Ketidak Setaraan Gender dalam Pendidikan Islam



MAKALAH
KETIDAKSETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini Dususun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. Mispani, M.Pd.I


Nama Kelompok:
Eva Yulianty         171210022
Sutarjo                   172210173
M. Reliyanto          172210166


Fakultas: Tarbiyah
Jurusan : Pendidikan Agama Islam

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU METRO
1439 H/ 2018 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Ketidaksetraan Gender dalam Pendidikan Islam”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada Dosen Pengampu danseluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaatbagi pembaca umumnya dan bagi khusunya bagi penulis sendiri.
           

Metro, Mei 2018


Penyusun









DARTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 1
C.     Tujuan............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gender.......................................................................... 2
B.     Konsep Gender Dalam Perspektif Islam........................................ 5
C.     Gender dalam Pendidikan Islam.................................................... 6
D.    Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan Islam......................... 9

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan, kemudian masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pembagian kerja tersebut dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian peran laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya yang mengedepankan dominasi kaum laki-laki.
Al-Qur’an merupakan kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Byzantium dan Sassanid. Kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan dan warisan, dan lain-lain. Masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan. Mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki (Nuryanto, 2001: 61). Jika kemudian terjadi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dengan mengatasnamakan Islam, atau tuduhan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam, maka pemahaman, perlakuan, dan tuduhan semacam itu perlu dipertanyakan kebenarannya.
Terkait dengan pendidikan Islam yang secara sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits, seharusnya terbebas dari prinsip-prinsip ketidakadilan dalam segala hal termasuk ketidakadilan gender. Dengan kata lain konsep pendidikan Islami yang sebenarnya mengandung makna konsep nilai yang bersifat universal seperti adil, manusiawi, terbuka, dinamis, dan seterusnya sesuai dengan sifat dan tujuan ajaran Islam yang otentik sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.  Ciri otentisitas ajaran Islam adalah bersifat menyeluruh (holistik), adil, dan seimbang. Jika pada masa Rasulullah SAW merupakan masa yang paling ideal bagi kehidupan perempuan, di mana mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki, maka dalam konsep pendidikan Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits seharusnya tidak akan dijumpai adanya ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Dalam pandangan Islam, semua orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama serta seimbang termasuk hak dan kesempatan dalam memperoleh dan dalam urusan pendidikan. Hal ini sangat kontradiktif dengan anggapan atau tuduhan sebagian orang yang menyatakan bahwa ajaran Islam dan pendidikan Islam banyak diwarnai oleh ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Tulisan ini akan membahas gender dan pendidikan Islam. Oleh karena luasnya permasalahan yang menyangkut gender dan pendidikan Islam tersebut, maka dalam hal ini penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya pada persoalan: Apa itu gender? Bagaimana pandangan Islam tentang gender? Bagaimana pula gender dalam pendidikan Islam? 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Gender?
2.      Bagaimana Konsep Gender Dalam Perspektif Islam?5
3.      Bagaimana Gender Dalam Pendidikan Islam?6
4.      Apa yang dimaksud dengan Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan Islam?9
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Gender
2.      Untuk mengetahui Konsep Gender Dalam Perspektif Islam
3.      Untuk mengetahui Gender Dalam Pendidikan Islam
4.      Untuk mengetahui Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gender
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Stoller mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Nugroho, 2008: 2-3). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (Tiemey, tt: 153). Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin.
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial.
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Adapun konsep kesetaraan gender adalah konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang lebih egaliter. Jadi, konsep kesetaraan gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran (measure) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam kehidupan  masyarakat. Konsep kesetaraan gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasannya untuk mengejar kesetaraan gender dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, berperan, dan berperilaku dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Ketika fakta telah ditemukan, bahwa ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam masyarakat berakar pada pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan, maka perlu adanya usaha untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Jika hal ini tidak dilakukan, proses perendahan martabat kemanusiaan dalam masyarakat akan berlangsng terus menerus. Salah satu usaha yang perlu ditekankan adalah bagaimana membuka wawasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu elemen penting untuk membentuk tatanan masyarakat madani, yaitu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi.


B.     Konsep Gender Dalam Perspektif Islam
Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangaun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki. Hal ini sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk menolak kesetaraan gender. Akibat lain yang tidak kalah pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap Allah SWT. Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (al-Qur’an), sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada laki-laki. Allah SWT telah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْٱللَّهَٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An-Nisa’: 1).

Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama (jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa membedakan  jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik (kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya.

C.    Gender Dalam Pendidikan Islam
1.      Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam      
Orang-orang yunani, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha untuk membantu manusia menjadi manusia atau usaha untuk memanusiakan manusia. Seseorang dapat dikatakan telah manjadi manusia apabila memiliki sifat-sifat (nilai) kemanusiaan seperti, memiliki kemampuan mengendalikan diri, memiliki rasa cinta dan kasih sayang, memiliki pengetahuan, dan sebagainya. Dalam hal ini pendidikan bersifat membantu atau menolong dan bukan mencetak atau menjadikan. Hal demikian karena pada diri manusia itu sesungguhnya telah ada potensi-potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan, di samping ada juga potensi-potensi yang tidak manusiawi yang tentu saja tidak perlu dikembangkan.
Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya menumbuhkembangkan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga.
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat1 pendidikan ialah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama atau insan kamil.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). Kedua potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna.
2.      Filsafat dan Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam bersifat integral, utuh, dan serba meliputi. Nilai-nilai dasar Islam terpadukan dan terintegrasikan ke dalam ruang dan gerak aktivitas pendidikan pada semua pola, level dan tingkata. Sifat integralistik dan karakteristik keserbaliputan sistem pendidikan Islam secara sistematis dan strategis dapat dirangkum sebagai berikut:
a.      Sistem pendidikan Islam tidak memisahkan nilai-nilai moral dan Ketuhanan dari nilai-nilai hidup keduniawian ( QS. al-Ikhlas 1-5).
b.      Totalitas sistem pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat (. Al-Qashash 77).
c.      Sistem pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan akal (intelektual) dan pendidikan moral spiritual. Nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai moral spiritual mendapat tempat yang serasi dan wajar dalam rancang-bangun sistem pendidikan Islam. Islam menekankan pola keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
d.     Keseluruhan bangunan visi, orientasi, dan misi pendidikan Islam bertujuan untuk menyeimbangkan antara prinsip-prinsip kepentingan individu, perorangan, dan masyarakat agar pola-pola hubungan dan azas tatanan sosial Islami yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat terbina dan terjaga dengan baik.
e.      Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar komitmen ajaran hablun min Allah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun min al-nas (hubungan manusia dengan sesama manusia) dalam konstruk keseimbangan atas dasar paradigma idealitas Ilahiyah dan realitas insaniyah.
f.       Sistem pendidikan Islam sesuai dengan arah, visi dan misinya yang komprehensif, sinergis dan terpadu sangat menghargai pencapaian pola keseimbangan pendidikan jasmani dan rohani. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani yang keduanya memerlukan latihan dan pembinaan secara tepat dan wajar agar tercipta fondasai susunan rohani yang sehat dan bangunan rohani yang kuat dalam pembinaan integritas kepribadian dan pertumbuhan karakter yang baik dalam diri peserta didik.

D.    Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
Pada tataran konsep yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebenarnya tidak ditemukan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam maupun pendidikan Islam. KH. Husein Muhammad, seorang kyai dari Cirebon yang gigih mengkaji masalah kesetaraan gender dalam kitab fiqih, mengatakan bahwa interpretasi keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi masyarakat saat itu. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang ada. Pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia tanpa mengkotak-kotakkannya. Hal tersebut telah banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, antara lain:
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).

Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Allah menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama. Karenanya tidak ada alasan untuk menempatkan peranan perempuan di bawah posisi dan peranan laki-laki.
Jika pada masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan, maka sepeninggal beliau SAW banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat Islam.  Perubahan itu berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi sistem monarki yang absolut. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum lelaki yang sebelumnya telah dilindas oleh reformasi Islam yang berlangsung ketika Nabi masih hidup. Hal demikian ini pada gilirannya berimbas bahkan telah mewarnai dunia pendidikan Islam.
Penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi species antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.
Fakta–fakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai macam pengaruh baik secara psikologis maupun sosiologis yang berimplikasi pada unequal genderbias (bias ketidakadilan gender), terutama di bidang pendidikan sebagai faktor penentu dalam kerangka berpikir masyarakat. Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah masalah yang krusial seandainya perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, ketika hal itu melahirkan suatu struktur masyarakat yang menimbulkan adanya pihak yang dikorbankan akibat adanya perbedaan gender yang beraliansi pada konstruksi sosial, maka timbullah permasalahan tersebut. Konstruksi sosial akibat miss understanding gender menyebabkan masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity terhadap perempuan.
Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang yang lain. Di Indonesia, kesenjangan gender terlihat hampir di semua sektor kehidupan, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan dan lain-lain. Dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin perempuan, maka secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal. Pencanangan wajib belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan peran perempuan.
Akibat dari tidak adanya agresifitas yang di miliki perempuan berimplikasi kepada diri perempuan itu sendiri seperti:
a.      Perempuan kurang percaya diri (self confidence) karena kemampuan mereka memang masih terbatas.
b.      Perempuan kurang berusaha merebut peluang.
c.      Perempuan kurang mendapat dukungan, baik dari keluarga maupun masyarakat apabila bekerja di sektor publik.
d.     Perempuan masih terbelunggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik.
e.      Perempuan masih kurang memiliki kemampuan manawar (bargaining).
f.       Perempuan masih terkungkung dalam tradisi misogonis; dan
g.      Perempuan masih di hadang oleh pemahaman dan penafsiran agama yang didominasi niali-nilai partiarki dan bias gender.

Proses pendidikan yang sedemikian strategis dalam mentransformasikan nilai-nilai, budaya, ataupun pandangan seringkali tidak disadari telah mengembangkan budaya ketidakadilan gender. Dalam pendidikan formal di sekolah misalnya, para pendidik baik guru maupun orang tua menganggap bahwa mereka telah telah memperlakukan siswa laki-laki maupun perempuan secara sama dan adil. Padahal guru dan orang tua tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak memperhatikan, apakah buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah, kurikulum yang diterapkan, termasuk kegiatan kurikulernya benar-benar terbebas dari bias gender? Ketidaktahuan guru ataupun orang tua dapat dipahami mengingat konsep gender masuk ke Indonesia relatif masih baru. Ketidakpekaan guru, termasuk guru perempuan terhadap kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender juga dapat dimengerti, karena selama ini tidak ada keberanian untuk mendobrak kemapanan yang ada.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Gender secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Makna ini kemudian mengalami pergeseran menjadi sebuah istilah semenjak diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sesudah itu istilah gender terus berkembang, dan banyak ahli telah mendifinisikan istilah tersebut. Dari berbagai definisi gender yang telah dikemukakan para ahli dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter.
Dalam pandangan Islam semua manusia memiliki derajat, kedudukan, dan kesempatan yang sama di hadapan Allah SWT. Tidak ada kesenjangan gender, tidak ada pula pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Manusia mana saja, tidak peduli apakah laki-laki atau perempuan, yang paling bertakwa di antara mereka, itulah manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT. Perlu disadari bahwa kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal.





DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Putra.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 1996. Gender dalam Persfektif Islam:Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I. Surabaya: Risalah Gusti.

Ismail, Faisal. 2003. Masa Depan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bakti Aksara Persada.

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 1992. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nuryanto, Agus. 2001. Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender. Jogjakarta: UII Press.

Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Suryadi, Ace dan Ecep Idris 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.cet. I. Bandung: Genesindo.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Ketidak Setaraan Gender dalam Pendidikan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel