MAKALAH
WALI DAN SAKSI
DALAM PERKAWINAN
Makalah ini
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Fiqih
Munakahat
Dosen
Pengampu
Disusun Oleh
Abdul Manan (1397471)
Jurusan :
Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy)
Fakultas :
Syariah
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1440 H/ 2019 M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi robil alamin, dengan mengucapkan
puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penyusunan
tugas ini tentunya penulis telah banyak mendapat bantuan dan arahan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada Dosen Pengampu Ibu Dr. Hj. Siti
Nurjanah, M.Ag
dan seluruh rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa
dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh Karena
itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga
pembuatan makalah yang akan datang dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Wassalamualaikum Wr.
Metro, 19 September 2019
Penulis,
Abdul Manan
NPM. 1397471
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PANDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 1
C. Manfaat Penulisan............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali................................................................................. 3
B. Macam-macam Wali dan Urutannya................................................. 4
C. Syarat-syarat Wali............................................................................. 5
D. Pengertian Saksi................................................................................ 7
E. Syarat-syarat Saksi............................................................................ 8
F. Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi.................................. 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 11
B. Saran................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang
berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam alqur'an dan sunnah
rasulullah. Ada beberapa seperangkat peraturan yang mengikat pada kehidupan
manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia menjadi tetap beradab dan
bernilai ibadah jika saja semua praksis itu di orientasikan kepada Tuhan.
Salah satu ajaran yang terpenting dalam Islam adalah
pernikahan (perkawian). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut
sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun
tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan. Bila kita amati secara
mendalam, maka salah satu maksud disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt
adalah untuk memelihara keturunan.
Pernikahan disyariatkan oleh Islam karena merupakan salah
satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci
kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya lembaga perkawinan merupakan suatu
kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam
kehidupan. Dengan demikian, maka persoalan perkawinan yang diatur sedemikian
rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa di kesampingkan begitu saja,
tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus diikuti dan
dipelihara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wali?
2. Apa saja macam-macam wali dan bagaimana urutannya?
3. Apa saja Syarat-syarat Wali?
4. Apa pengertian Saksi?
5. Apa saja Syarat-syarat Saksi?
6. Apa Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi?
C. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Wali
2. Dapat mengatahui macam-macam wali dan bagaimana urutannya
3. Agar mengetahui Syarat-syarat Wali
4. Untuk mengetahui pengertian Saksi
5. Agar mengetahui Syarat-syarat Saksi
6. Dapat mengetahui Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab
Saksi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki
yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang
dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab,
yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang
berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali”
mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan
pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad
nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu
pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu
menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu
pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat
langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[1]
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi
izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat
diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak
perempuan).[2]
B. Macam-macam Wali dan Urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1. Wali Nasab
Wali nasab
adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali.
Dalam
menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan
ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan
Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali.
Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan
kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam
garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu.
Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah
kepada.
d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah
kepada.
e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h. Anak paman seayah,
i.
Ahli waris
kerabat lainya kalau ada.
2. Wali Hakim
Wali hakim
adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali
yang sederajat dengan dia tidak ada.
c. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri
(sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh
dijumpai.
e. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g. Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama
sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah
seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai
wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah
orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang
munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[3]
C. Syarat-syarat wali
1.
Muslim, tidak
sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
2. Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat,
dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
3. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita
tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri.
Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ
الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ
الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan
dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR.
Ad Daruquthni, 3:227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
4. Orang merdeka.
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah
dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri
berbuat munkar.[4]
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan
cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan
sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi
SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil” (HR.Ahmad Ibn Hanbal).
6. Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama
mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih
ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang
lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya
yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut
tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan
adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut
urutan di atas.
D. Saksi dalam Akad Nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau
mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah
adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara
apa adanya.[5]
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn
dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ
نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya: “Tidak sah suatu akad nikah
kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan
Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah
perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi
(bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam
pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi
sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya
informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa
ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan
saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung
informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam
proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya
pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum
suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah
dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah
mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi
sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan
pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah
yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26)
dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang
ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI).
Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, bila
saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut
dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan
dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai
Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
istri, jaksa dan suami atau istri”.
E. Syarat-syarat Saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi
supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari
pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi
syarat sebagai berikut:[6]
1. Islam
Dua orang
saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut
Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim
kawin dengan wanita kitabiyah.
2. Baligh
Anak-anak
tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena
kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat
tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan
satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3. Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
4. Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus
mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin
laki-laki.
5. Laki-Laki
Laki-laki
merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama
selain Hanafiyah.
6. Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan
Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat
diterima.
Maliki dan
Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita
dapat diterima. Syafii tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
7. Adil
Saksi harus
orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian
pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
8. Melihat
Syafiiyah
berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat
menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd
qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
F. Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting
artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami
mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak
menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu.
Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan
haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan,
karena tidak ada keraguan. Sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh
cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan.
Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam
keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat.
Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy).[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3
macam, yaitu:
1.
Wali nasab
adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali.
2.
Wali hakim
adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
3.
Wali muhakkam
adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak
sebagai wali dalam akad nikah mereka.
4.
Adapun syarat
pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar
dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam,
baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan
tidak tuna rungu atau tuli.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting
artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami
mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak
menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu.
Saksi menjadi syarat sah akad nikah.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan
banyaknya kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat diharapkan. Demi kesempurnaan makalah ini kedepannya
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Grafindo
Persada, 1997
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2 Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995
[6] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 83
0 Response to " "
Posting Komentar