MAKALAH MAQOM TUMA’NINAH DAN MAHABBAH




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Balakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal(keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak bisa dipisahkan. Keduanya ibarat satu sisi dalam satu mata uang. Keter kaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Maqamat?
2.      Apa pengertian Tuma’ninah?
3.      Apa pengertian Mahabbah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Maqamat
2.      Untuk mengetahui apa maksud Tuma’ninah
3.      Untuk mengetahui apa maksud Mahabbah
                                                                    


                                                                    BAB II
PEMBAHASAN

A.    MAQAMAT
1.      Pengertian MAQAMAT
Maqamat bentuk jamak dari maqam yang artinya adalah tahapan, tingkatan, atau kedudukan sedangkan menurut istilah adalah upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui tahapan-tahapan untuk mencapai makrifatullah.
Maqam merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkan baginya menumpuh jalan menuju tingkatan kedua. Misalnya dari tingkatan tobat menuju tingkatan wara’, dari tingkatan wara’ menuju tingkatan zuhud. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.
Menurut Abu Bakar al-kalbi dalam bukunya, at-Ta’aruf li Mazhabi ahli Tasawwuf, maqam yang harus dilalui oleh seorang salik adalah taubat, zuhud, sabar, faqr, rendah hati, takwa, tawakal, kerelaan, mahabbah, dan makrifat.
Adapun Abu Hasan al-Qusyairi membaginya menjadi tobat, wara’, zuhud, tawakal, sabar, dan ridha.Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud dari beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi.
a.       Taubat
Taubat dalam bahasa arab yang berarti “kembali”, sedangkan taubat bagi kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam alqur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S An-Nur:31)
وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
Artinya:... “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, Hai oramg-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S An-Nur:31)
b.      Wara’
Secara harfiah wara’ artinya soleh, secara istilah wara’ adalah menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjahui hal-hal yang tidak baik dan subhat. Adapun menurut para sufi, wara’ menghindari segala yang diragukan antara halal dan haram. Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori), “Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia terbebas dari yang haram.
c.       Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersiat keduniawian. Secara istilah zuhud adalah suatu kehidupan yang mengutamakan akhirat dari pada dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan dan sangat merindukan kesenangan hidup di alam akhirat yang kekal serta abadi.
d.      Faqr
Menurut kaum sufi faqr adalah orang yang memiliki ketulusikhlasan dalam berbuat dan bertanggung jawab serta tidak meminta lebih daripada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeqi, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
e.       Sabar
Dalam kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjakankan perintah-perintah Allah, dan menerima segala cobaan yang ditimpanya.
Al-Qur’an dan hadis mengibaratkan orang-orang sabar dengan berbagai gambaran indah. Sabar dibagi menjadi dua bagian, yaitu sabar atas apa yang diperintahkan Allah SWT, dan sabar atas apa yang di larang-Nya. Adapun sabar atas apa yang tidak diupayakan seorang hamba adalah sabar dalam menjalankan hukum Allah SWT yang menimbulkan kesukaran baginya.
f.       Ridho
Secara harfiah ridho adalah suka, Harun Nasution mngatakan ridho, tidak menentang qada dan qadar Allah. Manusia biasanya suka menerima keadaan yang menimpa seperti miskin, kerugian, kehilangan.Disini maqamat dalam sikap ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita bagaimanapun itu. Sebagaimana hadis qudsi, Nabi menegaskan. “Sungguh Aku ini Allah tiada tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar atas coba’an-Ku maka ia keluar dari kolong langit dan cari tuhan selain Aku.
g.      Tawakkal
Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu.
Pengertian yang demikian itu sejalan pula dengan pengertian Harun Nasution, ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar  dan menyerahkan kepada qodho dan qhodar-NYA Allah.

B.     Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qoyyim, “Kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan,”  Nabi juga bersabda, “Kebenaran adalah sesuatu yang menyenangkan hati.”
Tuma’ninah juga dapat diartikan keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya “Orang-orang yang beriman dan tenteram hatinya dengan mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati bias menjadi tenteram” juga fiman Allah, yang artinya: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Masuklah dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu.
Ibnu Qoyyim membagi tumalninah dalam tiga tingkatan: Pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut (kepada Allah) pada raja’, dan ketentraman orang yang tertimpa bala pada karunia. Kedua, Ketentraman jiwa pada Kashf, ketentraman perindu pada batas penbantian, dan ketentraman perpisahan pada pertemuan. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketentraman pertemuan pada baqa’ (keabadian), dan ketentraman maqam pada cahaya keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridlai-Nya. Masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS al Fajr; 27-30).
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧  ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨ فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي ٢٩  وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي ٣٠

Artinya: “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama´ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr: 27-30).

Ibnu Qayim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’.64 Menurut pandangan sejumlah sufi, fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
Thuma’ninah dibagi menjadi tiga:
1.    Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir.
2.    Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa.
3.    Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.

C.    Mahabbah
1.      Pengertian Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. . Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menetapkan mahabbah sebagian dari maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan, melainkan semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi dialam semesta ini, sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan, maupun kejahatan, selalu diterima dengan lapang dada.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
a)       Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b)       Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c)       Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan.

2.      Tujuan Mahabbah
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
3.      Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
a.      Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
b.     Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
c.      Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir   bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: Artinya: mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-isra’: 85)



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Maqam merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkan baginya menumpuh jalan menuju tingkatan kedua. Misalnya dari tingkatan tobat menuju tingkatan wara’, dari tingkatan wara’ menuju tingkatan zuhud. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qoyyim, “Kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan,”  Nabi juga bersabda, “Kebenaran adalah sesuatu yang menyenangkan hati”.
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. . Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki demi yang dicinta.


 DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002).

Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,2011).

Siregar Rivay, Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002)

Syukur Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "MAKALAH MAQOM TUMA’NINAH DAN MAHABBAH"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel