidak membawa peningkatan kualitas pendidikan pada suatu sekolah dan tidak
memberi manfaat, berarti sistem evaluasi yang digunakan atau yang dilaksanakan
belum berfungsi seperti yang diharapkan.
Evaluasi pendidikan yang dilaksanakan
selama ini belum memberikan sumbangan untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Hal ini disebabkan oleh sistem evaluasi yang digunakan belum tepat seperti yang
diharapkan. Usaha untuk memantau perkembangan kualitas pendidikan, pelaksanaan
kurikulum, dan pembakuan kualitas pendidikan selama
ini dilakukan melalui penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Ujian
Akhir Sekolah (UAS). Nilai rata-rata UAN secara nasional belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Hal ini berarti UAN belum berfungsi seperti yang
diharapkan. Akibatnya timbul berbagai pendapat di masyarakat, ada yang
menyarankan untuk dihapus dan ada yang menyarankan untuk disempurnakan. Namun
semua berpendapat bahwa pemantauan, hanya cara yang digunakan harus tepat
sehingga diperoleh hasil yang objektif (Mardapi, 1998).
Apabila kita ingin meningkatkan kualitas
pendidikan maka informasi yang dibutuhkan adalah termasuk tentang keadaan
kualitas lembaga pendidikan atau sekolah. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem
evaluasi yang lebih mampu digunakan sebagai pendorong peningkatan kualitas
pendidikan nasional. Untuk itu perlu ada evaluasi yang sifatnya nasional, namun
pesertanya tidak perlu semua peserta didik, cukup dipilih sampel yang mewakili
sekolah.
Sementara itu, sebagian besar negara
maju sangat mengembangkan sejumlah tes baku ,
termasuk non tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan non akademik. Tes ini
sangat dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan kualitas pendidikan. Sekolah di
Amerika cenderung memiliki kebebasan dalam menentukan kurikulum yang digunakan,
namun tagihannya sama, yaitu prestasi yang diukur dengan tes baku , sehingga hasilnya bisa dibandingkan antar
tempat dan antar tahun. Di Jepang dan Inggris, digunakan kurikulum nasional
yang diturunkan berdasarkan kompetensi yang ingin dicapai. Walau ada variasi
dalam penggunaan kurikulum, namun sebagian besar menggunakan tes yang bersifat
nasional untuk memantau perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Hal
ini perlu dicermati dan dipertimbangkan dalam upaya memperbaiki pelaksanaan
evaluasi pendidikan.
Dari beberapa uraian di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara pengukuran (measurement),
penilaian (assessment), dan evaluasi (evaluation) bersifat
hirarkis. Pengukuran membandingkan hasil pengamatan dengan Kriteria, penilaian
menjelaskan dan menafsirkan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi adalah
penetapan nilai atau implikasi suatu perilaku, bisa perilaku individu atau
lembaga. Sifat yang hirarkis ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan evaluasi
melibatkan penilaian dan pengukuran. Penilaian berarti menilai sesuatu,
sedangkan menilai itu mengandung arti mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan
mendasarkan diri pada ukuran atau criteria tertentu, seperti menilai seseorang
sebagai orang yang pandai karena memiliki skor tes inteligensi lebih dari 120,
sedangkan evaluasi menacakup baik kegiatan pengukuran maupun penilaian.
C.
Tujuan
Evaluasi
Tujuan evaluasi dalam bidang
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus.
a.
Tujuan
Umum
Secara umum, tujuan evaluasi adalah:
1) Untuk menghimpun data
dan informasi yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan
atau kemajuan yang dialami peserta didik setelah mereka mengikuti proses
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, tujuan umum
evaluasi adalah untuk memperoleh data pembuktian yang akan menjadi petunjuk
sampai dimana tingkat pencapaian kemajuan peserta didik terhadap tujuan atau
kompetensi yang telah ditetapkan setelah mereka menempuh proses pembelajaran
dalam jangka waktu tertentu.
2) Untuk mengetahui
tingkat efektifitas proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru dan
peserta didik.
b.
Tujuan
Khusus
1) Untuk merangsang
kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa ada evaluasi
maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik
untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
2) Untuk mencari dan
menemukan factor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta
didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan
jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.
D.
Fungsi
Evaluasi
Secara umum, evaluasi sebagai suatu
tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok yaitu
(a) mengukur kemajuan, (b) menunjang penyusunan rencana, dan (c) memperbaiki
atau melakukan penyempurnaan kembali. Adapun secara khusus, fungsi evaluasi di
bidang pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu (a) segi psikologis, (b)
segi pedagogis-didaktik, dan (c) segi administratif.
Secara psikologis, evaluasi dalam
bidang pendidikan di sekolah dapat ditilik dari dua sisi, yaitu dari sisi
peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan
secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka
untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing di tengah-tengah
kelompoknya atau kelasnya. Masing-masing mereka akan mengetahui apakan dia
termasuk siswa yang pandai, rata-rata, atau berkemampuan rendah.
Bagi guru atau pendidik, evaluasi
pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada dirinya tentang
sejauh manakah usaha pendidikan-pengajaran yang telah dilakukannya selama ini
telah membawa hasil, sehingga dia secara psikologis memiliki pedoman atau
pegangan batin yang berguna untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang
dipandang perlu dilakukan selanjutnya. Misalnya, dengan menggunakan
metode-metode mengajar tertentu, hasil belajar para peserta didik telah
menunjukkan adanya peningkatan daya serap terhadap materi yang diajarkan, maka
atas dasar evaluasi, penggunaan metode-metode tersebut perlu dipertahankan.
Sebaliknya, apabila hasil belajar para peserta didik ternyata tidak
menggembirakan, maka guru akan berusaha melakukan perbaikan-perbaikan dan
penyempurnaan sgar hasil belajar peserta didiknya menjadi lebih baik.[7]
Bagi peserta didik, secara didaktik,
evaluasi pendidikan akan dapat memberikan dorongan atau motivasi kepada mereka
untuk dapat memperbaiki, meningkatkan, dan mempertahankan prestasinya. Evaluasi
belajar misalnya akan menghasilkan nilai-nilai hasil belajar untuk
masing-masing individu peserta didik. Ada
peserta didik yang nilainya jelek, karena itu dia terdorong untuk
memperbaikinya, agar di waktu mendatang nilai hasil belajarnya tidak sejelek
sekarang. Ada
peserta didik yang yang nilainya tidak jelek tetapi belum dikatakan baik atau
memuaskan, maka dia akan memperoleh dorongan untuk meningkatkan prestasi
belajarnya di waktu mendatang. Ada
juga peserta didik yang sudah mendapatkan nilai yang baik, dan dia tentu akan
termotivasi untuk dapat mempertahankan prestasinya pada waktu mendatang.
Secara didakti, bagi guru, evaluasi
pendidikan setidaknya memiliki lima
macam fungsi, yaitu:[8]
a. Fungsi diagnostik: Memberikan
landasan untuk menilai hasil usaha atau prestasi yang telah dicapai oleh
peserta didiknya.
b. Fungsi penempatan:
Memberikan informasi yang sangat berguna untuk mengetahui posisi masing-masing
peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
c. Fungsi selektif:
Memberikan bahan yang sangat penting untuk memilih dan menetapkan status
peserta didik.
d. Fungsi bimbingan:
Memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik
yang memang memerlukannya.
e. Fungsi intruksional:
Memberikan petunjuk tentang sejauh mana program pengajaran (kompetensi yang
telah ditentukan) bisa tercapai.
Adapun secara administratif, evaluasi
pendidikan memiliki tiga macam fungsi, yaitu:[9]
a. Memberikan laporan
Dengan melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan
disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah
mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Laporan ini
pada umumnya tertuang dalam bentuk rapor (untuk siswa) dan Kartu Hasil Studi
(KHS) untuk mahasiswa. Baik rapor maupun KHS sebaiknya dikirimkan kepada orang
tua/wali pada akhir semester.
b. Memberikan informasi
atau data
Setiap keputusan pendidikan harus didasarkan kepada
data yang lengkap dan akurat. Dalam hubungan ini, nilai-niliah hasil belajar
para peserta didik yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi merupakan data yang
sangat penting untuk keperluan pengambilan keputusan pendidikan. Keputusan
untuk meluluskan atau menaikkan peserta didik harus dilakukan berdasarkan data dari
kegiatan evaluasi.
c. Memberikan gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam
proses pembelajaran tercermin antara lain dari hasil-hasil belajar para peserta
didik setelah dilakukan kegiatan evaluasi hasil belajar. Dari kegiatan evaluasi
ini akan tergambar dalam matapelajaran apa saja kemampuan para peserta didik
masih memprihatinkan, dan dalam matapelajaran apa saja prestasi mereka sudah
baik.
E.
Aspek
Sasaran Evaluasi
Aspek atau sasaran evaluasi adalah
sesuatu yang sesuatu yang dijadikan titik pusat perhatian yang akan diketahui
statusnya berdasarkan pengukuran. Dalam dunia pendidikan, ada tiga aspek yang
menjadi sasaran evaluasi pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
F.
Ranah
Kognitif
Aspek atau domain kognitif adalah
ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang
menyangkut otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif
terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai
dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang dmaksud adalah (1)
pengetahuan, hafalan, ingatan (knowledge), (2) pemahaman (comprehension),
(3) penerapan (application), (4) analisis (analysis), (5)
sintesis (synthesis), dan (6) penilaian (evaluation).
Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall)
atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus, dan
lain-lain tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau
ingatan ini merupakan tingkat berpikir yang paling rendah. Salah satu contoh
hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah peserta didik dapat
menghafal surat
al-'Ashr, menerjemahkan dan menuliskannya kembali secara baik dan benar,
sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan guru Pendidikan
Agama Islam di sekolah. Contoh lainnya, peserta didik dapat mengingat kembali
peristiwa kelahiran Rasulullah saw.
Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami
sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami
adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi.
Seorang peserta didik dapat dikatakan memahami sesuatu apabila dia dapat memberikan
penjelasan yang rinci tentang sesuatu tersebut dengan menggunakan kata-katanya
sendiri. Pemahaman merupakan tingkat berpikir yang setingkat lebih tinggi dari
ingatan atau hafalan. Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada
jenjang pemahaman adalah peserta didik dapat menguraikan tentang makna
kedisiplinan yang terkandung dalam surat
Al-'Ashr secara lancer dan jelas.
Penerapan
atau aplikasi adalah kesanggupan
seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun
metode-metode, prinsip-prinsip, rumus, teori dan lain-lain dalam situasi yang
baru dan kongkrit. Aplikasi atau penerapan ini adalah tingkat berpikir yang
setingkat lebih tinggi daripada pemahaman. Salah satu contoh hasil belajar
kognitif jenjang aplikasi adalah peserta didik mampu memikirkan tentang
penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan oleh Islam dalam kehidupan
sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun di masyarakat.
Analisis
adalah kemampuan seseorang untuk
merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang
lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut. Taraf
berpikir analisis adalah setingkat lebih tinggi daripada taraf berpikir aplikasi.
Contoh hasil belajar analisis adalah peserta didik dapat merenung dan
memikirkan dengan baik tentang wujud nyata kedisiplinan seorang siswa
sehari-hari di rumah, di sekolah, dan di masyarakat sebagai bagian dari ajaran
Islam.
Sintesis adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari
proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses berpikir yang
memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma
menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Taraf berpikir
sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada taraf berpikir analisis.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada taraf sintesis adalah peserta
didik mampu menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagaimana telah
diajarkan oleh Islam. Dalam karangannya itu, peserta didik juga dapat
mengemukakan secara jelas gagasan-gagasannya sendiri atau orang lain, data-data
atau informasi lain yang mendukung pentingnya kedisiplinan.
Penilaian
atau penghargaan atau evaluasi
merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut taksonomi
Bloom. Penilaian atau evaluasi merupakan kemampuan seseorang untuk membuat
pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide. Misalnya, jika seseorang
dihadapkan pada beberapa pilihan maka dia akan mampu memilih satu pilihan yang
terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau criteria yang ada. Contoh hasil
belajar kognitif taraf evaluasi adalah peserta didik mampu mengidentifikasi
manfaat kedisiplinan dan mudharat kemalasan sehingga pada akhirnya dia
berkesimpulan dan menilai bahwa kedisiplinan di samping merupakan perintah
Allah swt juga merupakan kebutuhan manusia itu sendiri.
Keenam jenjang taraf berpikir
kognitif ini bersifat kontinum dan overlap atau tumpang tindih, di mana
taraf berpikir yang lebih tinggi meliputi taraf berpikir yang ada di bawahnya.
G.
Ranah
afektif
Taksonomi untuk ranah afektif
dikembangkan pertama kali oleh David R. Krathwohl dan kawan-kawan (1974) dalam
bukunya yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives: Affective Domain.
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa
pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila
seseorang telah memiliki penguasaan kognitif yang tinggi. Cirri-ciri hasil
belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku,
seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran PAI, kedisiplinan dalam mengikuti
pembelajaran PAI, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak tentang
materi PAI, penghargaan dan rasa hormat terhadap guru PAI, dan lain-lain.
Ranah afektif ini oleh Krathwohl dan
kawan-kawan dirinci ke dalam beberapa jenjang atau taraf afektif, yaitu (1)
penerimaan (receiving), (2) penanggapan (responding), (3) menilai
(valuing), (4) mengorganisasikan (organization), dan (5) karakterisasi
dengan nilai atau kompleks nilai (characterization by a value orang value
complex).
Receiving
atau attending adalah kepekaan
seseorang dalam menerima rangsangan atau stimulus dari luar yang dating kepada
dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Termasuk dalam
jenjang ini adalah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol
dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang dating. Receiving atau
attending juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan
suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini, peserta didik dibina agar
mereka bersedia menerima nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau
menggabungkan diri ke dalam nilai itu, atau mengidentikkan diri dengan nilai
itu. Contoh hasil belajar afektif taraf receiving adalah peserta didik
menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak berdsiplin
harus disingkirkan jauh-jauh.
Responding
atau menanggapi mengandung arti
"adanya partisipasi aktif". Jadi, kemampuan responding adalah
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam
fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
Jenjang ini setingkat lebih tinggi
daripada receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding
adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh
ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.
Valuing artinya memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu
kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan dirasakan
akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan taraf afektif
yang setingkat lebih tinggi daripada responding. Terkait dengan proses
pembelajaran, peserta didik tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan
tetapi telah mampu untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik-buruk.
Apabila peserta didik telah mampu untuk mengatakan bahwa "itu baik atau
itu buruk" maka dia sudah mampu untuk melakukan penilaian. Nilai itu sudah
mulai diinternalisasikan ke dalam dirinya, yang selanjutnya bersifat stabil dan
menetap dalam dirinya. Contoh hasil belajar afektif taraf valuing adalah
tumbuhnya kemauan yang kuat dalam diri peserta didik untuk berlaku disiplin,
baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat karena didasari keyakinan dan
penilaian bahwa hidup disiplin adalah baik.
Organization
artinya mempertemukan perbedaan nilai
sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada
perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari
nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai
dengan nilai yang lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
Contoh hasil belajar afektif taraf organization adalah peserta didik
mendukung penegakkan disiplin nasional yang dicanangkan oleh pemerintah.
Mengatur atau mengorganisasikan ini merupakan taraf afektif yang setingkat
lebih tinggi daripada valuing.
Characterization
by a value orang value complex yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki
seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini
proses internalisasi nilai telah menempati tempat yang tinggi dalam suatu
hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten dalam sistemnya dan
telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah tingkatan afektif tertinggi karena
sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Dia telah memiliki
filsafat hidup yang mapan. Jadi pada taraf afektif ini, peserta didik telah
memiliki sistem nilai yang mapan dan mengontrol tingkah lakunya untuk suatu
waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik "pola hidup".
Tingkah lakunya menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar
afektif ranah terakhir ini adalah peserta didik telah memiliki kebulatan sikap.
Wujudnya, peserta didik menjadikan perintah Allah swt dalam surat al-'Ashr sebagai pegangan hidupnya
dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik di rumah, sekolah, maupun di
masyarakat.
H.
Ranah
Psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang
berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah
seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor
dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor
ini tampa k dalam bentuk keterampilan dan
kemampuan bertindak ind ividu.
Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor
apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai
dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektifnya.
Sebagai contoh wujud nyata hasil
belajar psikomotor untuk tema kedisiplinan dapat berupa:
a.
Peserta
didik bertanya kepada guru PAI tentang contoh-contoh kedisiplinan yang
ditunjukkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, dan ulama.
b.
Peserta
didik mencari dan membaca buku, majalah, dan sumber informasi lain yang memuat
tentang tema kedisiplinan.
c.
Peserta
didik dapat memberikan penjelasan kepada siapapun tentang pentingnya
kedisiplinan dalam kehidupan.
d.
Peserta
didik menganjurkan kepada siapapun untuk berperilaku hidup disiplin.
e.
Peserta
didik dapat memberikan contoh perilaku kedisiplinan dalam bentuk mentaati
peraturan, beribadah, belajar dan lain-lain di manapun dia berada.
f.
Dan
lain-lain
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tujuan evaluasi merupakan
langkah awal yang harus diperhatikan ddalam setiap kegiatan evaluasi. Penentuan
tujuan evaluasi sangat bergantung pada jenis evaluasi yang digunakan.
Tujuan evaluasi
pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan dan efisiensi system
pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan, materi, metode, media,
sumber belajar, lingkungan maupun system penilaian itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa
evaluasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan, antara lain dala
kegiatan bimbingan dan penyuluhan, supervise, seleksi, dan pembelajaran. Setiap
bidang atau kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. Dalam kegiatan
bimbingan, tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi secara menyeluruh
mengenai karakteristik peserta didik, sehingga dapat diberikan bimbingan dengan
sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
L. W. and David R. Krathwohl. (2001). A
Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assessing. New York: Longman.
Cizek, G. J. (2000). Pockets of Resistance in the Assessment Revolution, Educational
Measurement : Issues and Practice. Summer 2000. Volum 19, Number 2.
Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney
: Addison Wesley Longman Australia Pry Limited.
Depdiknas.
(1999). Pengelolaan Pengujian bagi Guru Mata Pelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Gronlund,
N. E . (1981). Measurement and Evaluation in Teaching, 5th Ed. New
York: MacMillan Publishing Co.
Sudiyono, Anas.
(1998). Pengantar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sukardjo.
(2007). Penilaian Hasil Belajar (Naskah Buku). Yogyakarta: Press Yogyakarta.
[1] David
R. Krathwohl Anderson, “A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing,” New York:
Longman, 2001, 21.
[2] Cizek,
“Pockets of Resistance in the Assessment Revolution, Educational Measurement,” 2011
21 (n.d.): 34.
[3] Colin
Marsh, “Handbook for Beginning Teachers. Sydney,” Addison Wesley Longman
Australia Pry Limited 24 (n.d.): 72.
[6] Gronlund,
N. E, Measurement and Evaluation in Teaching (New York: MacMillan
Publishing Co, n.d.).
0 Response to "Tekhnik-Tekhnik Evaluasi Pendidikan "
Posting Komentar