MAKALAH KONSEP DAN PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER


MAKALAH
KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER
 Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah:

Fiqih Mu’amalah

Dosen Pengampu :Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.



Disusun Oleh :
Rizky Rahmawati 1702030038


Kelas B


FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
SEMESTER GENAP

KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR FIQIH MU’AMALAH KONTEMPORER
A.    PENDAHULUAN
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi dengan dengan peribadi lain, maupun antar badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan, negara, dan sebagainya.
Awalnya cakupan muamalah didalam fiqh meliputi permasalahan keluarga, seperti perkawinan dan perceraian. Akan tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia Islam, khususnya di zaman Utsmani (Turki Ottoman), terjadi perkem-bangan pembangian fiqh. Cakupan bidang muamalah dipersempit, sehingga masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian muamalah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya disebut al-ahwal al-syakhshiyah (masalah peribadi). Muamalah kemudian difahami sebagai hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyangkut harta dan hak serta penyelesaian kasus di antara mereka. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa muamalah hanya mengatur permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain, atau antara seseorang dengan badan hukum, atau antara badan hukum dengan badan hukum yang lain.[1]
B.     KARAKTERISTIK MU’AMALAH DALAM ISLAM
Mu’amalah dalam islam mempunyai posisi dan peran sangat signifikan, karena ia merupakan bagian penting dari hidup dan kehidupan manusia. Mu’amalah sangat menentukan keberlangsungan hidup manusia dan kehidupan masyarakat. Mu’amalah dalam islam mempunyai beberapa karakteristik, yaitu:
1.      Fiqih mu’amalah dalam islam berlandaskan pada asas-asas dan kaidah umum. Asas tual sesuai perkembangan zaman.
2.      Hukum dasar mu’amalah adalah halal. Adanya prinsip ini islam pada memberikan peluang dan kebebasan kepada umatnya untuk berenovasi dan berkreasi dalam bermu’amalah dan mengembangkan aktivitas ekonomi.
3.      Fiqih mu’amalah dalam islam bertujuan untuk menciptakan kemslahatan. Kemaslahatan yang dicapai mu’amalah dalamislam tidak hanya kemaslahatan indvidual, akan tetapi juga kemaslahatan komunal, dan kemaslahatan sosial bersama.
4.      Fiqih mu’amalah dalam islam mencakup hal-hal yang bersifat tetap (sabat) dan marunah atau menerima perbuatan.
Lebih jauh, karakteristik mu’amalah dalam islam yang biasa disebut dengan istilah ekonomi islam antara lain sebagai berikut: 1) bersumber dari Allah, 2) mempunyai tujuan yang bersifat ketuhanan, 3) integrasi antara hal yang statis dan yang menerima perubahan, 4) moderasi antara materi dan immateri 5) moderasi antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan kolektif, 6) kontekstual dan 7) alamiah.[2]
Adapun mu’amalah dari kata ‘amala yu’amilu mu’amalatan yang berarti: beraksi, bekerja, berproduksi, namun biasanya dengan kaitan hukumnya kata “mu’amalah” disandingkan dengan kata “fiqh” yang secara bahasa berarti “pemahaman”[3]
Seperti dikemukakan bahwa fikih muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain yang sasarannya harta benda atau mal. Hubungan tersebut sangat luas karena mencakup hubungan antara sesama manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Namun ada beberapa prinsip acuan dan pedoman secara umum untuk kegiatan.[4]
Karim mengungkapkan bahwa pelaksanaan suatu akad haruslah disertai
kesiapan dan kesigapan masyarakat dalam mengimplementasikannya. Pengesahan
pada mekanisme akad harus disesuaikan dengan ketepatan waktu, yaitu ketika
masyarakat sudah memahami, menerima dan mengamalkan fatwa suatu transaksi
(Karim, 2007).[5]
Kata “mu’āmalah” bisa berarti perlakuan, prosedur, relasi sosial, kehidupan sosial, hubungan satu sama lain, interaksi sosial, sikap dan tindakan terhadap orang lain, bisnis dan transaksi.12 Dalam konteks artikel ini, “muamalah” menunjuk arti interaksi sosial, yaitu hubungan dinamis yang saling mempengaruhi satu sama lain, baik dalam hubungannya antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Proses interaksi ini menjadi suatu keniscayaan dikarenakan adanya kepentingan atau kebutuhan sesuatu, keinginan bersosialisasi dan bekerjasama dengan komunitas lain di luar dirinya. Proses Interaksi yang berlangsung dalam masyarakat tidak mungkin menunjukkan wajah tunggal. Ada dinamika, pasang surut, naik turun, damai konflik dan lain-lain. Atau, dalam istilah Soerjono Soekanto disebut proses asosiatif dan proses disosiatif.[6]
C.    KAIDAH DAN PRINSIP DASAR MUAMALAH
Kaidah fiqih muamalah adalah sebagai berikut: “Asal atau pokok dalam masalah transaksi dan muamalah adalah sah, sehingga ada dalil yang membatalkan dan yang mengharamkannya”.
Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur‟an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam. Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya.
Prinsip muamalah yang tergambar dalam undang-undang ini sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat 25 berikut ini;  Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna‟;
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa[7]
Umat islam dalam berbagai aktivitasnya harus selalu berpegang dengan norma-norma ilahiyah, begitu juga dalam mu’amalah. Kewajiban berpegang pada norma ilahiyah adalah sebagai upaya untuk melindungi hak masing-masing pihak dalam bermu’amalah. Secara singkat, prinsip-prinsip mu’amalah yang telah diatur dalam hukum islam tertuang dan terangkum dalam kaidah dan prinsip-prinsip dasar dasar mua’amalah. Kaidah paling dasar dan paling utama yang menjadi landasan kegiatan mu’amalah adalah kaidah yang sangat terkenal dan disepakati oleh ulama empat mazhab:[8]
Kata muamalah  (معاملت) secara lughowi adalah berasal dari kata a‟mila ya‟malu aa”mala (عمل - يعمل- عملا) kemudian berubah menjadi „aamala- yu‟aamilu mu‟aamalah (عامل - يعامل- معاولت) semakna dengan al-muf‟alah (saling berbuat). dan dalam bentuk jama‟ mu‟aamalat . (معاملاث) Mua‟malah dalam arti umum adalah hubungan antara manusia baik sebagai sesama atau sebagai keluarga atau sebagai pasangan suami istri. Mua‟malah yang penulis maksud adalah mua‟malah dalam term al fiqh al Islami adalah :
“Kumpulan hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan interaksi duniawi seperti jual-beli dan sewa-menyewa dan lainlainnya”.
Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan   seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Ruang lingkup fiqih muamalah adalah keseluruhan kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum- hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.[9]
Fiqh muamalah adalah ilmu tentang hukum syara yang mengatur hubungan antar manusia dengan manusia lain yang sasaranya adalah harta benda (maal). Hubungan tersebut sangat luas cakupanya, karena menyangkut hubungan antar nanusia, baik muslim maupun nonmuslim.[10]
Di atas telah dikemukakan bahwa muamalah adalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih dalam suatu transaksi. Dari pengertian ini ada dua hal yang menjadi ruang lingkup dari muamalah:
Pertama, bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini menyangkut dengan etika (adabiyah) suatu transaksi, seperti ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, adanya hak dan kewajiban masing-masing, kejujuran; atau mungkin ada penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan masyarakat. 
 Kedua, apa bentuk transaksi itu. Ini menyangkut materi (madiyah) transaksi yang dilakukan, seperti jual beli, pegang gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, perseroan harta dan jasa, sewa menyewa dan lain sebagainya.  Berdasarkan ruang lingkup di atas, maka prinsip-prinsip muamalah berada pada wilayah etika (adabiyah), yaitu bagaimana transasksi itu dilakukan.[11]
Al-Qur‟an menyatakan bahwa muamalah itu dibolehkan: Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Jumu‟ah (62): 9-10  “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum‟at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.Al-Jumu‟ah: 9-10).[12]
Keberadaan akad dapat ditelaah dengan melihat beberapa kaedah atau prinsip utama hukum muamalah dalam Islam, di antaranya: Pertama, pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali yang ditentukan selain dari Alquran dan Sunnah. Kedua, muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-unsur paksaan. Ketiga, muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam kehidupan masyarakat. Keempat, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur mengambil kesempatan dalam kesempitan[13]
Akad dalam mu’amalah, Kata „aqd mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut sehingga ada dua orang yang salaing terikat pada perjanjian itu. Dari uraian di atas ada beberapa tahap yaitu: 1) perjanjian . 2) persetujuan dua buah perjanijan atau lebih dan 3) perikatan.
Akad secara konseptual adalah hubungan atau keterikatan antara ijab dan kabul dalam diskursus yang dibenarkan secara syariat dan mempunyai suatu implikasi tertentu. Oleh karena itu akad merupakan keterikatan anatara keinginan kedua belah pihak yang dibenarkan syari‟at dan mempunyai implikasi tertentu.[14]
Karim mengungkapkan bahwa pelaksanaan suatu akad haruslah disertai
kesiapan dan kesigapan masyarakat dalam mengimplementasikannya. Pengesahan
pada mekanisme akad harus disesuaikan dengan ketepatan waktu, yaitu ketika
masyarakat sudah memahami, menerima dan mengamalkan fatwa suatu transaksi
(Karim, 2007).[15]
Prinsip yang mendasari mu’amalah sebagai system kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi Islam. Sistem Islam ini berusaha mendialektikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau etika, artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme.  Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental didalamya, sehingga akan bernilai ibadah.[16]
telah dikemukakan bahwa muamalah adalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih dalam suatu transaksi. Dari pengertian ini ada dua hal yang menjadi ruang lingkup dari muamalah3: Pertama, bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini menyangkut dengan etika (adabiyah) suatu transaksi, seperti ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, adanya hak dan kewajiban masing-masing, kejujuran; atau mungkin ada penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan masyarakat. Kedua, apa bentuk transaksi itu. Ini menyangkut materi (madiyah) transaksi yang dilakukan, seperti jual beli, pegang gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, perseroan harta dan jasa, sewa menyewa dan lain sebagainya.[17]
Agar hubungan manusia berjalan dengan baik dan optimal, maka Allah swt menentukan aturan dalam membina hubungan tersebut berupa syari’ah di bidang muamalah yang dikenal dengan fiqh muamalah, yaitu aturan-aturan Allah yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan dunia dan sosial kemasyarakatan.[18]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa esensi akad adalah pencapaian kesepakatan kedua belah pihak, di mana suatu perbuatan seseorang dianggap sebagai suatu pernyataan kehendak. Dalam akad, pernyataan kehendak dapat dilakukan berupa tindakan yang menurut kebiasaan dianggap sebagai akad. Tindakan tersebut juga dianggap sebagai pernyataan kerelaan atas suatu persyaratan dari suatu pihak. Suatu kebiasaan selama tidak melanggar syara’ adalah dibolehkan dan dapat diambil sebagai dasar hukum. Sesungguhnya hukum asal dalam bermuamalah adalah boleh dan tidak diberikan penjelasan dalam melaksanakannya, karenanya maka pelaksanaannya wajib dikembalikan kepada kebiasaan yang telah berlaku.[19]
Pemahaman Islam dalam ranah syariah meliputi ibadah dan muamalah. Ibadah dapat dikatakan sebagai hablun minallah (vertikal) dan juga disebut ibadah mahdhah dan muamalah diartikan sebagai hablun minannas (horisontal) atau ibadah ghairu mahdhah yang biasa diistilahkan dengan ibadah sosial. Muamalah ini memiliki pengertian yang luas yaitu aturan-aturan (hukum) untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.13 Meliputi urusan ekonomi, politik, hukum, pendidikan, budaya, sosial dan sebagainya yang melibatkan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Pengertian sempit ini mengartikan muamalah dalam bidang ekonomi meliputi perbankan, asuransi, leasing, koperasi dan sabagainya.[20]
Dalam suatu akad, paling tidak harus menyebutkan hal tertentu yang harus diketahui antara kedua belah pihak yang saling mengadakan perjanjian dalam suatu akad asuransi takaful. Diantaranya:39 (1). hak dan kewajiban peserta dan perusahaan, (2). cara dan waktu pembayaran premi, (3). Jenis akad tijarah atau akad tabarru’, serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diadakan. Sehingga pada saat jatuh tempo yang diperjanjikan dalam suatu akad tersebut, tidak menimbulkan sengketa dari kedua belah pihak yang saling mengikat perjanjian.[21]
Adapun prinsip-prinsip utama dalam muamalah adalah sebagai berikut
Prinsip pertama adalah Harta adalah milik Allah salah satu diantara sekian banyak anugrahNya yang diberikan kepada manusiaunt kemanfaatan dan kemaslahatan manusia
Prinsip kedua adalah : Allah memberi kewenangan kepada manusia untuk mengelola harta ( istikhlaf al maal). Sehingga ia akan mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah oleh karena itu didalam penggunaan harta dan cara mendapatkannya harus tunduk kepada ketentuanNya
Prinsip ketiga adalah : Kepemilikan harta bukan tujuan namun ia sarana untuk menikmati perhiasan dunia yang Allah berikan kepada hambaNya melalui rizki yang baik serta sarana untuk mewujudkan maslahah umum
Prinsip keempat adalah : Kebolehan mengembangkan harta dan larangan memonopoli dan menimbunnya. Prinsip tersebut menjelaskan tentang memperluas cakupan manfaat harta sehingga maslahatnya dirasakan oleh orang banyak
Prinsip kelima adalah : Pencatatan proses transaksi. Diantara upaya penjagaan dalam sebuah transaksi dari terjadinya sengketa, lupa, kehilangan dan lainnya maka syariah memerintahkan otentifikasi (tautsiq) melalui pencatatan, kesaksian, jaminan gadai guna menjaga setiap hak dari pemiliknya[22]









DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. “AKAD DERIVATIF DALAM TRANSAKSI MUAMALAH KONTEMPORER” 10, no. 2 (2013): 26.
Ananda, Prinsip-prinsip. “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH,” no. 1 (2014): 15.
Arwani, Agus. “EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH).” RELIGIA 15, no. 1 (3 Oktober 2017). https://doi.org/10.28918/religia.v15i1.126.
Badruzaman, Dudi. “Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Inplementasinya Dalam Hukum Perbankan Indonesia” 1, no. 2 (2018): 8.
Habibullah, Eka Sakti. “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM.” Ad Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 2, no. 01 (31 Maret 2018): 25. https://doi.org/10.30868/ad.v2i01.237.
Hasanah, Siti. “INOVASI MATERI DAKWAH DARI IBADAH KE MUAMALAH BAGI ORMAS ISLAM UNTUK MEREALISASIKAN MASYARAKAT INKLUSIF DI KOTA SEMARANG,” no. 2 (2014): 21.
Jamaluddin, Jamaluddin. “Konsep Dasar Muamalah & Etika Jual Beli (al-Ba’i) Perspektif Islam.” Jurnal Pemikiran Keislaman 28, no. 2 (21 Desember 2017): 289–316. https://doi.org/10.33367/tribakti.v28i2.485.
Munib, Abdul. “HUKUM ISLAM DAN MUAMALAH (Asas-asas hukum Islam dalam bidang muamalah).” . . Vol. 5 (t.t.): 9.
Mustofa, Imam. FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER. II. DEPOK: RAJAGRAFINDO PERSADA, 20016.
Nafih, Moh. “(Kajian Reflektif Perspektif Fikih Muamalah),” 2013, 21.
Noorhidayati, Salamah. “PARADIGMA ANTROPOSENTRIS DALAM MEMAHAMI HADIS-HADIS MUAMALAH.” Jurnal THEOLOGIA 28, no. 1 (14 September 2017): 103. https://doi.org/10.21580/teo.2017.28.1.1295.
Nurfaizal, Prinsip-Prinsip. “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DAN INPLEMENTASINYA DALAM HUKUM PERBANKAN INDONESIA,” no. 1 (2013): 14.
Nurhasanah, Neneng. “OPTIMALISASI PERAN MUDHARABAH SEBAGAI SALAH SATU AKAD KERJASAMA DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI SYARI’AH,” no. 3 (t.t.): 12.
Saprida, Saprida. “TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN UPAH DI DESA PRAMBATAN KECAMATAN ABAB KABUPATEN PALI.” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 5, no. 1 (5 Mei 2018). https://doi.org/10.15408/sjsbs.v5i1.7904.
Suganda, Asep Dadan. “ANALISIS TEORI BAI’ TAWARRUQ DALAM MUAMALAH MALIYAH.” ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam 6, no. 1 (10 November 2016). https://doi.org/10.32678/ijei.v6i1.6.
Zubair, Muhammad Kamal. “Signifikansi Modifikasi Akad dalam Transaksi Muamalah.” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, no. 2 (1 Desember 2010): 245. https://doi.org/10.18326/muqtasid.v1i2.245-257.






[1] Prinsip-Prinsip Nurfaizal, “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DAN INPLEMENTASINYA DALAM HUKUM PERBANKAN INDONESIA,” no. 1 (2013): 192–93.
[2] Imam Mustofa, FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER, II (DEPOK: RAJAGRAFINDO PERSADA, 20016), 8–9.
[3] Agus Arwani, “EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH),” RELIGIA 15, no. 1 (3 Oktober 2017): 128, https://doi.org/10.28918/religia.v15i1.126.
[4] Saprida Saprida, “TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN UPAH DI DESA PRAMBATAN KECAMATAN ABAB KABUPATEN PALI,” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 5, no. 1 (5 Mei 2018): 44, https://doi.org/10.15408/sjsbs.v5i1.7904.
[5] Asep Dadan Suganda, “ANALISIS TEORI BAI’ TAWARRUQ DALAM MUAMALAH MALIYAH,” ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam 6, no. 1 (10 November 2016): 8, https://doi.org/10.32678/ijei.v6i1.6.
[6] Salamah Noorhidayati, “PARADIGMA ANTROPOSENTRIS DALAM MEMAHAMI HADIS-HADIS MUAMALAH,” Jurnal THEOLOGIA 28, no. 1 (14 September 2017): 108, https://doi.org/10.21580/teo.2017.28.1.1295.
[7] Prinsip-prinsip Ananda, “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH,” no. 1 (2014): 178–79.
[8] Mustofa, FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER, 9.
[9] Eka Sakti Habibullah, “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM,” Ad Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 2, no. 01 (31 Maret 2018): 29–30, https://doi.org/10.30868/ad.v2i01.237.
[10] Jamaluddin Jamaluddin, “Konsep Dasar Muamalah & Etika Jual Beli (al-Ba’i) Perspektif Islam,” Jurnal Pemikiran Keislaman 28, no. 2 (21 Desember 2017): 293, https://doi.org/10.33367/tribakti.v28i2.485.
[11] Nurfaizal, “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DAN INPLEMENTASINYA DALAM HUKUM PERBANKAN INDONESIA,” 194.
[12] Jamaluddin, “Konsep Dasar Muamalah & Etika Jual Beli (al-Ba’i) Perspektif Islam,” 174.
[13] Muhammad Kamal Zubair, “Signifikansi Modifikasi Akad dalam Transaksi Muamalah,” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, no. 2 (1 Desember 2010): 254, https://doi.org/10.18326/muqtasid.v1i2.245-257.

[14] Zainal Abidin, “AKAD DERIVATIF DALAM TRANSAKSI MUAMALAH KONTEMPORER” 10, no. 2 (2013): 341.
[15] Suganda, “ANALISIS TEORI BAI’ TAWARRUQ DALAM MUAMALAH MALIYAH,” 8.
[16] Abdul Munib, “HUKUM ISLAM DAN MUAMALAH (Asas-asas hukum Islam dalam bidang muamalah),” . . Vol. 5 (t.t.): 76.
[17] Dudi Badruzaman, “Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Inplementasinya Dalam Hukum Perbankan Indonesia” 1, no. 2 (2018): 110.
[18] Neneng Nurhasanah, “OPTIMALISASI PERAN MUDHARABAH SEBAGAI SALAH SATU AKAD KERJASAMA DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI SYARI’AH,” no. 3 (t.t.): 286.
[19] Muhammad Kamal Zubair, “Signifikansi Modifikasi Akad dalam Transaksi Muamalah,” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, no. 2 (1 Desember 2010): 255, https://doi.org/10.18326/muqtasid.v1i2.245-257.
[20] Siti Hasanah, “INOVASI MATERI DAKWAH DARI IBADAH KE MUAMALAH BAGI ORMAS ISLAM UNTUK MEREALISASIKAN MASYARAKAT INKLUSIF DI KOTA SEMARANG,” no. 2 (2014): 322–23.
[21] Moh Nafih, “(Kajian Reflektif Perspektif Fikih Muamalah),” 2013, 142.
[22] Habibullah, “PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM,” 36–40.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "MAKALAH KONSEP DAN PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel