PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM DALAM MENJAWAB PERUBAHAN SOSIAL
MAKALAH
PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM DALAM
MENJAWAB PERUBAHAN SOSIAL
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fatwa DSN-MUI
Dosen
Pengampu :
ABDUL MANAN (1397471)
KELAS D
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI METRO
TAHUN 1441 H/ 2019 M
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT. Dzat yang Maha sempurna, Maha pencipta dan Maha penguasa
segalanya, karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu tentang “Idealisasi Fatwa
Keagamaan dalam Abad Modern”. Makalah ini sengaja disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Fatwa Dewan Syariah Nasional”.
Tidak
lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang turut
berparsitipasi dalam proses penyusunan tugas ini, karena penulis sadar sebagai
mahluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan
orang lain dan tanpa adanya bimbingan. Serta rahmat dan karunia dari-nya.
Penulis
berharap agar mahasiswa khususnya, dan umumnya dari para pembaca dapat
memberikan kritik yang positif dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.
Metro, 15
Oktober 2019
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul.................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR
ISI..................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang..................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah............................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Islam dan Perubahan Sosial...............................
3
B. Penetapan Qath’iy
dan Zhanniy dalam Nash Hukum....................... 4
C. Nash Hukum yang Tetap (Tsabit) dan yang bisa
Berubah
(Mutaghayyirat)................................................................................. 13
D. Hubungan
Penetapan qath’iy- Zhanniy dan Tsabit-Mutaghayyir
dengan ijtihad................................................................................... 15
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian
sosiologi, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan wacana utama dimana
penelitian dan perbedaan pendapat terjadi diantara para ahli sosiologi. Selama
manusia sebagai pendukung dan pelaku kehidupan sosial dan budaya masih hidup,
selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang
melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada
mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada
akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan
merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Hukum Islam diturunkan oleh Allah bertujuan untuk mencegah
kerusakan pada masyarakat dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka,
mengarahkan mereka kepada kebenaran, keadilan dan kebijakan serta menerangkan
jalan yang harus dilaluinya. Dalam hal ini bertumpu pada lima prioritas utama
yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Dengan
berlandaskan Alquran yang bersifat universal dan dinamis.
Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak
dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah
sifatnya yang fleksibel. Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk
kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret
dari humanitas hukum ”langit’. Sebab, hukum Tuhan tidak sama
sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangit, namun ditempa untuk
kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak tersebut
dari area kekinian dan kedisinian. Oleh karena itu, pembahasan
hukum Tuhan yang mengatur hak-hak manusia, melindungi dan menjamin hak tersebut
jauh lebih banyak daripada pembahasan hak-hak Tuhan itu sendiri.
Kasus-kasus baru yang status hukumnya secara jelas dan tegas dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunah, tidak akan menimbulkan kontra dikalangan
umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang kedua sumber tersebut
tidak secara jelas dan tegas menyebutkan hukumnya, menuntut umat Islam yang
telah mempunyai kapasitas berijtihad untuk memberi solusi dan jawaban yang
cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Maka dari itu,
banyak kita jumpai perbedaan pendapat diantara ulama’ mengenai satu kasus
dikarenakan perbedaan kondisi dan kultur tempat mereka tinggal. Dan
disinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan
“social engineering”. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional
kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika
sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Hukum Islam dan Perubahan Sosial
2. Apakah yg dimaksut Penetapan Qath’iy dan
Zhanniy dalam Nash Hukum
3. Bagaimana Nash Hukum yang Tetap (Tsabit) dan yang bisa Berubah (Mutaghayyirat)
4. Apa Hubungan Penetapan qath’iy- Zhanniy dan
Tsabit-Mutaghayyir dengan ijtihad
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Islam dan Perubahan Sosial
1.
Hukum
Islam
Kata Hukum Islam dalam Alquran tidak akan pernah didapatkan. Tapi
yang biasa digunakan adalah syariat islam, hukum syara’, fiqhi, dan syariat
ataupun syara’. Dalam literature Barat terdapat tern “Islamic Law” yang secara harfiah dapat disebut sebagai Hukum Islam.
Dalam penjelasan terhadap kata “Islamic Law” sering ditemukan definisi
keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala
aspeknya. Dari definisi ini terlihat bahwa hukum Isalm itu mendekat kepada arti
syariat Islam. Namun dalam perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam yang
melibatkan pengaruh-pengaruh luar dan dalam. Terlihat yang mereka maksud dengan
Islamic Law, bukanlah syariat, tetapi
fiqhi yang telah dikembangkan oleh fuqaha. Jadi kata hukum Islam dalam istilah
bahasa Indonesia agaknya diterjemahkan dari bahasa Inggris.
Secara teknology Prof.
Dr. Hasbi As-Shiddieqy memberikan hukum Islam yakni koleksi daya upaya pola
ahli hukum untuk menetapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Ta’rif ini lebih
dekat kepada fiqhi bukan pada syari’at.[1]
Prof. Dr. Ismail
Muhammad Syah mengemukakan bahwa hukum Islam dalam seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama
Islam.[2]
Jadi secara sederhana
dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah.
Dengan demikian hukum Islam menurut ta’rif ini mencangkup hukum syara’ dan juga
mencakup hukum fiqhi karena arti syara’ dan fiqhi terkandung di dalamnya.
2.
Perubahan
Sosial
Gillin mengatakan
perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dan cara-cara hidup yang telah
diterima baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Selo Soemardjan
merumuskan bahwasannya perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga ke masyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi
system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku
diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[3]
Dari
dua definisi tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan sosial
adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya, termasuk
nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi geografis,
kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
B. Penetapan Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash
Hukum
Al-Quran dan
Sunnah Merupakan nash yang diyakini datang dari Syar’I dan menjadi sumber pokok dalam islam. Sebagai sumber hukum, ada
dua hal yang harus dipertanggung jawabkan terhadap kedua nash. Pertama,
ontentitas, validitas, dan otoritas sumber datangnya atau dalam istilah ushul
fiqh bisa disebut wurud atau tsubutnya. Jika Nash datang dari sumber yang
valid, otentik dan otoritas, nash tersebut disebut Qath’i al-wurud.
Namun, jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, nash itu disebut Zhanni
al-wurud. Kedua, dari segi dalalahnya (meaning)-nya atau penunjukan suatu
lafad terhadap maknanya. Jika penunjukan maknanya jelas, tegas, dan definitif,
nash tersebut disebut Qath’i al-wurud. Adapun menuiscayakan adanya
ta’wil dan beberapa kemungkinan makna maka nash itu termasuk dalam kategori Zhanni
al-wurud.
Dalil qath’iy
merupakan suatu dalil yang diyakini datang dari syara’ yaitu
ayat-ayat Al-Quran, hadis mutawatir atau hadis masyhur (menurut ulama
Hanafiyah). [4]Dari
segi wurudnya, para Ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah al-Mutawatirah
termasuk dalam Qath’i. Dengan demikian, selain dari keduannya termasuk
dalam kategori Zhanni.
Kata Qath’I
adalah masdar dari qath’a-yaqtha’u-qath’an yang berarti abana-yubinu-ibanata:
misahkan,menjelaskan. Kata Qath’i juga berarti decided (jelas,
pasti), definite (tertentu), positive (meyakinkan), final, definitive(pasti,
menentukan). Kata Zhanni berasal dari kata Zhanni-yazhunnu-zhannu yang
berarti syak (samar) atau yang masih berupa asumsi, dugaan, anggapan, dan
hipotesis. Adapun kata al-dalalah berasal dari kata dalla-yudullu-dalalah
yang berarti petunjuk. Berpangkat dari pengertian-pengertian diatas yang
dimaksud dengan Qath’I al-dalalah adalah petunjuk yang pasti atau jelas,
sedangkan Zhanni al-dalalah adalah petunjuk yang masih berupa dugaan,
asumsi, hipotesis, atau masih samar,sehingga bisa memungkinkan timbulnya
pengertian makna lain.[5]
Banyak ulama
ushul yang memberikan definisi tentang Qath’I al-dalalah. Sebagai
representasi dari definisi-definisi tersebut, penulis menukil pendapat dari
tiga tokoh.
1.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan Qath’i
al-dalalah. Sebagai suatu lafaz yang hanya dapat dipahami dengan satu makna
dan tidak mengandung kemungkin ta’wil serta tidak mengandung kemungkinan untuk
dipahami selain dengan makna yang yang ditunjukan oleh lafaz tersebut.
Seperti firman Allah yang artinya dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak ,(An-Nisa
(4) : 12). Ayat ini pasti artinya bahwa suami dalam keadaan seperti ini adalah
seperdua ,tidak yang lain. Contoh lain pada firman Allah pada soal menindak
laki-laki dan perempuan yang berzina, yang artinya: “ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah
tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera”. (An-Nur (24):2). Ayat ini
adalah pasti juga artinya baha had zina itu seratus kali dera,tidak lebih tidak
kurang. [6]
2.
Muhammad Hasim
Kamali mendefinisikan Nash qath’i adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya
memiliki satu makna dan tidak terbuka untuk makna lain,atau hanya memiliki satu
penafsiran lain. Contohnya adalah nash tentang suami terhadap harta istrinya
yang telah meninggal sebagai berikut yang artinya: “dan bagimu separuh dari harta yang ditinggalnya istri-istri mu jika
mereka tidak mempunyai anak, (An-nisa (4):12. Dan “ mereka yang menuduh wanita-wanita berzina dan gagal mendatangkan 4
orang saksi (untuk membuktikannya) maka derahlah mereka 80 kali”. (Al-Nur
(24):4). Aspek-aspek ketentuan ini yaitu separuh,seratus,dan delapan puluh
adalah dalil yang sudah jelas dan karena itu, tidak terbuka untuk menerima
penafsiran. Begitu pula ketentuan Al-Qur’an mengenai rukun-rukun islam seperti
shalat dan puasa dan juga bagian-bagaian tertentu dalam kewarisan dan
hukum-hukm yang sudah ditetapkan semuanya qath’iy. Validatasnya tidak mungkin
dibantah oleh siapapun,setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan
ini tidak membuka peluang bagi ijtihad (mujtahid).[7]
3.
Wahbah
Al-Zuhaily Ketika menjelaskan Qath’i al-dalalah dalam kaitannya dengan
Nash Al-Quran, mengemukakan bahwa nash Qath’I al-dalalah adalah lafaz
yang dapat di pahami maknanya secara jelas dan hanya mengandung pengertian
tunggal.
4.
Mustafa Sa’id
Al-Khan mendefinisikan Qath’i al-dalalah sebagai teks yang
lafal-lafalnya menunjukan makna yang dapat dipahami dengan jelas, tidak ada
kemungkinan untuk melakukan ta’wil terhadapnya, dan tidak ada kemungkinan
pemahaman selain dari makna tersebut.
Ke-qath’i dari
pengguna dalil-dalil secara bersamasama dari gabungan dalil-dalil itulah
ditarik secara induktif suatu kesimpulan dimana dalil-dalil tersebut salling
berkolaborasi suatu kepastian. Prinsip-prinsip inilah yang melandasi konsep qath’i
dalam pandangan Asy-Syathibi. Misalnya, rukun islam yang lima itu adalah qath’I
dan ke- qath’i- annya diperoleh
dengan cara demikian, yakni dari berbagai ayat dan sunnah yang mengutkan akan
kewajiban (rukun iman). Kepastian kita tentang wajibnya shalat fardhu yang
lima, umpamanya, tidak semta-mata ditunjukan oleh firman Allah, “dan
dirikanlah shalat” (Q.S. 2:43). Apabila orang yang berargumentasi atas
kewajibanya shalat dengan semata-mata ayat tersebut, argumentasinya akan
mengandung kekurangan dari berbagai segi. Kita mengetahui wajibnya shalat
adalah dari kebersamaan firman tersebut dengan sejumlah bukti lain
berkolaborasi untuk mendukung pemaknaan perintah (amr) dalam firman
tersebut sebagai hal yang menunjukan wajib. Misalnya, kita menemukan pujian
terhadap orang yang mengerjakan shalat, celaan terhadap orang yang meninggalkan
shalatnya, adanya perintah untuk mengerjakannya dalam keadaan duduk bila tidak
mampu berdiri, bahkan berbaring apabila tidak bisa duduk, dan sejumlah indikasi
lain. Kebersamaan dalil-dalil ini yang menghasilkan kepastian (qath’i)
pada kita atas wajibnya shalat.[8]
Muhammad Fu’ad
Fauzi Faidullah menjelaskan secara terperinci, hal-hal yang termasuk ke dalam
kriteria qathi dalalah adalah sebagai berikut.
1.
Al-Aqidat, yaitu tentang iman kepada Allah, malaikat,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan hal-hal yang berhubungan
dengan itu.
2.
Al-Akhlaqiyyat, yaitu yang berkaitan dengan
nilai-nilai moral, seperti baiknya kejujuran, buruknya kebohongan, dan
semacamnya.
3.
Al-Dharuruyyat, yaitu yang diketahui dari agama secara
dhururi, meliputi Al-Muqqaddarat, yaitu ketentuan-ketentuan bilangan yang jelas
dalam nash, seperti hukum bagi penzinah, hukuman qadhaf, kaffarah, ketentuan
jumlah hari-hari ‘iddah dan sebagainya.
4.
Al-Yaqiniyyat, yaitu yang diketahui dari agama secara
dharuri dari segi tsubut dan dalalah-nya dan tidak ada seorang
pun dari kalangan ahli ijtihad yang menentangnya, seperti wajibnya shalat,
zakat, puasa, haramnya zina, mencuri, dan sebagainya.
5.
Al-Mu’abbadat, yaitu hukum-hukum juz’iyyat yang
diberlakukan abadi oleh syari’, seperti
Fatdhuyystul ijtihad, Tautsiq Al-Ushul, tahrim idha Al-Rasul, dan sebagainya.
6.
Al-Qawa’id Al-Ammah, yaitu kaidah-kaidah yang selalu
di lestarikan dalam tasyri hukum, seperti daf’u al-haraj, istisna
al-dharurah, mana’al-idrar bi al-kharin dan sebagainya.
Sementara itu,
sumber dan hukum atau dalil yang Zhanniy adalah dalil hukum yang tidak
pasti menunjukan pengertian tertentu, tetapi hanya dapat diupayakan oleh
seorang mujtahid atau mufassir pada dugaan yang kuat (zhan). Menurut
Abdul Wahhab Khallaf nash yang Zhanniy adalah nash yang menunjukan suatu
makna tertentu, tetapi masih mengandung kemungkinan ta’wil atau penyimpanan
makna dari makna semula atau makna dasar kepada makna-makna yang lain. Menurut
Wahbah Al-Zuhaily, Zhanniy al-dalalah adalah lafal yang mengandung lebih
dari satu makan sehingga dapat di ta’wilkan. Sa’id Khan mendefinisikan Zhanniy
al-dalalah sebagai teks lafal-lafalnya menunjukan suatau makna yang
memungkinkan adanya pertakwilan dan pembelokan makna kepada selain makna yang
ditunjukan oleh lafal-lafal tersebut.[9]
Pada
umumnya hukum-hukum dalam Al-Quran
bersifat Kulli dan bersifat umum, demikian pula dalalahnya
(penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qadh’i yaitu jelas
dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain dan kadang-kadang bersifat dhani’ yaitu memungkinkan terjadinya beberapa
penafsiran.[10]
Senada dengan
itu, A. Djazuli mendefinisikan nash yang Zhanniy al-dalalah-i dengan
pengertian sebagai berikut: “Nash-nash yang Zhanniy al-dalalah-nya
adalah nash-nash yang menunjukan kepada suatu arti, tetapi ada kemungkinan bisa
ditakwilkan dan di keluar dari arti tersebut kepada arti lain.
Berdasarkan
pengertian-pengertian istilah qath’iy dan zhanniy di atas, dapat
ditarik sebuah pemahaman , bagimana yang dituturkan A. Djazuli, bawasanya
pembahsan istilah-istilah qath’iy dan zhanniy tersebut
berhubungan dengan nilai suatu dalil syara’, baik dari sisi kebenaram sumbernya
(al-tsubut atau al wurud), maupun kandungan maknanya (al-dalalah).
Hal-hal yang qath’iy (tegas) memberikan kepastian nilai dalil yang tidak
diragukan lagi. Hal ini berbeda dengan dalil yang Zhanniy, Yang nilai
kebnarannya masih berupa dugaan. Perbedaan penilaian tersebut fungsi dari nash
itu sendiri dan dalam penempatannya. Dalam sistem hukum islam, suatu dalil yang
tertinggi nilanya dan merupakan pegangan yang mutlak dalam menetapkan suatu
hukum, serta tidak termasuk terhadap lapangan ijtihad, adapun dalil yang
bersifat Zhanniy merupakan lapangan bagi ijtihad, yang hasil dan ijtihad
itu sendiri melahirkan ketetapan hukum ya ng Zhanniy juga.
Perincian yang
termasuk dalam kriteria dzanni dalalah adalah sebagai berikut.
1.
Semua hukum amaliah yang bersumber dari dalil yang
bersifat dzanni al-wurud, seperti Khabar ahad. Dalam hal ini mujtihad
melakukan penelitian terhadap sanad.
2.
Semua hukum amaliah yang bersumber dari dalil yang dzanni
al-dalalah. Dalam hal ini mujtihad melakukan penelitian terhadap makna yang
dikehendaki (al-makna al-murad) oleh suatu dalil untuk mengetahui apakah
makna yang dikehendaki adalah bersifat am,muthlaq, dan sebagainya.
Selain itu, mujtihad meneliti sisi dalalah lafal terhadap makna yang
terkandung penunjukan maknanya dengan ibarah, isyarah, atau dalalah
al-iqtidha.
Dalam membicarakan qath’iy dan zhanniy,
Qardhawi sebagaimana pakar ushul fiqh yang lain, berpendapat bahwa nash yang qath’i
adalah nash yang bergabung di dalam dua hal yang ketetapannya bersifat pasti
dabn penunjukannya bersifat pasti.[11]
Berbicara dalil
yang penunjuakanya bersifat pasti (qadh’i al-dalalah), Qardhawi
berpendapat bahwa nash yang hanya mempunyai satu penafsiran an satu arah
pandangan, baik dari segi bahasanya maupun dari segi syaratnya. Atau
ditunjukkan oleh berbagai konteksnya bahwa ia tidak mungkin mengandung pemahaman yang lain.
Kalaupun diduga
ada pertentangan antara dalil yang qadh’i dengan kemaslahatan, menurut
Qardhawi, Kemungkinan penyebabnya dua kemungkinan. Pertama, kemaslahatan
yang bersifat zhanni atau di ragukan dari akal pikiran manusia.
Misalnya, menurutnya, kemaslahatan memperbolehkan riba untuk berpihak kepada
investor asing, memperbolehkan khamar untuk kepentingan pariwisata dan
wisatawan asing, atau mmbatalkan hukuman hudud karena penghormatan kepada
negara modern. Kedua, boleh jadi nash yang dianggap qadh’i tersebut
berbicara sesuatu yang tidak qadh’i yang menjebak para peneliti yang tidak ahli
dan belom memahami ilmu syariat atau belum mengusainya. Qardhawi memberikan
contoh pandangan Abdul Hamid Al-Mutawali, seorang ahli hukum perundang-undang (taqnin),
Qardhawi mengkritik seseorang selalu mengabaikan nash yang qadh’i
seseorang yang menjadikan nash yang qadh’i menjadi zanniy. Ia
memberikan contoh, pandangan Asmawi seorang hakim agung Mesir yang terkenal
liberal tentang ayat keharaman khamar (minuman keras).[12]
Yang berbunyi sebagai berikut :
* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya."
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir”. (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 219)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? wur $·7ãYã_ wÎ) ÌÎ/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301],
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (Q.S. An-Nisa
[4]: 43)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Al-Maidah [5]: 90)
Menurut Asmawi, dengan ayat-ayat
tentang khamar di atas, tidaklah menunjukan pengharaman yang tegas, namun hanya
untuk diperintahkan untuk menjauhi dengan melihat lafaz “faj tanibuh”. Menurut Qardhawi, pendapat Aswani ini sesuatu
yang salah karena jelas menurutnya pengharman khamar bukan wilayah untuk
ijtihad, namun sesuatu yang telah diketahui kepastiannya.
Dengan demikian juga, Qardhawi
mengkritik orang yang memperdebatkan lagi tentang keharaman riba, daging babi,
masalah hak waris perempuan, kewajiban menutup aurat, (hijab), kepemimpinan
laki-laki dalam rumah tangga, atau lain-lainnya yang secara tegas diungkapkan
di dalam rumah tangga, atau lain-lainnya yang secara tegas diungkapkan di dalam
Al-Quran secara qath’i al-tsubut wa al-dilalah dan para ulama telah
sepakat dalam fiqh, amal, teori, dan praktik selama belasan abad sejak
kelahiran islam. Dengan demikian, di atas, di antara konteks dan dalil
itu ialah, konsensus umata atas pemahaman tersebut serta kesepakatan berbagai
kelompok dari mazhab umat atas pemahaman itu.
Sementara
menurut Al-Qardhawi, Zhanniy al-dalalah
adalah dalil-dalil yang memungkinkan penafsiran yang berbeda dan
dijadikan wilayah ini sebagai lapangan ijtihad sehingga dimungkinkan adanya
pertarungan berbagai paham sehingga figh islam mengalami perkembangan dan
regenerasi. Ia berkata:
Artinya:“….dan ada daerah yang
terbuka, yaitu daerah hukum-hukum yang zhanniyah baik tsubut atau dalalahnya. Ini adalah
hukum-hukum figh yang paling luas, ia adalah lapangan ijtihad, tempat
bertarungnya berbagai paham sehingga figh mengalami kemajuan, dinamika,dan
pembaharuan.”
Dengan
demikian, pandangan Al-Qardhawi tentang qath’iy dan zhanniy hampir
sama dengan keumuman para ulama ushul fiqh, namun ia menekankan bahwa harus ada
sikap yang jeli dan teliti dalam menelaah dan menyeleksi mana hukum-hukum yang
bersifat qath’i dan mana yang zhanniy. Dalam titik ini,
Al-Qardhawi belum qath’iy dan zhanniy al-dalalah, karena,
bagaimanapun, dalam hal ini sering terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam
menentukan suatu dalil atau masalah hukum termasuk qath’iy dan zhanniy.[13]
C. Nash
Hukum yang Tetap (Tsabit) dan yang bisa Berubah (Mutaghayyirat)
Dalam syariat Islam Terhadap aspek-aspek yang tepat (tsabat)
yang menjadi sandaran figh Islam. Syariat merupakan bagian dari fitrah dan
realitas manusia yang selalu ada dan senatiasa melekat kuat. Dalam syariat
islam terhadap pula berbagai kaidah yang mengandung unsur-unsur dinamis yang
memungkinkan syariat tersebut tetap berlaku di setiap zaman tentang persoalan
ini, Yusuf Qardhawi mengatakan:
“di
antara manusia, ada orang yang menyembunyikan rasa takut, untuk menyerukan
kembali kepada syariat dan figh islam serta mengambil syariat sebagai asas
penetapan hukum dan putusan. Sumber ketakutan tersebut ada 2 macam, yakni
prinsip ketuhanan dan sifat keagamaan yang ada didalam fiqh islam.Telah
disepakati bahwa kedua sumber pokok figh islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam pandangan mereka hal demikian menuntut adanya pemberian status “tetap”
Dan
“statis” terhadap figh islam serta upaya mendudukan rasio manusia di hadapan
figh tersebut dengan sikap pasrah dan taklid; tanpa sikap kreatif, karena tidak
ada ruang bagi akal di hadapan waktu adan tidak ada tempat bagi ijtihad di
hadapan nash”
Senada dengan
pernyataan diatas, Abdul
Halim Uways berpendapat bahawa di antara spesifikasi yang paling menonjol dalam
hukuman islam adalah wataknya yang mengakomodasi stabilitas (tsabat) dan
elastisitas sekaligus di dalam keteraturan dan keseimbangan yang tidak ada bandingannya.
Oleh karena itu, fiqh Islam cenderung dikatakan tetap secara mutlak yang
membuat kehidupan dan aspek kemanusiaan menjadi jumud (stagnan). Sebaliknya, ia
juga tidak dikatakan ketidakpastian serata ketidakabadian nilai-nilai dan
prinsip-prinsipnya. Akan tetapi, figh islam senatiasa berada ditengah-tengah
diantara keduanya.
Sementara
cabang-cabang syariat islam yang dikenal dengan masalah furu yang parsial
bersifat elastis dan bisa berubah sehingga di dalamnya terdapat potensi
dinamika. Keberadannya adalah seeperti berbagai perubahan persial yang terdapat
di alam semesta dan kehidupan yang selalu mengikuti dinamika manusia. inilah
yang menurut Al-Qardhawi bagian dari sunnatullah.
Selanjutnya,
menurut Al-Qardhawi, mengapa figh islam mengandung aspek perubahan (mutaqhayyir)
yang dalam bahasa ia al-murunah (elastisitas). Hal ini disebabkan
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1.
Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken
for granted segenap hal, bahakan dia memberikan adanya suatuy wilayah yang
luas tanpa terukat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan,
kemuadahaan, dan rahmat bagi makhluk-Nya.
2.
Sebagian besar nash datang dengan orinsip-prinsip yang
umum dan hukum-hukum universal yang tidak mengemukakan berbagai perincian dan
bagian-bagiannya, kecuali dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan
tempat dan waktu seperti dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, talak,
warisan, dan lain-lain. Pada selain perkara-perkara itu, syariat islam cukup
menetapkannya secara umum dan global. Misalnya, Allah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apa bila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkan dengan adil”
(Q.S An-Nisa’
[4]: 58)
3.
Nash-nash yang berkaitan dangan hukum-hukum yang
parsial menhadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu meperluas berbagia
pemahamna dan penafsiran baik secara ketat maupun secara longgar, baik secara
menggunakan hafiah teks maupun yang memanfaatkan subtansi dan maknanya.
4.
Dalam penafsiran wilayah terbuka dalam penetapan atau
penghapusan hukun isam terhadap ke mungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana
yang beraneka ragam, yang menyebakan para mujtahid berbeda pendapat dalam
penerimaan dan penentuan batas penggunaannya.
5.
Adanya prinsip mengantisipasian berbagai keadaan
darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara
menggugurkan hukum atau meringankannya hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan
membantu manusia karena kelemahan mereka di hadapan berbagai keadaan darurat
serta kondisi kondisi yang menekan. (berbagai kondisi darurat menyebabkan
bolehnya hal-hal yang terlarang).[14]
D.
Hubungan
Penetapan qath’iy- Zhanniy dan Tsabit-Mutaghayyir dengan ijtihad
Ijtihad, menurut bahasa
adalah pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan “sesuatu yang sulit”.
Oleh sebab itu, salah apabila istilah ijtihad diterapkan pada pengerjaan
sesuatu yang mudah atau ringan. Menurut ulama ushul mendefinisikan ijtihad
sebagai usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuan, baik dalam
menetapkan hukum-hukum syara maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.
Ali Yafie mengatakan
bahwa sebagaian materi hukum dalam Al-quran dan as-sunnah sudah berbentuk
dictum yang otentik (tidak mengandung pengertian lain), atau sudah diberi
interprestasi otentik dalam sunah sendiri. Materi hukum seperti ini disebut
qath’iyyat. Juga ada diantaranya yang sudah memperoleh kesepatan bulat dan
diberlakukan secara umum sepeti ini disamakan dengan yang otentik tersebut,dan
disebut dengan ijma. Wujud dan sifat ajaran agama atau hukum islam yang
demikian itu tidak lagi masuk dalam ruang gerak ijtihad.
Adanya pembagian
qah’iy-dzanny al dalalah tampaknya hubungannya sangat erat dan upaya membedakan
antar unsur-unsur statis, tetap (tsawabit) dan unsur-unsur dinamis berubah
(mughayyirat/tathawwurat) dalam hukum islam cukup merujuk pada nash yang
qath’iy. Demikian juga yang taghayyur cukup merajuk pada nash yang dzanni.
Namun, penelusuran tsawabit tahtawurat dengan diatas bukanlah satu-satunya
jalan. Untuk mengetahui tsawabit dan tahtawurat harus juga memperhatikan kaidah
al-wasail dan al-maqasid,yaitu bahwa dalam penerapan suatu hukum harus terdapat
aspek yang merupakan sarana (al-wasil) da nada yang merupakan tujuan
(al-maqasid) dan mana dalil yang kuli dan jus’iy. Menurut isham Thalimah, hal
inilah yang menjadi karakter metodologi Al-Qardawi dalam rumusan ijhadnya.[15]
Alasan untuk dikatakan
bahwa kesulitan mengklasifikasikant tsawabit dam taghayyurat itu antara lain
disebabkan olh kesulitan menentukan dalil yang mana disepakti sebagai yang
qhat’i untuk menetapkan hal-hal yang merupakan tsawabit. Yusuf Al-Qardawi
sangat menekankan pengetahuan tentang qath’i dan zanni bagi kalangan mujtahid.
Hal ini sangatlah penting untuk mengetahui wilayah ijtihad dan perubahan fatwa.
Oleh karena itu, Qardhawi sangat memperhatikan sebagai prasyarat bagi siapa
saja yang berijtihad.
Menurut Yusuf Qardawi,
pengetahuan tentang qath’i dan zanni al-dalalah merupakan tanda dari kefakihan
seseorang dan keluasannya dalam masalah-masalah fiqih. Sebab salah satu bencana
yang menimpa meraka yang sedang mendalami fiqh dan orang yang terjun didalamnya
adalah kekurangpahamn mereka secara mendalam tentang titik-titik penting ijma.
Bahkan,dikalangan mereka terdapat pemahaman bahwa semua khazanah warisan fiqh
yang kini telah menguasai pikiran banyak orang, baik dari kalangan orang yang
sedang dalam belajar fiqih maupun yang telah terjun, merupakan titik
kesepakatan yang tidak ada perselisihan lagi didalamnya.
Dalil-dalil qath’i
harus tetap dipertahankan agar qath’iy, tidak boleh diubah menjadi dalil yang
zanni. Demikian pula dalil yang zanni harus dipertahankan agar zanni tidak
boleh diubah menjadi dalil yang qhat’iy. Al-Qardawi mengingatkan bahwa
masalah-masalah yang bersifat qaht’i maka disana tidak ada ruang untuk
melakukan ijtihad. Sesungguhnya ijtihad itu hanya bisa dilakukan dalam hal-hal
yang bersifat zanni. Ia berkata “ Hendaknya
kita semua ingat bahwa ruang ijtihad yang terbuka bagi umat adalah hukum-hukum
yang dalilnya masih bersifat zanni. Adapun hukum yang bersifat qaht’i maka
tidak ada jalan bagi siapa pu untuk melakukan ijtihad. Ke-zanni-an satu dalil
dilihat dari sudut ke-tsubutannya ataupun dari segi dilalah atau dari keduanya”.
[16]
Dengan demikian tidak
boleh ada ijtihad pada hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an dengan dalil-dalil
yang qaht’i. Seperti kewajiban puasa atas umas islam,keharamannya minuman
keras, haramnya daging babi dan praktik riba, atau kewajiban memotong tangan pencuri
jika tidak ada keraguan dan syarat-syarat yang terpenuhi. Selain itu,
masalah-masalah lain yang dengan tegas telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan
As-sunna, dan telah disepakati oleh umat serta telah diketahui secara umum
sebagai tonggak penyatu pemikiran moralitas umat.
Dalam berijtihad
Al-qardawi kembali menempuh jalan tengah (moderat), yakni ia ingin melakukan itsbatu tsawabit wa tagyirul
mutaghayyirat (mempertahankan
hal-hal yang sudah baku dan mengubah hal-hal yang memang sifatnya dapat
berubah/elatstis). Sikap ini merupakan jalan tengah diantara jalan ekstream
lainnya yaitu:
1.
Isbatu tsawabit
wa itsbat al mutagahyyirat ,(menetapkan yang sudah baku dan mempertahankan
sifat elastis)
2.
Tagyirus
tsawabit wa tagyir al mutaghayyirat (mengubah yang sifatnya baku dan mengubah
yang sifatnya dinamis)
3.
Tagyirus
tsawabit wa itsbat al-mutagahyyirat ( mengubah hal yang baku dan mempertahankan
hal yang elastis)
Inilah keunggulan
pemikiran Al-Qardawi tentang ijtihad kontemporer. Ia telah menetukan
rambu-rambu yang jelas untuk berijtihad pada zaman ini. Sikap setiap muslim
terhadap masalah-masalah ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’iy tsubut dan
qath’iy ai-dalalah harus menerimanya dengan senang hati dan pasrah, seperti
yang dijelaskan Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 36.
Berdasarkan pemikiran
diatas,Al-Qardawi membantah seruan presiden tunisia Habib Bourguiba yang
memperintahkan agar bagian warisan anak laki-laki disamakan bagian dengan anak
perempuan. Dalam pidato pembukaan seminar internasional tentang kebudayaan dan
kesadaran bangsa 18 mei 1974 di Tunis. Bourguiba mengatakan bahwa ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian
anak perempuan diturunkan sosial budaya tertentu. Pada saat itu kedudukan
laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan kedudukan perempuan, bahkan anak
perempuan dikuburkan hidup hidup. Sementara situasi sekarang sudah berubah,
kedudukan perempuan sudah sederajat dengan laki-laki dalam segala bidang
seperti, dalam bidang pendidikan, aktivitas pertanian, lapangan pekerjaan
kecuali dalam pembagian harta warisan. Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad
karena hukum islam dapat mengikuti perkembangan sosial budya pada setiap zaman.
Ijtihad yang disebutkan
Bourguiba itu tidak boleh dilakukan karena nash yang menjelaskan pembagia waris
itu adalah nash yang qath’iy al-tsubut dan qath’iy al-dalalah. Seruan yang
dikemukakan presiden Tunis ini dimunculkan kembali di Indonesia pada tahun
1980an oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali yang dikemas dengan gaya ilmiah. Menurut
Al-Qardawi, mereka yang berani mempermainkan nash yang qath’iy dengan
berpura-pura melakukan ijtihad tidak boleh dibiarkan berkembang, karena hukum
hukum yang ditetapkan dengan dalil yang qath’iy merupakan pilar kesatuan
akidah,pemikiran dan prilaku umat islam diseluruh dunia. Dalil-dalil yang
qath’iy ini dibagikan gunung-gunung dibumi yang dapat melindunginy dari
guncangan. Diantara yang mempermainkan ayat-ayat yang qath’iy adalah mereka
yang berpendapat bahwa daging babi yang diharamkan oleh Al-Qur’an adalah babi
yang makanannya kotor sehingga dagingnya dianggap najis. Adapun sekarang babi
dipelihara dan diberimakan dengan makanan yang baik dan bersih, tidak sama
dengan babi zaman dulu(pada zaman nabi) sehingga babi menjadi halal sekarang.
Ajaran islam yang qath’iy merupakan identitas kepribadian umat yang harus tetap
dipertahankan sepanjang zaman. Memang hukum berubah mengikuti perubahan sosial
yang terjadi tetapi dalam konteks hukum islam,yang dapat berubah hukum yang
dapat ditetapkan dengan dalil-dalil zanniy, bukan ditetapkan hal-hal yang sudah
baku. Selain itu hukum tidak selamanya “menyerah” pada perubahan sosial. Karena
hukum juga berfungsi sebagai rekayasa sosial ,pengendalian sosial, pengendalian
masyarakat dan penyejahteraan masyarakat. [17]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa
Hukum Islam dalam Alquran tidak akan pernah didapatkan. Tapi yang biasa
digunakan adalah syariat islam, hukum syara’, fiqhi, dan syariat ataupun syara.
Sedangkan perubahan sosial adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang
sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan
kondisi geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat.
Dalam syariat Islam Terhadap aspek-aspek yang tepat (tsabat)
yang menjadi sandaran figh Islam. Syariat merupakan bagian dari fitrah dan
realitas manusia yang selalu ada dan senatiasa melekat kuat.
Dengan demikian tidak
boleh ada ijtihad pada hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an dengan dalil-dalil
yang qaht’i. Seperti kewajiban puasa atas umas islam,keharamannya minuman
keras, haramnya daging babi dan praktik riba, atau kewajiban memotong tangan
pencuri jika tidak ada keraguan dan syarat-syarat yang terpenuhi. Selain itu,
masalah-masalah lain yang dengan tegas telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan
As-sunna, dan telah disepakati oleh umat serta telah diketahui secara umum
sebagai tonggak penyatu pemikiran moralitas umat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh ,Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,1996)
Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam
Perubahan Sosial (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam
Perubahan Sosial (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam
Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian,
Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup,2010)
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara,1992)
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1996)
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Rajawali Press,1995)
Totok Jumantoro and Samsul Munir Amin, Kamus
Ilmu Fikih (Jakarta: AMZAH, 2005)
[2] Ibid, h.17
[5] Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 55-57.
[6] Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu
Ushul Fiqh ,Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1996).h.45
[7]Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1996) h. 26-27
[10] Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, Dan
Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2010), h. 142.
[15] Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 72-74.
[16] Ibid , h.74-75
[17] Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h.76-78.
0 Response to "PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM DALAM MENJAWAB PERUBAHAN SOSIAL"
Posting Komentar