MAKALAH TAUHID DAN ILMU KALAM MODERN (MUHAMMAD IQBAL DAN MUHAMMAD ABDUH)




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (ilm al-kalam) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batasbatas tertentu "mendominasi" arah, corak muatan materi dan metodologi kajiankajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.
Seringkali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Muhammadi Iqbal?
2.      Apa saja Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal?
3.      Bagaimana Riwayat Syekh Muhammad Abduh?
4.      Apa saja Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Riwayat Muhammadi Iqbal
2.      Agar mengetahui Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
3.      Untuk mengetahui Riwayat Syekh Muhammad Abduh
4.      Agar mengetahui Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Muhammad Iqbal
1.      Riwayat Hidup Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh dalam beragama. Guru pertama Iqbal adalah ayahnya kemudian ia di masukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an. Setelah itu, ia di masukkan ke Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, ia di beri pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Salkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Goverment College. Di sini, ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat di universitas tersebut.
  Pada tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Goverment Collage, Iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat di Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian, ia pindah ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, ia memperoleh gelar Ph.D.dalam tasawuf dengan di sertainya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[1]
  Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi advokat di samping sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karya terbesarnya dalam bidang filsafat.[2]
  Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, ia di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula., dan ia meninggal pada tanggal 20 April tahun 1935.[3]

B.     Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang filsuf. Oleh karena itu, kesulitan untuk menemukan pandangan-pandangannya mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan.
Kemunduran umat Islam, menurutnya di sebabkan umat Islam dalam pemikiran dan di tutupnya pintu ijtihad. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus di lambangkan dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespons kebutuhan individu dan masyarakat karena Islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, menurutnya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan. Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini, membawa pemahan yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hukum Islam.[4]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam, dalam rangka membuang kekakuan hukum Islam, ijtihad harus di alihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling penting tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslim agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil rasionalisme tersebut.[5]
1.      Hakikat Teologi
Secara umum, ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid. Di dalam nya memuat jiwa yng bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan”, dan “kebebaskemerdekaan”. Teologi Asy’ariah menggunakan cara dan pola berpikir Yunani untuk memperthankan dan mendefinisikan pemahaman Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret merupakan kesalahan besar.
2.      Pembentukan Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis ataupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Dalam “jangka waktu murni” ada perebuhan, melainkan tidak ada suksesi (penggantian). Kesatuannya seperti kuman yang di dalamnya terdapat pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatu kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang di dalamnya setiap pengalaman menyerap keseluruhannya.
3.      Jati Diri Manusia
Paham dinamisme Iqbal berpengaruh benar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat di lihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Pada hakikatnya, menafikan diri bukan ajaran Islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan.
4.      Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Sekarang, kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap kemandirian (manusia) melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian.
5.      Surga Dan Neraka
Surga dan neraka, menurut Iqbal merupakan keadaan-keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang kedua nya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin. Neraka menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagi dorongan yang menuju pada perpecahan.[6]

C.    Syekh Muhammad Abduh
1.      Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin’Abduh Bin Hasan Khairullah dilahirkan didesa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah,Mesir pada tahun1849M.Ia berasal dari keturunan yang tidak tergolong kaya,bukan pula keturunan bangsawan.Walaupun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi.Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Tanta,tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar.Akan tetapi,sistem pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun disana,ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani,seperti saudara dan kerabatnya.Waktu kembali di desa ia dinikahkan, saat itu ia berumur 16 tahun. Semuula ia bersikerah untuk tidak melanjutkan studynya,tetapi akhirnya kembali belajar atas dorongan pamannya,Syekh Darwish,yang banyak memengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani.Atas jasanya ,Abduh berkata, ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan studynya di bawah bimbingan pamannya,Abduh melanjutkan studynya di Al-Azhar pada bula Februari 1866.Pada tahun 1871 Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) tiba di Mesir.Saat itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar,kehadirannya disambut Abduh dengan pertemuan-pertemuan ilmiahnya.Untuk selanjutnya ,ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani.Lalu Al-Afghani mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik.Artikel-artikel baruannya dimuat di surat kabar Al-Ahram di Kairo.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar “Alim”Abduh mengajar di Al-Azhar,kemudian di Dar Al-Ulum dan dirumahnya.Pada tahun 1879 Al-Afghani dituduh mengadakan gerakan penentangan terhadap Khedewi Taufiq,Abduh juga dipandang ikut campur di dalamnya.Oleh karena itu ia dibuang ke luar kota Kairo.  Pada tshun 1880 ia diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan mesir,Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.Di bawah pimpinan Abduh,surat kabar resmi itu memuat tentang Urgenitas Nasional Mesir.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’I dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut,sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan member hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya. Ia memilih Suriah di Suriah ia menetap selama satu tahun.Kemudian ia menyusul gurunya Al-Afghani yang saat itu berada di Paris. Disana mereka menerbitkan surat kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam serta menentang penjajah barat khususnya inggris.Tahun 1885,Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.Tahun 1899,Abduh diangkat menjadi mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai ia meninggal dunia tahun1905.
D.    Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
1.      Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh,yaitu
1)      Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah),sebelum timbulnya perpecahan,yaitu memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Quran;
2)      Memperbaiki gaya bahasa Arab,baik digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah ataupun dalam tulisan media massa.[7]
Dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh tampaknya mulai muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya.Atas dasar fokus pikirannya itu,Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar pada akal,sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi pada akal daripada mu’tazilah.Menurut Abduh akal mengetahui hal-hal berikut ini :
1.      Tuhan dan sifat-sifatnya,
2.      Keberadaan hidup di akhirat
3.      Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada Mengenal Tuhan dan berbuat baik,sedangkan kesengsaraanya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan perbuatan jahat
4.      Kewajiban manusia mengenal Tuhan
5.      Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat
6.      Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.[8]
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya.Baginya wahyu adalah penolong (al-mu’in).Kata ini dipergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.Menurutnya wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam,akhirat mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya;menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifatnya;dan mengetahui cara beribadah serta berterimakasih kepada Tuhan.Dengan demikian wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi,yaitu untuk menguatkan dan menyempunakan pengetahuan akal dan informasi. Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam.Iman seseorang tidak sempurna jika tidak didasari dengan akal.

2.      Kebebasan manusia fatalisme
Bagi Abduh, di samping daya piki, manusia juga mempunyai kebebasan mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang harus ada dalam diri manusia. Jika sifat ini dihilangkan dari dirinya,ia bukan manusia lagi,melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada pada dirinya.
Karena menurut hokum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan ,paham perbuatan yang dipaksakan atau manusia jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh.Menurutnya manusia adalah manusia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan dalam memilih.Manusia tidak memiliki kebebasan absolute.Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.[9]



3.      Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah,ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain,ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya.Walaupun demikian,Harun Nasution melihat Abduh cenderung pada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak tegas mengatakannya.[10]

4.      Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia,Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak.Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatulah secara umum.Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatulah yang telah ditetapkanya.Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatulah yang diciptaka-Nya untuk mengatur alam.

5.      Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan,melainkan juga dari segi pandangan dan kepetingan manusia.Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Mengenai keadilan Tuhan ia memandang tidak hanya dari segi kemaha sempurna-Nya,tetapi juga dari pemikiran rasional manusia.Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan keepada Tuhan karena ketidak adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.

6.      Antopomorfise
Karena Tuhan temasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.Abduh,yang member kekuatan besar pada akal,berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini.Kata-kata wajah,tangan,duduk,dsb harus dipahasi sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.Dengan demikian,kata Al-Arsy dalam al-quran berarti kerajaan atau kekuasaan kata Al-kursy berarti pengetahuan.

7.      Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya,apakah tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari perhitungan kelak ? ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satupun dari makhluk yang menyerupai Tuhan)sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata.Kesanggupan melihat Tuhan dianugrahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.

8.      Pembuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib bahwa Abduh sepaham dengan mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.[11]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, banyak pendapat mengenai ilmu kalam modern. Diantaranya pendapat Muhammad Abduh yaitu mendasarkan ilmu kalam modern kepada akal seperti kaum mu’tazilah.Sehingga pemuka-pemuka kalam modern lainnya setuju dan sependapat dengannya.Ia banyak mengemukakan tentang tuhan.
Sama halnya dengan Muahammad Abduh,Sayyid Ahmad khan juga sependapat dengannya,tapi tidak dengan Muhammad Iqbal,ia berbeda pendapat dengan keduanya karena ia menolak pemikiran tersebut. Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu dua tokoh ulama ini mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.

B.     Saran
Penulis berharap agar makalah ini bermamfaat guna menunjang pemahaman terhadap mata kuliah Ilmu Kalam. Semoga makalah ini bermamfaat bagi pembaca serta penulis sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna perkembangan kedepan dalam menyusun makalah kembali.


[12][1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, cet. 2 , th. 2008, hal. 138-139
[13][2] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan 1998, Cet. III hal.174.
[14][3] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal.51
[15][4] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th. 2004, hal. 128
[16][5] Didin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, hal. 44
[17][6] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998, hal. 168-170
[18][7] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hal 186
[19][8] Nama asalnya adalah Leopold Weiss, lahir di kota Livow (Austria) pada tahun 1900 dan wafat tahun 1992. Pada umur 22 tahun ia mengunjungi Timur Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari harian Frankfurter Zeitung. Pada tahun 1926 ia memeluk Islam dan beberapa tahun mempelajari Islam. Setelah itu ia bekerja di berbagai dunia Islam dari Afrika Utara sampai Afghanistan di bagian Timur. Ia termasuk intelektual muslim terkemuka abad 20. Karya-karyanya antara lain: Islam in the Cross Roads (Islam di Persimpangan Jalan), Road to Mecca (Jalan ke Mekah) dan The Principles of States and Government in Islam (Asas-asa Negara dan Pemerintahan dalam Islam, serta sebuah kitab tafsir dengan nama The Message of the Qur'an. (Muhammad Asad, Asas-asas Negara dan Pemerintahan dalam Islam (terj. Muhammad Radjab), Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H, halaman sampul.
[20][9] Harun, Pembaharuan dalam Islam, hal 185 dan W.C. Smith, Modern Islam in India (Lahore : Ashraf, 1963) hal. 111
[21][10] Natsir, Kapita Selecta, hal. 147

[22][11] Harun, Pembaharuan Dalam Islam,hal. 185

[23][12] Harun, Pembaharuan Dalam Islam,hal. 185
[24][13] Natsir, Kapita Selecta, hal. 146

[25][14] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta,Penerbit Lazuardi, cet. 1, th. 2002, hal. 280-281.


[1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, (Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008), Cet. 2, hal. 138-139
[1] A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan 1998), Cet. III hal.174.
[1] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), cet.1, hal. 168-170
[1] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, (Jakarta: Grasindo, 2003), hal.51
[1] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, (Jogjakarta: Lazuardi, 2002), Cet, 1, hal. 280-281.
[1] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. 1, hal. 128
[1] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),hal.79
[1] AW Muqoyyidin - Jurnal Pendidikan Islam, 2013 - journal.uinsgd.ac.id
[1] NASUTION, Harun. Muhammad Abduh dan teologi rasional Mu'tazilah. Penerbit Universitas Indonesia,1987.hal.192
[1] D Laksmidewi, Y Soelasih - MIX: Jurnal Ilmiah Manajemen - publikasi.mercubuana.ac.id
[1] Prof.Dr.H.Abdul Rozak,M.Ag.dan Prof.Dr.H.Rosihon Anwar,M.Ag.op.cit




















[1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, (Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008), Cet. 2, hal. 138-139
[2] A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan 1998), Cet. III hal.174.
[3] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), cet.1, hal. 168-170
[4] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, (Jakarta: Grasindo, 2003), hal.51
[5] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, (Jogjakarta: Lazuardi, 2002), Cet, 1, hal. 280-281.
[6] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. 1, hal. 128
[7] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),hal.79
[8] Harun, Pembaharuan dalam Islam, dan W.C. Smith, Modern Islam in India (Lahore : Ashraf, 1963) hal. 185-111
[9] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hal.119
[10] Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan teologi rasional Mu'tazilah. Penerbit Universitas Indonesia,1987.hal.192
[11] Ibid.,hal.211















Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "MAKALAH TAUHID DAN ILMU KALAM MODERN (MUHAMMAD IQBAL DAN MUHAMMAD ABDUH)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel