Makalah Al-Azhar: Bentuk Tipikal PendidikanTinggi
Berbicara tentang
sejarah pendidikan Islam tentu tidak lepas dari
Universitas al-Azhar, pandangan kita tertuju pada sebuah lembaga
pendidikan Islam tertua yang hingga saat ini masih menjadi rujukan masyarakat
untuk menimba ilmu-ilmu keislaman secara khusus dan ilmu-ilmu umum secara
global. Sebagai institusi pendidikan, al-Azhar memiliki banyak peran penting
mencetak dan mengantarkan mahasiswa menjadi orang-orang penting dalam berbagai
bidang kehidupan.
Al-Azhar sejak
berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh kepentingan penguasa saat itu
hal ini karena posisi al-Azhar yang tidak independen. pergeseran fungsi
masjid menjadi sarana menanamkan faham syiah hingga kemudian berganti ke faham
sunni, serta jatuh bangunnya lembaga ini hingga mampu bertahan dan menjadi
rujukan para pencari ilmu, perlu dikaji untuk melihat, mempelajari dan
mengambil aspek-aspek penting yang dapat digunakan pada lembaga-lembaga
pendidikan kita saat ini.
Dalam makalah penulis
akan memaparkan tentang sejarah berdirinya al-Azhar, pasang surutnya al-Azhar
sebagai bentuk perguruan tinggi, al-Azhar digunakan sebagai benteng aliran
keagamaan.
1. Bagaimana sejarah berdirinya
al-Azhar?
2. Bagaimana pasang surutnya
al-Azhar sebagai bentuk perguruan tinggi?
3. Mengapa al-Azhar digunakan
sebagai benteng aliran keagamaan?
1. Mengetahui sejarah pendirian
al-Azhar.
2. Mengetahui pasang surutnya
al-Azhar sebagai bentuk perguruan tinggi.
3. Mengetahui al-Azhar digunakan
sebagai benteng aliran keagamaan.
Setelah selesai
membangun kota Kairo lengkap dengan istananya, Jauhar al-Siqili mendirikan
masjid Al-Azhar pada tanggal 17 ramadhan tahun 359 H (970). Kemudian hari
masjid ini berkembang ini berkembang menjadi sebuah universitas besar pada
akhir masa al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975
M) yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Azhar diambil dari
al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan istri Ali ibn
Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.[1]
Sumber lain menyebutkan Dinasti Fatimiyah adalah sebuah dinasti yang
terletak di Tunisia yang dibangun pada tahun 909 M. Pada waktu kaum Fatimiyyin
menaklukan Mesir pada tahun 330 H, panglima perang Dinasti Fatimiyah, kalifah
Mauizuddin li Dinillah, membangun masjid dengan nama al-Azhar, pada tanggal 24
Jumadil Ula 359 H/390 M dan selesai pembangunan pada bulan Ramadhan 361 H (972
M), merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir. Sebelumnya
nama masjid ini al-Qahirah yang berarti sama dengan nama kota Cairo, dan
dikaitkan dengan kata-kata al-Qohiroh al-Zahirah yang berarti kota cemerlang.[2]
Masjid
al-Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa, dan juga
mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan
dipegang oleh Al-Aziz Billah mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi
universitas. Presiden Mesir Mohammad Husni Mubarak dalam sambutannya pada
perayaan hari ulang tahun Universitas al-Azhar yang ke 1000 menjelaskan bahwa
Universita al-Azhar merupakan lembaga pendidikan tertua didunia islam, sebagai
pioner kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, menjadi referensi umat islam
dari berbagai negara.
1. Masa Dinasti
Fatimiyah
Al-Azhar dan kota Kairo merupakan bukti monumental
sebagai produk peradaban Islam di Mesir yang tetap eksis sampai saat ini. Pada
awalnya al-Azhar bukanlah sebagai sebuah perguruan tinggi melainkan hanya
sebuah masjid yang oleh khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat untuk
menyebarkan dakwah mereka. Pada masa ini intervensi pemerintah terhadap
al-Azhar sangat besar, seperti seorang guru tidak boleh mengajar, sebelum
mendapat izin dari khalifah. Pada masa itu sistem pengajaran terbagi menjadi
empat kelas, yaitu:
a.
Kelas umum diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk
mempelajari Al-Qur’an dan penafsirannya.
b.
Kelas bagi para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen
yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya.
c.
Kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubalig seminggu
sekali pada hari senin yang dibuka untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus
bagi mahasiswa pilihan.
d.
Kelas non-formal yaitu kelas untuk pelajar wanita.[3]
Pada masa ini pula muncul Ya’qub bin Kalas, seorang Menteri Khalifah
al-Aziz Billah. Ya’qub bin Kalas pernah juga mengajukan kepada khalifah
al-Aziz, bahwa Jami al-Azhar tidak hanya terbatas untuk mendirikan sholat dan
penyebaran dakwah Fatimiyah, tetapi dijadikan sebagai lembaga pendidikan. Tidak
lama kemudian akhirnya muncul pemikiran tentang studi di Jami al-Azhar pada
bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M). Ketika itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan
Ali bin Nu’man al-Maghribi di Jami al-Azhar. Ya’qub bin Kalas menjadikan
al-Azhar sebagai universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal
(logika) dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran,
al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk para Fuqaha (dosen, tenaga pendidik) serta
semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh khalifah. Adapun ilmu agama yang
diajarkan meliputi : ilmu tafsir, qiraaat, hadits, fiqih, nahwu, sharaf dan
sastra, sedangkan ilmu umum yang dipelajari adalah filsafat, ilmu falak, ilmu
ukur, musik, kedokteran, kimia dan sejarah, serta ilmu bumi dan kuliyah darul
hikmah yang didirikan oleh khalifah Al-Hakim tahun 395 H/ 1005 M.[4]
2.
Masa Dinasti Ayyubi
Selanjutnya, menurut Dr. Jamaluddin Surur, bahwa al-Azhar telah menduduki
posisi untuk membangkitkan kehidupan peradapan Mesir terutama hal-hal yang
berkaitan dengan dakwah Fatimiyah sejak masa Khalifah al-Aziz Billah. Pada saat
itu umat manusia mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu
munadzarah dan mengkaji fikih syi’ah. Setelah Daulat Fatimiyah
jatuh ke tangan Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 567 H (1171 M), al-Azhar yang
sebelumnya sebagai alat tunggangan politik dan propaganda paham syi’ah oleh
Daulah Fatimiyah harus menghentikan segala aktivitasnya sebagai tempat untuk
melaksanakan peribadatan dan pendidikan.[5]
Sebab Salahuddin Al-Ayyubi menganut paham sunni dengan demikian al-Azhar
ditutup sebagai universitas dan tempat sholat jum’at, maka al- Azhar menjadi sunyi
dan senyap. Shalahuddin mengambil kebijakan baru untuk menghilangkan aliran
syi’ah yang telah tumbuh dan berkembang sekian lama. Bahkan sembahyang
jum’atpun dilarang dalam al-Azhar apalagi mengajarkan mazhab Syi’ah dan ilmu
filsafat. Sedangkan tempat pendidikan dan pengajaran dipindahkan ke madrasah. Pendidikan
Shalahiyah.[6] Terutama
melalui sarana al-Azhar untuk digantikan dengan aliran Sunni.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Shalah uddin al-Ayyubi
adalah:
a.
Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir seratus tahun, yaitu
sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa Sultan al-Mamluki al-Dzahir pada tahun
665 H (1266 M).
b.
Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh Amir Edmir dan
Sultan Berbes atau Sultan al-Dzohir Berbes.
c.
Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang amat penting, terutama ketika Kairo
menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha dan mahasiswa.
3.
Masa Dinasti Mamalik
Pada masa ini terjadi serbuan besar-besaran dari bangsa Mongol ke Timur dan
jatuhnya Islam di Barat menyebabkan banyak ulama dan ilmuwan muslim yang
mencari perlindungan ke al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi al-Azhar menjadi
penting. Disamping itu, menambah mansyur nama al-Azhar dimata dunia Islam.
Sejak saat itu banyak pelajar dan negara-negara Islam yang tertarik menjadi
mahasiswa dan belajar di al-Azhar. Para orientalis menyebutnya zaman keemasan
dalam sejarah al-Azhar.
Al-Azhar mengalami banyak pembaharuan, khususnya setelah penjajahan
Bonaparte di Mesir dan gerakan modernisasi oleh Mohammad Ali pada permulaan
abad ke-19. Mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang telah dikirim untuk
belajar di negara-negara Eropa, seperti Rifa’at al-Thatawi, Ayyad al-Thatawi,
kemudian Mohammad Abduh dan Saad Zaghloul, melakukan perubahan dan memberikan
sumbangan bagi proses pembaharuan.[7]
Setelah Sultan
Balbars memerintah Mesir tahun 665 H(1266 M), lalu diperintahkannya supaya
didirikan sembahyang jum’at di al-Azhar. Kemudian Balbars membuka al-Azhar
kembali untuk tempat pendidikan dan pengajaran seperti pada masa Fatimiyah
dahulu. Tetapi ilmu fiqh yang diajarkan pada mulanya adalah mahzab Syafi’i,
kemudian baru dimasukkan mahzab-mahzab yang lain. Pada masa ini ilmu-ilmu yang
diajarkan al-Azhar ialah ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Sedangkan ilmu
aqliyah, seperti ilmu pasti dan ilmu lainnya diajarkan juga tetapi pelajar yang
menuntut ilmu itu sedikit sekali bilangannya.
Tatkala
Mesir hilang kemerdekaannya pada tahun 922 H (1517 M). Mundurlah pendidikan dan
pengajaran di al-Azhar khususnya dan di madrasah-Pendidikanlain umumnya. Pada
masa itu ilmu-ilmu yang diajarkan di al-Azhar hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa
arab saja. Sedangkan ilmu-ilmuAqliyah, seperti ilmu pasti, filsafat,
ilmu bumi dan sebagainya dianggap haram hukumnya. Dengan demikian lenyaplah ilmu-ilmu
Aqliyah dari al-Azhar dan mencangkupkan hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa arab
saja. Pada tahun 1304 H(1886 M) Syekh al-Azhar, syekh Al-Indaby mengeluarkan
fatwa, bahwa mempelajari ilmu-ilmu Aqliyah itu tidak haram, bahkan boleh untuk
dipelajari. Disini patut diperingatkan, bahwa pada masa mundur al-Azhar itu ada
juga ulama yang mempelajari ilmu-ilmu aqliyah dengan kemauannya sendiri.
Misalnya Syekh Ahmad Abdul Mun’im Ad-Damanhury, Syekh Al-Azhar (wafat tahun
1192 H= 1778 M). Dalam ijazahnya disebutkan diantara ilmu-ilmu yang telah
dipelajari ialah : berhitung, miqat (hisab falaki), aljabar, ilmu ukur, ilmu
falak, sebab-sebab penyakit dan ilmu kesehatan, ilmu hewan, ilmu
tumbu-tumbuhan, ilmu tasyrih (otnatomi), sejarah dan lain-lain).
Hal
ini membuktikan, bahwa ilmu-ilmu aqliyah itu tidak lenyap sama sekali dari
al-Azhar, bhkan ada juga sebagian ulama mempelajarinya dengan kemauanya
sendiri. Kesimpulannya pada masa itu ilmu-ilmu agama dan bahasa arab yang
menjadi mata pelajaran di al-Azhar. Sedangkan filsafat dan tasawuf tidak
diajarkan di al-Azhar, hanya diajarkan sebagai pelajaran khusus di rumah guru
yang terletak disekitar masjid.[8]
Menurut Dr.
Hasanain Rabi’ pada abad ke-9 H (abad XV M) merupakan masa kejayaan bagi
al-Azhar, karena pada saat itu al-azhar menempati tempat tertinggi diantara
madrasah-Pendidikandan perguruan tinggi yang ada di Kairo. Ketika itu al-Azhar
sebagai induk Pendidikandan juga sebagai perguruan tinggi terbesar yang tidak
ada rivalnya dimanapun, para ulama dari berbagai negara datang mengunjungi
al-Azhar untuk belajar. Pada masa Mamalik, kebijakan dan perhatian pemerintah
terhadap al-Azhar sangat kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebuah perguruan
tinggi.
Prof. Dr. Azyumardi Azra berpendapat, sebagai sebuah perguruan tinggi yang
sudah berusia tua al-Azhar juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya.
Sejak Dinasti Usmani (1517-1798 M) pamor al-Azhar mulai menurun, sehingga
menjadi alasan kuat untuk penguasa pembaru seperti Muhammad Ali untuk campur tangan
lebih jauh dalam pembenahan al-Azhar sejak paroan pertama abad ke-19. Kenyataan
inilah menjadi Preseden lenyapnya idependensi al-Azhar sebagai lembaga akademis
yang pada gilirannya juga mempengaruhi otoritas atau kewibawaannya, khususnya
dalam hubungan dengan kekuasaan politik.[9]
Pada masa Fatimiyah,
materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar, disamping tentang ke-Fathimiyah-an,
juga dipelajari ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah,
antara lain: Fikih, Hadits, Tafsir, Nahwu, Ilmu Tafsir, Ilmu
Qira’at, Ilmu Hadits dan Ilmu Kalam. Diantara ulama yang turut belajar di
al-Azhar pada masa ini adalah :
1.
Hasan Ibn Ibrahim, yang lebih dikenal dengan Ibnu Zulaq (wafat tahun 387
H). Karena kecerdasannya, ia diberi penghargaan untuk menjadi tenaga pengajar
di al-Azhar. Diantara karya-karyanya adalah: Kitab Fadhailu
Misrh (كتاب فضاتل مصر), Kitab Qudhatu Misrh (كتاب قضاة مصر), Kitab al-‘Uyun al-Da’j (كتاب العيون الدعج).
2.
Al-Amir al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad bin Abdullah (wafat tahun 450 H).
Ia seorang pakar dalam bidan politik, administrasi, dan sejarah. Diantara
karyanya adalah kitab al-Tarikh al-Kabir, yang dikenal
dengan Tarikh Misrh (تاريخ مصر).
3.
Abu Abdillah al-Qudha’i, (wafat tahun 454 H).
4.
Abu Ali Muhammmad bin al-Hasan bin al-Haitsam. Ia ilmuwan dalam bidang
teknik, filsafat, dan matematika. Ia wafat di Kairo pada tahun 436 H.
Pada masa
Mamalik, pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi
pendidikan yang lain, yaitu sistem berhalaqah (melingkar),
seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauannya. Umumnya
guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru-guru
kadang-kadang duduk dikursi ketika menerangkan kitab yang diajarkan. Disamping
itu metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran
antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan
penajaman dari materi yang didiskusikan. Setelah mahasiswa dapat menguasai
disiplin ilmu yang diberikan oleh seorang dosen, maka ia dipersilahkan untuk
memilih dosen lain untuk mempelajari mata kuliah yang berbeda. Bagi mahasiswa
yang sudah menyelesaikan kuliahnya kepada seorang dosen, maka ia akan
diberi syahadah (ijazah). Dalam ijazah tersebut diterangkan
nama mahasiswa, nama dosen, mazhab, serta tanggal ijazah dikeluarkan.
Diantara ulama yang
bertugas mengajar di al-Azhar pada masa Mamalik adalah:
1.
Ali Ibn Yusuf Ibn Jarir al-Lakhmi (wafat tahun 713 H/1313 M), sebagai dosen
dalam bidang penelitian.
2.
Qiwamuddin al-Kirmani, sebagai dosen dalam ilmu fikih dan ilmu qira’at.
3.
Syamsuddin al-Ashbahani, sebagai dosen dalam bidang pemikiran.
4.
Syarifuddin al-Zawawi al-Maliki.
5.
Qunbur ibn Abdillah al-Sibbziwani (wafat tahun 801 H), sebagai dosen
dalam ilmu-ilmu aqliyah.[10]
6.
Badruddin Muhammad ibn Abi Bakar al-Dimamini (wafat tahun 827 H/1424 M),
sebagai dosen dalam ilmu nahwu, nujum, dan fikih.
Menurut Dr. Hasanain
Rabi’ bahwa pada abad ke-9 H (abad ke 15 M) merupakan masa yang gemilang bagi
al-Azhar, karena pada saat itu al-Azhar memiliki tempat tertinggi diantara
madrasah-Pendidikandan jamiah yang ada di Kairo pada saat itu. Ketika itu
al-Azhar sebagai induk sekolah dan sebagai jamiah Islamiyah terbesar.
Ulama-ulama muslimin dari berbagai negara datang dan belajar di Jami’ al-Azhar.
Diantara ulama yang datang ke Mesir pada saat itu ialah Ibn Khalduntahun 784 H
(1382) dan sempat menuntut imu di al-Azhar. Pada saat itu ia sempat melakukan
kontak dengan para ulama dan ahli sejarah mesir. Dari hasil pertemuan dan
kontak itu dibangunlah sebuah lembaga pendidikan untuk studi sejarah (للدراسة التا ريخ)
Adapun mahasiswa yang
belajar pada lembaga pendidikan ini antara lain:
1.
Imam al-Maqrizi (wafat tahun 845 H/1442 M).
2.
Ibn Hajar al-‘Asqalni (wafat tahun 851 H/1448 M).
Syekh Hasan al-‘Athar
adalah diantara ulama yang berjasa kepada al-Azhar, terutama dengan idenya agar
al-Azhar memasukkan atau mengajarkan kuliah filsafat, sastra, geografi,
sejarah, dan ilmu-ilmu thabi’i, yang sebelumnya dilarang di al-Azhar.
Idenya yang lain adalah setiap permasalahan yang muncul hendaknya merujuk
kepada kitab aslinya (sumber primer). Pada tahun 1827 M, ia diangkat sebagai
dosen di al-Azhar.
Ia adalah orang
yang pertama kali menyerupai agar al-Azhar dapat lebih mengembangkan diri,
seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahun
1246 H, ia diberi penghormatan untuk menjabat sebagai syekh al-Azhar sampai ia
wafat pada tahun 1250 H. Karena jasa-jasa dan idenya terhadap pengembangan
al-Azhar, ia dikenal sebagai pelopor penggerak perbaikan sistem pendidikan di
al-Azhar.[11]
Pada saat dunia islam
mengalami kemrosotan yang tajam dalam bidang pemikiran, Napoleon Bonaparte
dapat menakhlukan Mesir dalam waktu yang sangat singkat. Ia datang ke Mesir
bukan hanya berbekal peralatan militer canggihnya, tetapi juga membawa produk
budaya modern, berupa percetakan, laboratorium penelitian, sekaligus dengan
para ilmuwan dan orientlisnya. Situasi seperti ini menyadarkan para ulama Mesir
akan ketertinggalannya dari dunia Barat, sekaligus menimbulkan hasrat untuk
maju kembali. Sehingga di Mesir muncullah gerakan pembaruan yang dipelopori
oleh Muhammad Ali, seorang perwira Turki. Sesudah perancis meninggalkan Mesir,
lalu ia menjadi penguasa tunggal Mesir (1805-1849 M). Ia mengirim para pelajar
Mesir ke Perancis untuk tugas belajar, sementara didalam negeri pun ikut
mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari militer, teknik, kedokteran, apoteker, pertambangan,
pertanian, serta sekolah penerjemahan. Diantara produk gerakan ini adalah syekh
al-Tahtawi, seorang ulama al-Azhar yang mendapat pendidikan Barat, dan
sekembalinya ke Mesir, ia banyak memperkenalkan ilmu-ilmu modern kepada
masyarakat Mesir.
Membahas tentang
reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh
reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr sebuah desa di Mesir.
Diantara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi sistem pendidikan di
al-Azhar adalah:
1.
Ia menentang pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan
kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah
haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
2.
Materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar tidak hanya terbatas pada
ilmu-ilmu agama an sich, tetapi ia juga memperkenalkan sekaligus
mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa, teologi, seperti logika.
3.
Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di al-Azhar yang lebih menekankan
kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih menekankan kepada mahasiswa untuk
dididik berfikir.[12]
Pada tahun 1983
Universitas al-Azhar, kembali membuka lima fakultas baru, dengan demikian
sampai dengan akhir tahun 1983 jumlah fakultas di Universitas al-Azhar
berjumlah 39 fakultas. Tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai rektor pada
Universitas al-Azhar antara lain:
1.
Prof. Dr. Muhammad al-Baha
2.
Syekh Ahmad Hasan al-Baquri
3.
Prof. Dr. Badawi Abdul Latif
4.
Prof. Dr. Abdul Fatah
5.
Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim
Al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tinggi saat itu, telah banyak melahirkan ulama yang tidak
diragukan lagi dari aspek keilmuannya, dan telah banyak menyumbangkan khasanah
ilmu pengetahuan terutama keislaman, baik dari Mesir maupun ulama yang berasal
dari daerah lain. Diantara mereka ialah Izauddin bin Abdissalam, Imam Subki,
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani, dan lain-lain dan karya
monumental dari para ulama tersebut masih dapat dipelajari dan disaksikan
sampai sekarang ini.[13]
Undang-undang
al-Azhar yang pertama dikeluarkan pada masa Ismail Basya memerintahi Mesir
tahun 1288 H (1872 M). Syekh Al-Azhar pada masa itu ialah Syekh Muhammad
Al-Mahdi Al-Abbasy. Dalam undang-undang itu ditarangkan pula mata pelajaran
mata pelajaran yang diuji untuk mencapai ijazah itu.
Ijazah –ijazah itu
terbagai atas tiga tingkat:
1.
Tingkat Pertama, namanya Ijazah (rendah)
2.
Tingkat menengah, namanya Ahliyah.
3.
Tingkat tinggi, namanya Alimiyah.
Menurut undang-undang
itu, bahwa mata pelajaran yang dipelajari dan diuji untuk mencapai syahadah
‘Alimiyah sebagai berikut:
1.
Ushul-Fikih
2.
Fikih
3.
Tauhid
4.
Hadits
5.
Tafsir
6.
Nahu
7.
Syaraf
8.
Ma’ani
9.
Bayan
10. Badi’
11. Mantiq
Demikian ilmu-ilmu
yang dipelajari dan diuji menurut Undang-undang Al-Azhar yang lama itu.
Undang-undang itu tetap barlaku sampai akhir tahun ini, meskipun telah
dikeluarkan undang-undang baru, undang-undang lama tetap berlaku bagi siapa
saja yang sula memasuki ujian itu untuk mencapai syahadah ‘Alimiyah. Pada masa
pengarang di Mesir tahun 1924 M. Pengarang sendiri memasuki ujian dalam 11 ilmu
itu untuk mencapai syahadah ‘Alimiyah yang khusus untuk ghurabak (bangsa asing,
bukan bangsa Mesir).
Amat sayang sekali
undang-undang al-Azhar yang lama itu tidak memuaskan untuk pelajar-pelajar masa
modern sekarang. Apalagi untuk mencapai syahadah ‘Amaliyah itu harus memakai
waktu sekurang-kurangnya 15 tahun dan tidak dibebaskan selama-lamanya. Sebab
itu ada pelajar yang belajar 20 atau 25 tahun lamanya baru mendapat syahadah
‘Alimiyah. Selain dari pada itu, kitab-kitab yang mereka pelajari ialah
kitab-kitab mukhtasar (pendek) yang tidak dapat dipahami maksudnya, melainkan
sejarah syarah, dengan hasyiah dan dengan taqrir.
Pada tahun 1314 H
(1896 M) telah diusahakan oleh Syekh Muhammad Abdul bersama Syekh Al-Azhar,
Syekh Hasunah An-Nawawi untuk mengadakan perbaikan al-Azhar dengan
mengeluarkan Undang-undang baru. Dalam undang-undang itu dimasukkan mata
pelajaran baru sebagai berikut:
1.
Akhlak
2.
Mustalah Hadits
3.
Berhitung
4.
Aljabar
5.
Arudi dan qafiah
6.
Sejarah Islam
7.
Insyak (mengarang)
8.
Matan Lughah
9.
Pokok-pokok ilmu ukur
10. Ilmu Bumi
Selain itu dilarang
membaca hasyiah pada 4 tahun yang pertama, bahkan dilarang membaca taqrir tapi
sayang perbaikan itu tidak berjalan menurut mestinya, bahkan undang-undang itu
tidak berlaku sesudah keluar Syekh Muhammad Abduh dari Majelis Idarah Al-Azhar
dan sesudah wafatnya pada tahun 1323 H (1905 M). Sesudah itu tetap tetap berlaku
undang-undang al-Azhar lama yang mewajibkan mempelajari 11 ilmu saja yaitu
ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Selain ilmu itu diajarkan juga ilmu falak,
miqat, dan berhitung bagi pelajar-pelajar yang membutuhkannya sebagai mata
pelajaran tambahan. Karena perbaikan al-Azhar tidak dapat
dilaksanakan maka pemerintah Mesir mendirikan dua buah sekolah tinggi:
1.
Darul Ulum tahun 1287 H (1870 M) untuk mengeluarkan guru-guru agama dan
bahasa arab pada sekolah-sekolah negeri.
2.
Qada’as Syar’i tahun 1325 H (1907 M) untuk mengeluarkan hakim-hakim agama.
Dengan demikian
tertutuplah pintu bagi ulama-ulama keluaran al-Azhar untuk menjadi guru agama
dan bahasa arab di sekolah-sekolah negeri dan untuk menjadi hakim agama. dan
tak ada lagi jabatan mereka haya menjadi imam dan khatib di mesjid-mesjid.
Pada mulanya al-Azhar
merupakan nama sebuah masjid yang didirikan pada tanggal 17 Ramadhan tahun 359
H (970 M). Kemudian masjid tersebut dikembangkan menjadi sebuah Universitas
besar. Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah dikenal sebagai
Universitas tertua di duni, karena sejak itu telah mengeluarkan disiplin ilmu
pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama seperti fikih, al-Qur’an, nahwu, sharaf,
tasawuf, hadits, bahasa Arab dan lain-lain. Selain itu al-Azhar juga
mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu kedokteran, matematika, filsafat dan
lain-lain.
Latar belakang
berdirinya al-Azhar adalah untuk kepentingan para penguasa dari dinasti
Fatimiyah yang ingin menanamkan ajaran syi’ah didalamnya. Al-Azhar sejak
berdiri mengalami pasang surut karena pengaruh kepentingan penguasa pada saat
itu. Hal ini karena posisi al-Azhar yang tidak independen. Al-Azhar mengalami
masa kemunduran pada masa dinasti Ayyubi yang menganut paham sunni dan
menghentikan segala aktivitas sebagai tempat peribadatan dan pendidikan. Selain
itu, pada masa ini melarang al-Azhar untuk tempat sembahyang Jum’at. Dengan
demikian al-Azhar menjadi sunyi. Masa keemasan al-azhar terjadi pada saat
pemerintahan Dinasti Mamalik. Pada masa ini Al-Azhar mengalami banyak
pembaharuan dan pelajar dari negara-negara lain tertarik untuk menjadi
mahasiswa di Al-Azhar.
Al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tinggi pada saat itu telah banyak mencetak ulama yang
tidak diragukan lagi dari aspek keilmuannya. Undang-undang al-Azhar yang
pertama dikeluarkan pada masa Ismail Basya memerintah Mesir. Dalam
undang-undang diterangkan jalan untuk mendapat ijazah harus melalui mata
pelajaran yang diuji.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan
Petengahan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1992 M-1413 H).
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999).
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada
Media, 2005).
[2] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan
Petengahan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).hal.87-88
0 Response to "Makalah Al-Azhar: Bentuk Tipikal PendidikanTinggi"
Posting Komentar