PERBANDINGAN MAZHAB PERKARA WUDHU
MAKALAH
PERBANDINGAN MAZHAB PERKARA WUDHU
Mata Kuliah Fiqih Perbandingan Mazhab
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM
EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI METRO
1441 H/ 2019 M
KATA PENGHANTAR
Assalamu’alaikum . Wr . Wb.
Segala puji syukur yang kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan hidayah untuk berfikir
sehingga dapat melaksanakan tugas untuk pembuatan makalah dalam upaya untuk
memenuhi syarat dalam mata kuliah Perbandingan Mazhab yang kami beri
judul Perbandingan Mazhab Perkara Wudhu
Kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah yang kami sajikan ini, tentunya tidak luput dari adanya
berbagai kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati
dan keterbatasan, kami mohon maaf kepada pembaca. Dan kepada semua pihak kami
mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya penyusunan makalah
ini pada kesempatan selanjutnya. Dan kami ucapkan terimakasih terkhusus
kepada Bapak Isa Ansori Selaku Dosen mata kuliah Perbandingan
Mazhab yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah
ini.
Demikian kiranya dan sebagai harapan
kami, semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi yang membutuhkan, semoga
bisa diterima sebagai berkas ataupun penalaran yang mendasar. Akhir
kata....
Wassalamu’alaikum . Wr . Wb.
Metro, Oktober 2019
Penyusun,
KELOMPOK 8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wudhu....................................................................................... 2
B. Hukum Wudhu............................................................................................ 2
C. Rukun Wudhu yang Disepakati dan
Diperselisihkan.................................. 3
D. Menyentuh Perempuan yang
Membatalkan Wudhu Menurut
Empat Imam Madzhab................................................................................. 8
E. Menyentuh Farji, Qubul dan Dubur
Menurut Empat Imam
Madzhab.................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian
diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut
tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis
maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan
ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.
Ada beberapa jenis thaharah yang sudah kita ketahui, salah satunya
adalah wudhu, tanpa berwudhu shalat kita tidak akan sah, dan apabila shalat
kita tidak sah maka kita melalaikan tugas kita sebagai hamba Allah SWT yakni
selalu beribadah kepadaNya, dengan menjalankan sholat lima waktu.
Pada saat sekarang ini, banyak muslimin yang banyak melupakan syariat
dasar tentang berwudhu, dan banyak diantara kaum muslimin yang tidak tau menahu
tentang hukum/ tata cara berwudhu secara benar menurut madzabnya sendiri, dan
bahkan menganggap apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan apa yang sudah
diamalkan maka dianggap tidak sah.
Maka dari itu wudhu sangat penting peranannya bagi kaum muslimin demi
menjaga ke afsahan shalat dan berbagai ibadah yang berhubungan dengan wudhu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Wudhu?
2. Bagaimana Hukum Wudhu?
3. Bagaimana Rukun Wudhu yang
Disepakati dan Diperselisihkan?
4. Bagaimana Menyentuh Perempuan yang
Membatalkan Wudhu Menurut Empat Imam Madzhab?
5. Bagaimana Menyentuh Farji, Qubul
dan Dubur Menurut Empat Imam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wudhu
Yang dimaksud berwudhu ialah membasuh sebagian anggota
badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat
untuk menghilangkan hadats kecil.[1]
Wudhu secara etimologi adalah kebersihan adapun
pengertian wudhu adalah nama bagi suatu perbuatan, yaitu menggunakan air bagi
anggota badan yang tertentu pula.[2]
Ataupun juga mengalirkan air yang suci kepada anggota tubuh tertentu (wajah
kedua tangan, kedua kaki, kepala) dengan cara tertentu.[3]
Adapun
syarat-syarat sahnya seorang itu berwudhu diantaranya, Islam, tamyiz, tidak
berhadats besar, dengan air mutlaq dan tidak ada hal-hal yang menghalangi
sampainya air ke kulit.[4]
B.
Hukum Wudhu
Adapun menurut golongan Hanafiah hukum wudhu itu ada
beberapa kemungkinan
1. Fardu,
apabila orang itu berhadas dan akan melakukan shalat, ataupun perkara yang
mengharuskan besuci terlebih dahulu.
2.
Wajib, yaitu untuk orang orang yang
menginginkan tawaf
3.
Sunnah, apabila memperbarui wudhu pada setiap
shalat, menyentuh buku buku agama
Sedangkan menurut Malikiyah hukum wudhu itu ada
lima kemungkinan yaitu :
1.
Wajib, seperti wudhu untuk shalat fardhu dan
sunnah, menyentuh Al- qur’an, thawaf dan lain lain sebagainya.
2.
Sunat, seperti wudhunya orang yang junub ketika
akan tidur.
3.
Mustahab, yaitu memperbarui wudhu setiap akan
melakukan shalat, wudhunya orang yang ber istihadhoh setiap shalat.
4.
Mubah, seperti wudhu untuk tuuan kebersihan,
atau untuk mendinginkan badan.
5.
Mamnu’, seperti memperbarui wudhu sebelum
melakukan ibadah dengan wudhu yang pertama.[5]
C. Rukun
Wudhu yang Disepakati dan Diperselisihkan
Adapun fardunya wudhu menurut madzab Syafi’i
itu ada enam, keempat fardu seperti, membasuh muka,dua tangan, mengusap kepala,
dan membasuh kaki adalah fardu fardu yang sudah diterangkan dalam Al Qur’an
surat Al-Maidah ayat 5, dan keempat fardu ini sudah disepakati oleh semua
ulama’, sedangkan yang dua/lain, para ulama’ madzab memiliki pendapat mereka
sendiri.
1.
Niat
Rukun wudhu yang pertama adalah niat,
niat menurut bahasa adalah kesengajaan dalam hati dan niat ini harus
ada pada saat membasuh wajah karena letak niat itu pada saat membasuh wajah,
jadi apabila niat itu diletakkan sebelum membasuh wajah maka wudhu itu tidak
afsah, karena sudah jelas disebutkan bahwa :
الفروض
التى لا يصحّ الوضوء الا بها ستّة الاوّل النية ويجب ان تكون مقرونة بأول جزء
يغسله من الوجه
Artinya: “Beberapa fardu yang
membuat keafsahan wudhu ada enam yang pertama adalah niat, niat itu wajib
disertakan pada awal bagian yang dibasuh dari wajah”.[6]
Dan menurut jumhur
ulama’ berpendapat bahwa niat merupakan fardunya wudhu, yang bertujuan untuk
mewujudkan ibadah atau pendekatan diri pada Allah SWT, jumhur beralasan dengan
sunnah yaitu sabda nabi SAW:
عن عمر بن الخطاب رضي ا لله عنه انّ النبي صلى
الله عليه وسلم قال انما الأعمال بالنية, وانما لكل امرء م نوى. (متّفق
عليه)
Artinya: “Dari umar bin khattab
bahwa nabi SAW bersabda: sesungguhnya perbuatan itu hanya dengan niat,dan
sesungguhnya (yang diperoleh) bagi setiap orang hanya sekedar apa yang
diniatkannya”. (HR Muttafaq Alaih)
Dan Jumhur Ulama’juga menyamakan
wudhu dengan tayammum. Jika niat disyaratkan pada tayammum, maka disyaratkan
pula pada wudhu karena sama sama berthaharah menghilangkan hadas.[7]
Sedangkan menurut golongan
Hanafiah niat bertujuan untuk mendapatkan pahala oleh karena itu
sunnah bagi orang yang ingin berwudhu memulai dengan niat, alasan
mereka adalah:
1. Tidak adanya dalil dalam nash Al
Qur’an yang secara tegas memerintahkan untuk niat
2. Juga tidak
adanya hadist yang mewajibkan niat, adapun kewajiban niat pada
tayammum menurut mereka tidak bisa disamakan dengan wudhu karena tayammum
merupakan pengganti wudhu yang dilakukan dengan tanah.[8]
2.
Membasuh Muka/ Wajah
Rukun wudhu yang kedua adalah
membasuh wajah, seperti yang sudah dijelaskan dalam Al Qur’an:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Artinya: “Hai orang orang yang
beriman, jika kamu hendak mendirikan shalat maka basuhlah mukamu, tanganmu
sampai siku, dan sapulah/ usaplah kepalamu, dan basuhlah kakimu sampai mata
kaki”. (QS. Al-Maidah : 6)
Disini
para Ulama, sepakat bahwa membasuh muka adalah salah satu dari rukun wudhu.
Adapun hal yang perlu dicermati pada hal ini adalah mana batas batas
wajah itu, batas batas wajah itu adalah.
Dari panjangnya antara tempat tumbuhnya rambut kepala
sampai bawah dagu, dan lebarnya antara anak telinga kiri sampai anak telinga
kanan.[9]
3.
Membasuh Dua Tangan Hingga Siku
Rukun
wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan, jadi sudah jelas bagian yang
harus dibasuh adalah kedua tangan yang meliputi telapak tangan dan tangan
bagian bawah/ hasta bersamaan dengan siku.
Membasuh
siku menurut jumhur Ulama’ hukumnya adalah wajib karena kata الى dalam ayat diatas mengandung pengertian مع (bersama). Bila seseorang itu
berwudhu dan tidak membasuh sikunya maka wudhunya dianggap tidak sah, tetapi
golongan Malikiyah memandang membasuh sampai siku aadalah sunnah.
4.
Menyapu/Mengusap Sebagian Kepala
Rukun wudhu yang keempat adalah
mengusap sebagian kepala, disini para ulama’ berbeda pendapat mengenai masalah
ini
a. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat
bahwa yang difardukan adalah mengusap sebagiannya saja walaupun sehelai
rambut,tetapi ada juga yang mengatakan paling kurang tiga helai rambut.
b. Ulama’ Malikiyah berpendapat bawa
yang difardukan adalah mengusap seluruh kepala.
c. Sedangkan Ulama’ Hanafiah memiliki
dua pendapat yaitu yang dipegang oleh ulama’ mutaakhirin bahwa yang
difardukan adalah seperempat kepala, sedangkan ulama’ mutakoddimin, yang
difardukan adalah sekedar tiga jari
d. Adapun Ulama’ Hambaliah juga
memiliki dua riwayat, yaitu sama dengan pendapat Ulama’ Malikiyah, dan yang
kedua hanyalah seluas ubun ubun saja,tetapi disini pendapat pertamalah yang
paling kuat.[10]
Letak perbedaan para ulama’ ini
adalah mengenai potongan ayatومسحوا برؤسكم :
Ulama’ Syafi’i berpendapat bahwa
ba’ disitu adalah bermakna ilsaq, yaitu makna yang hampir tidak punya makna
lain kecuali makna itu saja, maka ayat itu adalah mutlak dan yang diminta
disitu adalah melekatkan tangan ke kepala, dan ini bisa dilakukan
dengan mengusap sebagian atau seluruhnya, dan juga dibuktikan adanya
beberapa hadist yang menerangkan itu.
Adapun Ulama’ Maliki dan Hambali
dalam pendapatnya yang lebih kuat mengatakan wajib mengusap seluruh kepala
berpendapat bahwa ba’ disitu bermakna zaidah yaitu tidak mempunyai arti dan
juga ilsaq yang bermaksud bahwa kepala dalam hakikatnya dimaksudkan pada
seluruh bagiannya,berdasarkan itu maka menurut ulama’ Maliki dan hambali wajib
mengusap seluruh kepala.[11]
Golongan
Hanafiah dalam pendapatnya yang mashur mengatakan wajib mengusap seperempat
kepala dan yang wajib hanya satu kali. Walaupun dengan tumpahan air hujan atau
sisa air yang tinggal sesudah membasuh. Argumentasi mereka adalah bahwa dalam
pengertian membasuh harus terpenuh pengertian secara ‘urf (kebiasaan).
5.
Membasuh Dua Kaki Hingga Mata Kaki
Selanjutnya
adalah membasuh dua kaki hingga mata kaki apabila tidak memakai sepatu (muzah)
dan apabila memakai sepatu (muzah) maka diwajibkan mengusap sepatu
(muzah) atau membasuh kedua kaki, dan diwajibkan membasuh sesuatu
yang ada pada kedua kaki seperti rambut,kutil ataupun tambahan jari, mata kaki
adalah dua tulang yang menojol pada dua sisi kaki bagian bawah. Menurut jumhur
Ulama’ kewajiban membasuh hanya satu kali. Selain
penjelasan dari Al Qur’an di atas terdapat hadist yang menerangkan keharusan membasuh
kaki.[12]
عن جابر قال : أمر نا رسول الله صلّى الله عليه
وسلم اذا توضّأنا للصلاة ان نغسل ارجلنا. روه الدارقطن
Artinya : “dari Jabir beliau
berkata: Rasul SAW menyuruh kami membasuh kaki bila kami berwudhu untuk shalat.
(HR Al Daruqutni).
6.
Tertib
Tertib adalah mendahulukan yang
seharusnya dahulu dan meng akhirkan yang seharusnya menjadi akhir, dalam bab
ini tertib adalah mendahulukan membasuh wajah sebelum kedua tangan, membasuh
kedua tangan sebelum mengusap kepala, mengusap kepala sebelum membasuh kedua kaki.
Tentang masalah tertib para
ulama’berbeda pendapat dengan satu sama
lain, ulama’ Syafi’iyah
dan hambaliyah mengambil beberapa dalil yakni:
a. Dalil dari Al-Qur’an : ayat itu
sudah jelas menunjukkan arti tertib karena pastilah ayat yang sudah tertulis
itu mempunyai maksud tertentu, yakni untuk menunjukkan bahwa urut urutan yang
demikian itu wajib pada wudhu
b. Dalil dari hadist : semua hadist
mengenai wudhu Nabi dan parasahabat, menunjukkan adanya tertib menurut urutan
yang disebutkan dalam ayat wudhu.
c. Dalil dari qiyas : wudhu itu
adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perbuatan yang berbeda beda, yang satu
terikat dengan yang lain tentang terwujudnya tujuan yang dimaksudkan,. Oleh
karena itu wajib tertib seperti halnya shalat dan haji
Ulama’ Malikiyah dan Hanafiyah mengambil
dalil sebagai berikut:
a. Huruf ‘athof yang berupa و tidak menunjukkan arti tertib,jadi
apabila keseluruhan dalam wudhu sudah terlaksana walaupaun tanpa tertib itu
sudah sah menurut syara’
b. Karena adnya hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari ‘Ammar tentang nabi SAW mengajarkan
tayammum dengan mengusap tangan terlebih dahulu, dari hadist itu maka wudhu
boleh tidak berurutan karena tayammum dan wudhu adalah sama
c. Wudhu adalah bersuci sehingga
tidak wajib tertib seperti halnya mandi, dan tidak wajib mendahulukan yang
kanan dengan yang kiri.[13]
D. Menyentuh Perempuan
yang Membatalkan Wudhu Menurut Empat Imam Madzhab
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa menyentuh wanita
membatalkan wudhu. Menurut pendapat mereka hokum tersebut juga berlaku bagi
orang yang menyentuh laki-laki yang memiliki paras cantik layaknya wanita, maka
menyentuhnya dengan kenikmatan dapat membatalkan wudhu.[14]
Menurut Imam Hanafi : wudhu itu tidak batal kecuali
dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Menurut Imamiyah : menyentuh itu tidak dapat membatalkan
wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula orang yang
berwudhu itu menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya tanpa adanya
aling-aling, maka menurut Imamiyah dan Hanafi ia tidak membatalkan wudhu.
Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa menyentuh itu dapat
membatalkna wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun
dengan belakangnya.
Imam Malik mengatakan : ada hadits yang diriwayatkan oleh
mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia
menyentuh dengan telapak tangan (bagian depan) maka membatalkan wudhu, tetapi
jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu.
Hadits Nabi :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ
فَلْيَتَوَ ضَّأ
Artinya : ”Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka
hendaklah ia berwudhu”.
Dalam hal ini ulama’ madzab memiliki batas batasnya
masing masing, ulama’ Hanafiyah berpendapat , menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu, kecuali disertai dengan bertemunya dua kemaluan tanpa
penghalang. Sementara ulama’ Syafi’iyah mengatakan bahwa menyentuh waita
membatalkan wudhu dengan syarat orang yang disentuh bukan anak kecil atau
saudara kandung dan tidak terdapat penghalang antara penyentuh dan yang disentuh.
Sedangkan jika yang disentuh adalah rambut, gigi, atau kuku, maka tidak
membatalkan wudhu, karena benda tersebut tidak merasakan sentuhan. Dalam hal
ini ulama’ Malikiyah dan Hambaliyah mengambil jalan kompromi diantara dalil
dali yang ada. Menurut mereka, menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu,
walaupun yang disentuh saudari kandungnya jika tujuan menyentuh adalah mencari
kenikmatan, atau dia merasakan kenikmatan karenanya, sedang kalau menyentuh
tanpa sengaja maka tidak membatalkan wudhu. dan juga apabila menyentuh laki
laki yang memiliki paras cantik, bila menyentuhnya maka juga membatalkan wudhu,
tetapi tidak membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh orang tua renta, baik
laki laki atau perempuan yang tertutup kemungkinan untuk menikah, karena mereka
dihukumi sama dengan anak kecil.[15]
E. Menyentuh
Farji, Qubul dan Dubur Menurut Empat Imam Madzhab
Menyentuh kemaluan anak Adam dengan bathinnya telapak
tangan dari diri orang yang berwudhu dan lainnya, baik itu laki-laki atau
perempuan, kecil atau besar, masih hidup atau sudah mati.[16]
Dalam madzhab Syafi’i, dubur itu termasuk al-farju.
Maka dalil yang menunjukkan batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, dijadikan
sebagai dalil untuk menunjukkan bahwa menyentuh dubur termasuk pembatal wudhu.
Yang tepat, dalil-dalil yang ada menunjukkan batalnya
wudhu karena menyentuh kemaluan, bukan karena menyentuh dubur. Hukum asalnya
adalah tetap dalam keadaan suci, tidaklah batal. Hukum asal ini bisa berubah
kalau ada dalil pemaling yang meyakinkan.[17]
Hanafiyah
: berpendapat bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu sekalipun
dengan syahwat. Baik dengan menggunakan telapak tangan ataupun dengan bagian
dalam jemari tangannya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
من مس ذ
كره فليتوضأ
Artinya : “Barang siapa menyentuh dzakarnya, maka
hendaklah ia berwudhu.”
Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa wudhunya
itu dapat batal disebabkan menyentuh dzakar dengan beberapa syarat berikut:
1.
Orang yang menyentuh dzakarnya sendiri maupun dzakar orang lain.
2.
Orang tersebut baligh, walaupun ia adalah seorang banci. Maka wudhu seorang
anak kecil tidaklah batal akibat sentuhan itu.
3.
Sentuhan itu tanpa pengahalang
4.
Sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan, atau
bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari tangan, atau bagian tepi
jemari tangan, atau ujung jari sekalipun jari itu adalah jari lebih
(yaitu) bila jari lebih itu sama dengan salah satu jari aslinya dalam menangkap
rasa dan dalam berbuat. Maka wudhu itu tidak batal apabila ia menyentuh
dzakarnya dengan anggota badan lainnya, seperti menyentuh dengan pahanya atau
dengan lengan tangannya.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa wudhu itu
dapat batal dengan menyentuh dzakar dengan menyentuh tempat potongannya (tempat
sunatannya), dengan syarat berikut :
1.
Tidak ada suatu penghalang.
2.
Sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan telapak tangan atau jemari tangan
bagian dalam. Maksudnya, adalah bagian yang tertutup disaat kedua tangan itu
dirapatkan satu sama lainnya dengan sedikit ditekan. Sehingga, menyentuh dzakar
dengan menggunakan bagian pinggir telapak tangan atau ujung jemarinya dan
dengan menggunakan bagian yang terdapat antara pinggir telapak tangan dan ujung
jemarinya tidak membatalkan wudhu.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berwudhu ialah membasuh sebagian anggota badan dengan air
mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat untuk menghilangkan
hadats kecil.
Adapun fardunya wudhu menurut madzab Syafi’i
itu ada enam, keempat fardu seperti, membasuh muka,dua tangan, mengusap kepala,
dan membasuh kaki adalah fardu fardu yang sudah diterangkan dalam Al Qur’an
surat Al-Maidah ayat 5, dan keempat fardu ini sudah disepakati oleh semua
ulama’, sedangkan yang dua/lain, para ulama’ madzab memiliki pendapat mereka
sendiri.
Menyentuh wanita tanpa aling-aling itu membatalkan wudhu ini menurut
Syafi’i, selama yang disentuh itu bukan muhrimnya. Menurut Hanafi bahwa
menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu selama tidak ada syahwat di situ.
Imamiyah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu tidak dapat membatalkan wudhu
secara mutlak.
Untuk menyentuh kemaluan Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa tidak
membatalkan wudhu, baik dengan aling-aling maupun tanpa aling-aling, karena
mereka berpendapat bahwa itu masih merupakan anggota tubuh. Sedangkan menurut
Syafi’i dan Hambali menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu, baik menyentuh
dengan telapak tangan maupun dengan punggung tangan. Maliki berpendapat bahwa
apabila menyentuh kemaluan dengan telapak tangan maka hal itu dapat membatalkan
wudhu, namun apabila memakai punggung tangan tidak dapat membatalkan wudhu.
Menyentuh
kemaluan anak Adam dengan bathinnya telapak tangan dari diri orang yang
berwudhu dan lainnya, baik itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, masih
hidup atau sudah mati
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Ar
Rahbawi, Ash Sholah alaa Madzhaahib Al Arba’ah , terj.
Abu Firly Bassam Taqiy, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011)
-------, Fiqh
Shalat: Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007)
Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di
Rumaysho:
https://rumaysho.com/19222-safinatun-najah-pembatal-wudhu.html, diakses pada 16 Oktober 2019, Pukul 6.52
https://rumaysho.com/19222-safinatun-najah-pembatal-wudhu.html, diakses pada 16 Oktober 2019, Pukul 6.52
https://sharinghidayah.blogspot.com/2016/05/batalnya-wudhu-menurut-imam-madzhab.html,
diakses pada 16 Oktober 2019, Pukul 6.58
Ibnu Kosim Al
Ghozi, fathul Qorib Mujib (tt: Darul Ihya
Kitab Arabiyah, 2005)
Imron Abu Amar, Fathul
Qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983)
Isnatin Ulfah, Fiqih
Ibadah, (Ponorogo: Stain Po Press, 2009)
Mahmud Syaltut dan Ali As
Sayis, Perbandingan Madzab dalam Masalah Fiqih (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 2005)
Muh. Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci
Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam. (Yogyakarta : Dian, 1987)
Nawawi Al jawi, Simaril
Yani’ah Fi Ar Riyaadil Badi’ah (tt: Al Haromain Jaya Indonesia,
2011)
Rahman Ritongga,Zainuddin, Fiqih
Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)
Zainuddin Rahman Ritongga,
Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)
[1] Muh. Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya
Menurut Ajaran Islam. (Yogyakarta : Dian, 1987). hal. 42
[3] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah, (Ponorogo: Stain Po
Press, 2009), hal 16.
[4] Muh. Dachlan Arifin. Pokok-pokok Bersuci Dan
Hikmahnya Menurut Ajaran Islam, hal. 42
[5] Ibid, hal 33
[6] Nawawi Al jawi, Simaril
Yani’ah Fi Ar Riyaadil Badi’ah (tt: Al Haromain Jaya Indonesia,
2011), hal. 20.
[8] Ibid, hal.38
[9] Nawawi Al jawi, Simaril
Yani’ah Fi Ar Riyaadil Badi’ah, hal. 20.
[10] Mahmud Syaltut dan Ali As Sayis, Perbandingan Madzab dalam Masalah
Fiqih (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), hal. 11
[11] Ibid, hal
11-12
[12] Ibnu Kosim Al
Ghozi, fathul Qorib Mujib (tt: Darul Ihya
Kitab Arabiyah, 2005), hal 5.
[14] Abdul Qadir
Ar-Rahbawi, Fiqh Shalat: Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka,
2007), hal. 95.
[15] Abdul Qadir Ar
Rahbawi, Ash Sholah alaa Madzhaahib Al Arba’ah , terj.
Abu Firly Bassam Taqiy, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011), hal. 99- 101.
[16] Imron Abu Amar, Fathul
Qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983), hal. 26.
[17] Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/19222-safinatun-najah-pembatal-wudhu.html, diakses pada 16 Oktober 2019, Pukul 6.52
https://rumaysho.com/19222-safinatun-najah-pembatal-wudhu.html, diakses pada 16 Oktober 2019, Pukul 6.52
[18] https://sharinghidayah.blogspot.com/2016/05/batalnya-wudhu-menurut-imam-madzhab.html, diakses pada
16 Oktober 2019, Pukul 6.58
terimakasih atas ilmunya yang bermanfaat
BalasHapusQuote Kesehatan