MAKALAH TAUHID DAN ILMU KALAM MODERN (MUHAMMAD IQBAL DAN MUHAMMAD ABDUH)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu
kalam (ilm al-kalam) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk
rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu
sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari,
mengarahkan sampai batasbatas tertentu "mendominasi" arah, corak
muatan materi dan metodologi kajiankajian keislaman yang lain, seperti fikih,
(al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh,
filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan
pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait
dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.
Seringkali dijumpai bahwa umat Islam,
baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok mengalami kesulitan
keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan
arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya
tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak
menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul,
bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam
praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Riwayat Muhammadi Iqbal?
2. Apa saja Pemikiran-Pemikiran
Kalam Muhammad Iqbal?
3. Bagaimana Riwayat Syekh Muhammad Abduh?
4. Apa saja Pemikiran-pemikiran
Kalam Muhammad Abduh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Riwayat Muhammadi Iqbal
2. Agar mengetahui Pemikiran-Pemikiran
Kalam Muhammad Iqbal
3. Untuk mengetahui Riwayat Syekh Muhammad Abduh
4. Agar mengetahui Pemikiran-pemikiran
Kalam Muhammad Abduh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Muhammad
Iqbal
1. Riwayat Hidup Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia
berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang
terkenal saleh dalam beragama. Guru pertama Iqbal adalah ayahnya kemudian ia di
masukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an. Setelah itu, ia di
masukkan ke Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, ia di beri
pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan
sekolahnya di Salkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan
belajarnya di Goverment College. Di sini, ia bertemu dengan Thomas Arnold,
seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat di universitas
tersebut.
Pada tahun
1905 setelah mendapat gelar M.A. di Goverment Collage, Iqbal pergi ke Inggris
untuk belajar filsafat di Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian, ia pindah
ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, ia memperoleh gelar Ph.D.dalam tasawuf
dengan di sertainya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia
(Perkembangan Metafisika di Persia).[1]
Iqbal tinggal
di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi
advokat di samping sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of
Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun
1982 dan merupakan karya terbesarnya dalam bidang filsafat.[2]
Pada tahun
1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga
Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam
Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada
bulan Oktober tahun 1933, ia di undang ke Afganistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah
parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula., dan ia meninggal
pada tanggal 20 April tahun 1935.[3]
B. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal
sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang filsuf. Oleh karena itu, kesulitan
untuk menemukan pandangan-pandangannya mengenai wacana-wacana kalam klasik,
seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan
kewajiban-kewajiban Tuhan.
Kemunduran umat Islam, menurutnya di sebabkan umat
Islam dalam pemikiran dan di tutupnya pintu ijtihad. Pintu ijtihad tidak pernah
tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus di lambangkan
dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak
statis, tetapi merupakan alat untuk merespons kebutuhan individu dan masyarakat
karena Islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang
mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, menurutnya mempertahankan konsep
dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan. Besarnya
penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini, membawa pemahan yang
dinamis tentang Al-Qur’an dan hukum Islam.[4]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat
dinamika Islam, dalam rangka membuang kekakuan hukum Islam, ijtihad harus di
alihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad
individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah
satu-satunya bentuk yang paling penting tepat untuk menggerakkan spirit dalam
sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada
kaum muslim agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil
rasionalisme tersebut.[5]
1. Hakikat Teologi
Secara umum, ia melihat teologi sebagai ilmu yang
berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid. Di dalam nya memuat jiwa
yng bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan”, dan “kebebaskemerdekaan”.
Teologi Asy’ariah menggunakan cara dan pola berpikir Yunani untuk memperthankan
dan mendefinisikan pemahaman Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh
bersandar pada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah
pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret
merupakan kesalahan besar.
2. Pembentukan Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak
argumen kosmologis ataupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis yang
berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah
luar. Dalam “jangka waktu murni” ada perebuhan, melainkan tidak ada suksesi
(penggantian). Kesatuannya seperti kuman yang di dalamnya terdapat pengalaman
nenek moyang para individu, bukan sebagai suatu kumpulan, tetapi sebagai suatu
kesatuan yang di dalamnya setiap pengalaman menyerap keseluruhannya.
3. Jati Diri Manusia
Paham dinamisme Iqbal berpengaruh benar terhadap
jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat
di lihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya.
Kata itu diartikan dengan kepribadian. Pada hakikatnya, menafikan diri bukan
ajaran Islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan.
4. Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh
kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang
bersifat kreatif. Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini,
menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Sekarang, kewajiban
manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap
kemandirian (manusia) melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan
yang timbul dari keterbatasan kemandirian.
5. Surga Dan Neraka
Surga dan neraka, menurut Iqbal merupakan
keadaan-keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang kedua nya di dalam
Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin. Neraka menurut rumusan
Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas
hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah
kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagi dorongan yang
menuju pada perpecahan.[6]
C. Syekh Muhammad Abduh
1.
Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin’Abduh Bin Hasan
Khairullah dilahirkan didesa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah,Mesir pada
tahun1849M.Ia berasal dari keturunan yang tidak tergolong kaya,bukan pula
keturunan bangsawan.Walaupun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat
yang suka memberi.Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi
Tanta,tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar.Akan tetapi,sistem
pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun disana,ia
memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani,seperti saudara dan kerabatnya.Waktu
kembali di desa ia dinikahkan, saat itu ia berumur 16 tahun. Semuula ia bersikerah untuk tidak
melanjutkan studynya,tetapi akhirnya kembali belajar atas dorongan
pamannya,Syekh Darwish,yang banyak memengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu
dengan Jamaluddin Al-Afghani.Atas jasanya ,Abduh berkata, ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the
prison of ignorance) dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan studynya di bawah bimbingan pamannya,Abduh
melanjutkan studynya di Al-Azhar pada bula Februari 1866.Pada tahun 1871
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) tiba di Mesir.Saat itu Abduh masih menjadi
mahasiswa Al-Azhar,kehadirannya disambut Abduh dengan pertemuan-pertemuan
ilmiahnya.Untuk selanjutnya ,ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani.Lalu
Al-Afghani mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan
politik.Artikel-artikel baruannya dimuat di surat kabar Al-Ahram di Kairo.
Setelah menyelesaikan
studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar “Alim”Abduh mengajar di
Al-Azhar,kemudian di Dar Al-Ulum dan dirumahnya.Pada tahun 1879 Al-Afghani
dituduh mengadakan gerakan penentangan terhadap Khedewi Taufiq,Abduh juga
dipandang ikut campur di dalamnya.Oleh karena itu ia dibuang ke luar kota
Kairo. Pada tshun 1880 ia
diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur surat
kabar resmi pemerintahan mesir,Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.Di bawah pimpinan
Abduh,surat kabar resmi itu memuat tentang Urgenitas Nasional Mesir.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh
ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’I dituduh terlibat dalam revolusi
besar tersebut,sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya
selama tiga tahun dengan member hak kepadanya untuk memilih tempat
pengasingannya. Ia memilih Suriah di Suriah ia menetap selama satu tahun.Kemudian
ia menyusul gurunya Al-Afghani yang saat itu berada di Paris. Disana mereka
menerbitkan surat kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam
serta menentang penjajah barat khususnya inggris.Tahun 1885,Abduh diutus oleh
surat kabar tersebut ke inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang
bersimpati kepada rakyat Mesir.Tahun 1899,Abduh diangkat menjadi mufti Mesir.
Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai ia meninggal dunia tahun1905.
D.
Pemikiran-pemikiran
Kalam Muhammad Abduh
1.
Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran
Abduh,yaitu
1)
Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu
taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana hak salaf
al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah),sebelum timbulnya perpecahan,yaitu
memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Quran;
2)
Memperbaiki gaya bahasa Arab,baik digunakan dalam
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah ataupun dalam tulisan media massa.[7]
Dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh tampaknya mulai
muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya.Atas dasar fokus
pikirannya itu,Muhammad Abduh memberikan peranan yang
sangat besar pada akal,sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad
Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi pada akal daripada mu’tazilah.Menurut
Abduh akal mengetahui hal-hal berikut ini :
1.
Tuhan dan sifat-sifatnya,
2.
Keberadaan hidup di akhirat
3.
Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada Mengenal
Tuhan dan berbuat baik,sedangkan kesengsaraanya bergantung pada tidak mengenal
Tuhan dan perbuatan jahat
4.
Kewajiban manusia mengenal Tuhan
5.
Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat
6.
Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.[8]
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya.Baginya wahyu adalah
penolong (al-mu’in).Kata ini dipergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi
akal manusia.Menurutnya wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan
kehidupan alam,akhirat mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip
umum yang dibawanya;menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan
sifat-sifatnya;dan mengetahui cara beribadah serta berterimakasih kepada
Tuhan.Dengan demikian wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi,yaitu untuk
menguatkan dan menyempunakan pengetahuan akal dan informasi. Abduh memandang
bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam.Iman seseorang tidak
sempurna jika tidak didasari dengan akal.
2.
Kebebasan manusia fatalisme
Bagi Abduh, di samping daya piki,
manusia juga mempunyai kebebasan mempunyai kebebasan memilih yang merupakan
sifat dasar alami yang harus ada dalam diri manusia. Jika sifat ini dihilangkan dari dirinya,ia bukan
manusia lagi,melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan
akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya dan mewujudkan
perbuatannya dengan daya yang ada pada dirinya.
Karena menurut hokum alam
dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan ,paham perbuatan yang
dipaksakan atau manusia jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad
Abduh.Menurutnya manusia adalah manusia mempunyai kemampuan berfikir dan
kebebasan dalam memilih.Manusia tidak memiliki kebebasan absolute.Ia menyebut
orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang
angkuh.[9]
3.
Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah,ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah
sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain,ia
menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia untuk
mengetahuinya.Walaupun demikian,Harun Nasution melihat Abduh cenderung pada
pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak tegas mengatakannya.[10]
4.
Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia,Abduh melihat bahwa
Tuhan tidak bersifat mutlak.Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan
member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat
dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.Kehendak mutlak Tuhan
pun dibatasi oleh sunnatulah secara umum.Ia tidak mungkin menyimpang dari
sunnatulah yang telah ditetapkanya.Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan
dengan kemauan-Nya telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatulah yang
diciptaka-Nya untuk mengatur alam.
5.
Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam bukan hanya dari segi
kehendak mutlak Tuhan,melainkan juga dari segi pandangan dan kepetingan
manusia.Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan
tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Mengenai
keadilan Tuhan ia memandang tidak hanya dari segi kemaha sempurna-Nya,tetapi
juga dari pemikiran rasional manusia.Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan
keepada Tuhan karena ketidak adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan
alam semesta.
6.
Antopomorfise
Karena Tuhan temasuk dalam
alam rohani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani.Abduh,yang member kekuatan besar pada akal,berpendapat bahwa tidak
mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di
alam ini.Kata-kata wajah,tangan,duduk,dsb harus dipahasi sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab
kepadanya.Dengan demikian,kata Al-Arsy dalam al-quran berarti kerajaan atau
kekuasaan kata Al-kursy berarti pengetahuan.
7.
Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan
pendapatnya,apakah tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepalanya pada hari perhitungan kelak ? ia hanya menyebutkan bahwa
orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satupun dari makhluk
yang menyerupai Tuhan)sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan
ataupun dijelaskan dengan kata-kata.Kesanggupan melihat Tuhan dianugrahkan
hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
8.
Pembuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib bahwa Abduh
sepaham dengan mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat
yang terbaik bagi manusia.[11]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa,
banyak pendapat mengenai ilmu kalam modern.
Diantaranya pendapat Muhammad Abduh yaitu mendasarkan ilmu kalam modern kepada
akal seperti kaum mu’tazilah.Sehingga pemuka-pemuka kalam modern lainnya setuju
dan sependapat dengannya.Ia banyak mengemukakan tentang tuhan.
Sama
halnya dengan Muahammad Abduh,Sayyid Ahmad khan juga sependapat dengannya,tapi
tidak dengan Muhammad Iqbal,ia berbeda pendapat dengan keduanya karena ia
menolak pemikiran tersebut. Iqbal memiliki beberapa pemikiran
yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat
berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat
dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Dari
ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama
tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia
Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah
lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu dua tokoh ulama ini
mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.
B. Saran
Penulis berharap agar makalah ini bermamfaat guna menunjang pemahaman terhadap mata kuliah Ilmu
Kalam. Semoga makalah ini bermamfaat bagi pembaca serta penulis sendiri.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna perkembangan kedepan dalam
menyusun makalah kembali.
[12][1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi
dan Yayasan Kapita Selekta, cet. 2 , th. 2008, hal. 138-139
[13][2] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran
Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan 1998, Cet. III hal.174.
[15][4] Ishrat Hasan Enver, Metafisika
Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th. 2004, hal. 128
[17][6] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran
Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1,
th. 1998, hal. 168-170
[18][7] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th. 2003, cet. XIV, hal 186
[19][8] Nama asalnya adalah Leopold Weiss, lahir di kota
Livow (Austria) pada tahun 1900 dan wafat tahun 1992. Pada umur 22 tahun ia
mengunjungi Timur Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari
harian Frankfurter Zeitung. Pada tahun 1926 ia memeluk Islam dan
beberapa tahun mempelajari Islam. Setelah itu ia bekerja di berbagai dunia
Islam dari Afrika Utara sampai Afghanistan di bagian Timur. Ia termasuk
intelektual muslim terkemuka abad 20. Karya-karyanya antara lain: Islam in
the Cross Roads (Islam di Persimpangan Jalan), Road to Mecca (Jalan
ke Mekah) dan The Principles of States and Government in Islam (Asas-asa
Negara dan Pemerintahan dalam Islam, serta sebuah kitab tafsir dengan nama The
Message of the Qur'an. (Muhammad Asad, Asas-asas Negara dan Pemerintahan
dalam Islam (terj. Muhammad Radjab), Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H,
halaman sampul.
[20][9] Harun, Pembaharuan dalam Islam,
hal 185 dan W.C. Smith, Modern Islam in India (Lahore : Ashraf, 1963) hal. 111
[25][14] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta,Penerbit Lazuardi, cet. 1, th.
2002, hal. 280-281.
[1] M. Natsir, Kapita
Selekta 2, (Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008), Cet. 2,
hal. 138-139
[1] A Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan 1998), Cet. III
hal.174.
[1] Abdul Sani, Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998), cet.1, hal. 168-170
[1] Didin Saefuddin, Pemikiran
Modern Dan Postmodern Islam, (Jakarta: Grasindo, 2003), hal.51
[1] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama Dalam Islam, (Jogjakarta: Lazuardi, 2002), Cet, 1, hal.
280-281.
[1] Ishrat Hasan Enver, Metafisika
Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. 1, hal. 128
[1] Abdul Rozak,
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),hal.79
[1] NASUTION,
Harun. Muhammad Abduh dan teologi rasional Mu'tazilah. Penerbit
Universitas Indonesia,1987.hal.192
[1] Prof.Dr.H.Abdul Rozak,M.Ag.dan Prof.Dr.H.Rosihon
Anwar,M.Ag.op.cit
[1] M. Natsir, Kapita
Selekta 2, (Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008), Cet. 2,
hal. 138-139
[2] A Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan 1998), Cet. III
hal.174.
[3] Abdul Sani, Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998), cet.1, hal. 168-170
[5] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama Dalam Islam, (Jogjakarta: Lazuardi, 2002), Cet, 1, hal.
280-281.
[8] Harun, Pembaharuan
dalam Islam, dan W.C. Smith, Modern Islam in India (Lahore : Ashraf, 1963)
hal. 185-111
[10] Nasution,
Harun. Muhammad Abduh dan teologi rasional Mu'tazilah. Penerbit Universitas
Indonesia,1987.hal.192
[11] Ibid.,hal.211
0 Response to "MAKALAH TAUHID DAN ILMU KALAM MODERN (MUHAMMAD IQBAL DAN MUHAMMAD ABDUH)"
Posting Komentar