IKHITIFUL HADIS DAN MODEL-MODEL PEMAHAMAN HADIS
ULUMUL HADIS
“IKHITIFUL HADIS DAN
MODEL-MODEL PEMAHAMAN
HADIS ”
HUKUM
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI METRO
TAHUN AKADEMIK 2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar
Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................... 1
C. Tujuan.................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2
A. Ikhitiful al-Hadis................................................................................. 2
B. Ta’arudh (Pendapat Ulama)................................................................ 3
C. Penyelesaian Ikhitiful al-Hadis........................................................... 3
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 9
A.
Kesimpulan ......................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadist adalah sumber rujukan kedua kaum
muslimin dalam menentukan sebuah hukum dalam kehidupan mereka. Dengan demikian menunjukkan bahwa
hadist merupakan sumber hukum islam yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia.
Oleh karena itu, semenjak muncul hingga sekarang ini perhatian
ulama terhadap hadist cukuplah besar, sehingga muncul berbagai ilmu untuk
mengungkap segala rahasia yang
dikandungnya. Dan dalam kesempatan ini
saya sebagai penulis ingin mengungkapkan sedikit ilmu tentang ikhtilaf al-hadist
yang menjadi bagian dari ilmu hadist. Ilmu ini adalah suatu ilmu yang membahas
hadist- hadist yang secara lahiriah berlawanan.
Dalam makalah ini akan dipaparkan secara
singkat tentang pengertian Ikhtilaf al hadist dan pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam penyelesaian hadist-hadist yang secara lahiriah tersebut dianggap
berlawanan. Pendekatan ini ditempuh melalui pengkajian kepustakaan yang
berkaiatn dengan topik yang diangkat dalam pembahasan ini. Namun,
diharapkan mudah-mudahan dapat menjadi amal kebaikan dalam ranah ilmu
pengetahuan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ikhitiful hadis?
2.
Apa saja yang ada dalam pendekatan-pendekatan dalam pemahaman hadis?
C. Tujuan
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan ikhitiful hadis
2.
Mengetahui apa saja yang ada dalam pendekatan-pendekatan dalam pemahaman
hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ikhtilaf
al-Hadis
Dalam kamus Ilmu Hadis
Totok Jumantoro mencantumkan kata Ikhtilaf jama’ dari kata mukhtalif artinya yang berselisih atau yang bertentangan, adapun yang
dimaksud mukhtalifful hadis artinya yang bertentangan dari hadis,
yang dikehendaki dalam ilmu hadis adalah:
هُوَ مَا طَرَأَ عَلَى الَّروِيْ
سُوْءٌ اَلْحِفْظِ لْكِبَرِ أَوْ إِحْتِرَاقُ كُتْبِهِ أَوْ عَدَ مِهَا
Artinya: “Hadis yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan
sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya”.
Yang dikehendaki dengan
su’ul hifdzi adalah kalau salahnya lebih banyak dari betulnya, dan hafalannya
tidak lebih banyak dari lupanya.[1]
Ajajaj Al-khattib
mendefenisikan ilmu yang khusus mempelejari ikhtilaf al-Hadis yaitu:
اَلْعِلْمُ
الَّذِيْ يُبْحَثُ فيِ الْاَحَادِيْثُ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ
تَعَارُضُهَا أَوْيُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِيْ الْاَحَا دِيْثُ
اَلَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّ رُهَا فَيَدْفَعُ اَشْكَا لَهاَ وَيُوَ
ضِّحُ حَقِيْقَتِهَا
Artinya: “Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya
saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengompromikannya, disamping membahas hadis yang sulit difahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya”[2]
Defenisi yang lainnya menyebutkan:
“Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
menurut lahirnya saling bertentangan karena
adanya kemungkinan dapat dikompromikan baik dengan cara mentataqyid terhadap
hadits yang mutlak atau men- takhsis terhadap
yang umum atau dengan cara membawanya pada beberapa kejadian yang relevan
dengan hadits, dan lain-lain”.[3]
B.
Ta’arudh (Pendapat Ulama)
Menurut Ajjaj al-khattib
dalam bukunya Ushul al-hadis, penyebab berbedanya redaksi hadis dan bedanya para ulama dalam mengambil kesimpulan
hukum dapat dibagi menjadi empat faktor yang menyebabkan
hadis-hadis tampak saling bertentangan, yaitu:
1.
Faktor internal hadis (al-âmil
al-dâkhili), yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang terkesan
bertentangan.
2.
Faktor eksternal (al-’âmil
al-khâriji), yakni faktor yang disebabkan oleh konteks waktu dan tempat
(geografis) di mana Nabi Saw menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau
berbicara.
3.
Faktor
metodologi (al-bu’du al-manhaji),yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorangmemahami hadis
tersebut.
4.
Faktor
ideologi (al-bu’du al-madzhabi), yakni berkaitan dengan ideologi atau madzhab seseorang ketika memahami suatu hadis.[4]
C.
Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadis
Suatu prinsip yang
ditentukan imam As-syafi’I dalam menghadapi dan menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, terkandung dalam pernyataan sebagai berikut dalam pernyataanya
sebagai berikut:
لا
تجعل عن رسو ل الله حديثين مختلفين ابد اذا وجد الببل الى ان بكونا متعملين فلا
تعطلل منهما وا حدا لأ ن علينا في كل ما علينا في ما حبه ولا تجعل الختلف الا فيما
لا يجوز ان يتمعل ا بدا الا بطر ح حبه
Artinya
: “Jangan sekali-kali mempertentangkan
hadis-hadis Rasulullah saw. satu dengan lainnya selama mungkin ditemukan jalan
(untuk mengompromikannya) agar hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan,
Jangan diterlantarkan yang satu lantaran yang lain karena kita
punya kewajiban yang sama untuk jangan jadikan (nilai) hadis-hadis
tersebut sebagai pertentangan kecuali apabila tidak mungkin dapat diamalkan
selain harus meninggalkan salah satunya”.
Sejalan dengan prinsip diatas maka cara
penyelesaian hadis-hadis mukhtalif secara umum dibagi menjadi empat bagian:
1.
Penyelesaian Dalam Bentuk
Kompromi Atau Juga Disebut Dengan (al-Jam’u wa at-Taufîq)
Yang dimaksud dengan penyelesaian dalam bentuk
kompromi ini adalah penyelesaian hadis-hadismukhtalif dari pertentangan yang tampak
(makna lahiriahnya) dengan cara menelurusuri titik temu kandungan maknanya yang
dituju oleh yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan, atau dengan
perkataan lain, dengan cara mencari pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis
yang tampak saling bertentangan tersebut. Yang menunjukkan kesejelanan atau
kesalingterikatan makna dikandungnya sehingga masing-masingnya dapat diamalkan
sesuai dengan tuntunannya.
Metode ini dinilai lebih baik dari pada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan).
Metode al-jam’u wa at-taufîq ini tidak berlaku bagi
hadis–hadisdha’îf (lemah) yang bertentangan
dengan hadits–hadits yang shahih.[5]
2.
Penyelesaian
dalam bentuk Nasakh
Secara luhgat kata nasakh mengandung arti menghilangkan al-izaalat, membatalkan, al ibthal dan menukarkan, al tabdil, memalingkan at-tahwil dan memindahkan an naql.
Adapun menurut istilah
nasakh sebagaimana dirumuskan ulama ushuliyyun :
رفع
الشراع حكما شر عيا بد ليل شر عى متراخ عنه
Artinya: “Diangkatnya suatu
hukum syar’iyah oleh syar’i berdasarkan dalil syar’i yang datang kemudian”.
Maksudnya adalah suatu hukum yang sebelumnya berlaku,
kemudian dinyatakan sebagai tidak berlaku lagi.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izâlah),
bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan
secara istilah naskh berarti penghapusan yang
dilakukan oleh Syâri’ (pembuat syari’at: yakni Allah dan
Rasulullah s.a.w.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih
dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut,
berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayân)
dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan
khusus (takhsîsh) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan
sebagai hadits nâsikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad s.aw. masih
hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya
hanyalahSyâri’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w. Naskh hanya terjadi ketika
pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada
ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrâr
al-hukm).[6]
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan
bisa diselesaikan dengan metodenâsikh-mansûkh adalah hadits tentang hukum
makan daging kuda.
Dua
hadîts terlihat saling bertantangan, hadîts pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang
sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolehan memakan
daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidah hatus dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging
kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan
oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang
datang setelahnya.[7]
3.
Penyelesaian Dalam Bentuk Tarjih
Selanjutnya apabila hadis-hadis mukhtalif yang ditemukan tidak bisa dikompromikan dan tidak pula ditemukan keterangan yang
menunjukkan bahwa antara satu dengan lainnya telah terjadi nasakh seperti
dijelaskan dalam uraian yang lalu, maka langkah penyelesaian berikutnya yang
telah ditempuh imam as-syafi’I adalah dengan cara tarjih.
Tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama, dapat
diartikan sebagai “memperbandingkan dalil-dalil diantaranya yang lebih kuat dibanding dengan yang lainnya”.
Yang dimaksud dengan tarjih ialah membandingkan
hadis-hadis yang tampak bertentangan yang tidak bisa dikompromikan dan tidak
pula terkait sebagai nasikh dan mansukh, dengan mengkaji lebih jauh
hal-hal terkait dengan masing-masingnya agar dapat diketahui manakah sebenarnya
diantara hadis-hadis tersebut lebih yang lebih kuat atau yang lebih tingggi
nilai hujjahnya dibanding dengan yang lain untuk selanjutnya dipegang dan
diamalkan yang kuat dan ditinggalkan yang lemah (lawannya). Hadis
(dalil) yang lebih kuat disebut sebagai dalil yang rajih sedang yang lainnya (yang
lemah) disebut marjuh. [8]
4.
Penyelesaian dalam
Masalah tanawwu’ al ibadah
Dalam masalah tanawwu’ al ibadah adalah keragaman tatat cara
beribadah, penyebab terjadinya keragaman ibadah salah satunya yakni menyangkut
tata cara pelaksanaan, seperti contoh dalam masalah tata cara berwudhu’
Rasulullah ditemukan beberapa riwayat yang menarangkannya dengan cara yang
berbeda. Menurut riwayat Ibn Abbas, Rasulullah membasuh anggota wudhunya,
masing-masing satu kali, satu kali, menurut ‘Abdullah ibn Zaid,
masing-masingnya dibasuh dua kali, sementara menurut riwayat ‘usman
masing-masingnya tiga kali, hadis-hadis tersebut sama-sama sahihmaqbul oleh karena itu sama-sama dapat
dijadikan hujah untuk dipegang dana diamalkan.
Untuk bentuk yang kedua, yakni menyangkut bacaaan yang
dibaca, dalam contoh yang lalu dikemukakan bahwa dalam masalah tasyahud
ditemukan banyak riwayat yang menerangkannya, yang antara satu dengan yang lain
mengandung redaksi yang berbeda. Bacaan tasyahud menurut riwayat Ibn ‘Abbas,
misalnya, berbeda redaksi dengan yang diriwayatkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab.
Selanjutnya, menurut riwayat dari Abdullah bin mas’ud berbeda pula redaksinya
dari yang diriwayatkan oleh ibu ‘Abbas maupun oleh Umar ibn al-Khattab. Hadis-hadis
tersebut sama-sama dalam kategori maqbul, yakni memenuhi syarat untuk diterima dan
diamalkan.
Masalah
yang muncul menyangkut menyangkut hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah ini adalah
bagaiman harusnya sikap kita dalam menghadapinya diantaranya yang harus
dipegang dan diamalkan, penyelesaian tanawwu al-ibadah ini menurut as-syafi’I
tidak bisa diambil lebih maqbul salah satunya jika memang keduanya sama-sama
maqbul karena hadis tersebut bersal dari nabi Muhammad saw dan juga
pertentangan salah satu diantaranya tidak saling pertentangan sebagaimana
pertentangan halal dan haram, atau antara perintah atau larangan, dengan arti
tidak mungkin dikompromikan atau dicari titik temu.
Adapun perhatian imam asy-syafi’I menilai hadis-hadis
tersebut bisa diterima, dapat dibagi menjadi tiga bagian
a.
Bahwa hadis-hadis
tersebut semuanya berkualitas sahih (maqbul) oleh karena iru, semua dapat
diterima dan dijadikan hujjah untuk diamalkan
b.
Bahwa ajaran-ajaran yang
dibawa oleh masing-masing hadis tersebut sekalipun terdapat perbedaan, namun
satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan (kontradiksi) yang tidak
dapat dikompromikan atau dicari titik temunya.
c.
Bahwa dalam masalah
Ibadah, kita tidak bisa mengatakan bahwa mengapa hadis-hadis tersebut
sedemikian rupa karena itu berasal dari rasulullah maka wajib untuk diikuti,
sebagai mana kaidah yang telah ditetapkan oleh para Ulama.
ا
لا مل في العبادات التو قيف والاتباع
Artinya: “Hukum asal dalam masalah ibadah ialah menerima
dan mengikuti (sebagaimana diajarkan Rasulullah)”.
Jadi dalam menghadapi hadis-hadis tanawwu’ al-Ibadah pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam
katagori maqbul atau
tidak, kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang dikandung
oleh masing-masingnya membawa kepada pertentangan) (kontradiksi) atau
tidak, apabila semua termasuk katagori maqbul dan perbedaan antara satu dan
yang lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan,
maka hadis-hadis tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujahannya untuk
diikuti dan diamalkan, ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah dipahami sebagai
cara atau bentuk-bentuk pelaksanaannya (jika hadis-hadis tersebut mengyangkut
cara-cara pelaksanaan), atua macam-macam bentuk bacaan (jika hadis-hadis
tersebut menyangkut bacaan yang dibaca) yang boleh diikuti dan diamalkan, dan
mana saja diantaranya yang dipilih, memenuhi syarat bagi sahnya ibadah tersbut.
Jika seseorang ingin mengambil hadis tanawwu al-Ibadah maka hal yang harus dilakukan adalah mengambil redaksi yang paling
lengkap, seperti hadis mengenai basihan wudhu pada anggota badan, masing-masingnya
satu kali riwayat ini menurut ibnu abbas, dan sempurnanya adalah membasuhnya
tiga kali, tigakali ini berdasarkan hadis Usman.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikhtilaf jama’ dari kata mukhtalif artinya yang berselisih atau yang bertentangan, adapun yang dimaksud mukhtalifful hadis artinya yang bertentangan dari hadis, yang berasal dari bahasa arab yang berarti ketidaksamaan,
ketidak serasian atau ketidakcocokan. Ilmu ikhtilaf sebagaimana juga membahas
hadis-hadis yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesukaran dan menjelaskan
hakikatnya dalam menyelesaikan
hadis-hadis yang mukhtalif, ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh
para ulama yaitu:
1.
Al- Jam’u (mengkompromikannya)
2.
Tajrih (menguatkan salah satu dari
kedua hadis)
3.
An-naskh (menghapus salah satu dari
hadist).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press,
2008).
Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhalif, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990).
http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif, Kamis, 04 Apr. 19,
22:22.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khattib, ter,
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet. 4, Ushul Al-Hadis, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2007).
Munzier Suprata, Ilmu Hadis,
cet. III (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2007).
Totok Jumantoro, Kamus
Ilmu Hadis, cet.II, (Jakarta: Pustaka Mantiq, 2002).
[2] Muhammad ‘Ajaj Al-Khattib, ter, Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,
cet. 4, Ushul Al-Hadis, (Jakarta:
Gaya media Pratama, 2007), h. 254.
[5] Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhalif, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990), h. 151.
[7] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif, Kamis, 04 Apr. 19, 22:22.
[8] Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhalif, Disertasi, (Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah, 1990),
h. 197.
0 Response to "IKHITIFUL HADIS DAN MODEL-MODEL PEMAHAMAN HADIS"
Posting Komentar