RIBA, GHARAR, MAYSIR, RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI PERBEDAAN MANAJEMEN BISNIS SYARIAH DAN KONVENSIONAL



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riba
1.      Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian:
a.    Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange.
b.    Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.
Diantara akad jual beli yang dilarang dengan pelarangan yang keras antara lain adalah riba. Riba secara bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian. Sedangkan menurut terminologi syara’, riba berarti : “akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.”[1]
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.” (Q.S. An Nisa: 29)

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ   bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279).
2.      Hukum Riba
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah.[2]
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
Artinya: “dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS. Ar Ruum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279).
3.      Jenis-Jenis Riba
a.       Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kualitas berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Contoh : tukar menukar emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan  beras dan sebagainya.
b.      Riba Yadd, yaitu berpisah dari tempat sebelum ditimbang dan diterima, maksudnya : orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelum ia menerima barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
c.       Riba Nasi’ah  yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh: Aminah meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apa ila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan mbelambatkan pembayaran satu tahun.
d.      Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami atau yang memberi hutang.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.[3
4.      Dampak Negatif Riba
a.       Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
b.      Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima percent? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
B.     Gharar
1.      Pengertian Gharar
Gharar menurut bahasa adalah khida’ ; penipuan. Dari segi terminologi : penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Sedangkan definisi menurut beberapa ulama:
a.       Imam Syafi’i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak dikehendaki, pen).
b.       Wahbah al-Zuhaili; penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c.        Ibnu Qayyim; yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar.
Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin keadilan.
Gharar adalah suatu kegiatan bisnis yang tidak jelas kuantitas, kualitas, harga dan waktu terjadinya transaksi tidak jelas. Aktivitas bisnis yang mengandung gharar adalah bisnis yang mengandung risiko tinggi, atau transaksi yang dilakukan dalam bisnis tak pasti atau kepastian usaha ini sangat kecil dan risikonya cukup besar.
2.      Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi. “Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.”[4]
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ  
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188).
Dalam ayat lain juga dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini.[5]
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah, yaitu sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)
Sedangkan jual-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.
3.      Pentingnya mengenal kaedah Gharar
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar merupakan asas penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung.”
4.      Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
a.     Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).
b.    Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan harga seribu ringgit,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “Aku jual keretaku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh ribu”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
c.     Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli kereta yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.

Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum(belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.”

C.    Maysir
1.      Pengertian Maysir
Kata Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata “azlam” yang berarti perjudian.
Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk pemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
a.     Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
b.      Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah
c.      Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya

Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam mahupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya mencuba-cuba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.
2.      Hukum Al-Maysir
Al-Quran secara terang-terangnya mengutuk perlakuan tersebut. Oleh yang demikian, niat tidak menghalalkan cara yang mana berjudi untuk membantu orang yang memerlukan adalah tidak membawa kepada alasan yang kukuh untuk menerima ganjaran daripada perjudian (maisir). Perbedaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh itu ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi Goodman (1995): Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam beberapa tahun dilihat melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika terutamanya kecenderungan perkembangan mengendalikan nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.
(Perjudian) Al-maysir terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’. Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala yaitu sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Ma’idah: 90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih al-Bukhari, “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya.Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif).
Contoh Maysirnya ketika sejumlah orang masing-masing membeli kupon Togel dengan “harga” tertentu dengan menembak empat angka. (Ini sebenarnya tindakan mengumpulkan wang taruhan). Lalu diadakan undian-dengan cara tertentu-untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka, ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi bagian aktivitas judi. Di dalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang kalah di mana yang menang mengambil materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tak diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis.

D.    Jual Beli
1.      Pengertian Jual beli
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I  yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.[6]
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama. Sebagian ulama lain memberi pengertian:

a.       Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b.      Ulama hanafiyah      
      Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
c.       Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.[7]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain:
a.      Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b.     Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c.      Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
d.     Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
2.      Dasar hukum jual beli
            Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah saw, yang berbicara tentang jual beli, antara lain:
a.       Al-Quran
1)      Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
2)      Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
3)      Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
b.      Sunah Rasulullah saw
1)      Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah sawa, menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim).
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkah dari Allah SWT.
2)      Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
3)      Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda: “Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.
3.      Hukum jual beli
Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh).Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.

E.     Rukun Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dpat dikatakan sah oleh syara’.Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan  qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.
Adapun Rukun Jual Beli  yaitu sebagai berikut:
1.      Ada penjual dan ada pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauannya sendiri, dewasa dan tidak mubadzir (tidak boros)
2.      Ada barang atau jasa yang diperjual belikandan barang penukar seperti uang, dinar, emas, dirham perak dan barang atau jasa.
3.      Ada ijab qobul, yaitu ucapan transaksi antara penjual dan pembeli.
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1.      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2.      Ada sighat (lafal ijab qabul).
3.      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4.      Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

F.     Syarat Jual Beli
Dalam syariat islam jual beli mempunyai beberapa persyaratan dan ketentuan-ketentuan tersendiri yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli. Sahnya suatu jual beli ada dua unsur pokok yaitu bagi yang berakad dan barang yang diakadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tiddakk sah jual belinya.[8]Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut:

1.      Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
a.       Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
b.      Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
c.       Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
2.      Syarat yang terkait dalam ijab qabul
a.       Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b.      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
c.       Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.
3.      Syarat-syarat barang yang diperjual belikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:
a.       Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
b.      Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
c.       Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
d.      Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
e.       Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
f.       Boleh diserahkan saat akad berlangsung .
4.      Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r.Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai).Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu :
a.       Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
c.       Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.
5.      Macam-macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a.       Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)      Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2)      Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3)      Jual beli benda yang tidak ada,  Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b.      Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)      Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2)      Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3)      Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c.       Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)      Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)      Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
·         Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
·         Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
·         Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
·         Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
·         Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
·         Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
1)      Jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
2)      Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
3)      Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
4)      Jual beli barang rampasan atau curian.
5)      Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
6.      Manfaat dan Hikmah Jual Beli
a.       Manfaat jual beli :
Manfaat jual beli banyak sekali, antara lain :
1)      Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2)      Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
3)      Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhls dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
4)      Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
5)      Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
6)      Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
7)      Hikmah jual beli
b.      Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

G.    Perbedaan Manajemen Bisnis Syariah dan Konvensional
1.      Manajemen Bisnis Syariah
Suatu manajemen bisnis akan berjalan baik dan sesuai dengan rencana apabila orang didalam menajemen itu berlaku danmenjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan dan masing-masing tugasnya. Dan didalamnya juga harus memiliki akhlak yang baik karena akhlak yang baik berdampak pada pekerjaan bisnis yang dijalankan seperti itulah hal yang harus ada pada manajemen bisnis syariah akhlak dan ekonomi harus memiliki keterkaitan.
Akhlak yang baik menurut agama islam mengandung tiga komponen atau tiga landasan pokok yang harus dimiliki untuk menjalankan manajemen bisnis yang berdasarkan syariah:
a.       Aqidah dan Iman
Dalam menjalankan bisnis yang syariah seseorang harus memiliki aqidah yang baik dan benar sesuai dengan perintah Allah. Dan orang tersebut juga harus memiliki iman atau percaya kepada Allah bahwa Allah yang selalu memberikan yang terbaik kepada dirinya dan Allah juga selalu melihat apa yang kita kerjakan, maka dari itu dalam bisnis syariah kejujuran juga diutamakan.
b.      Syariah
Syariah dibutuhkan juga sebagai landasanpokok karena seorang pembisnis yang sukses juga harus memiliki syariah atau tau mengenai syariah islam yang baik dan benar. Maka disiniseorang pembisnis dalam manajemen syariah bukan hanya harus menguasai ilmu ekonomi tetapi juga ilmu agama.
c.       Akhlak
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada umatnya berbisnis dengan jujur, sabar dan tidak seenaknya kepada para pesuruh atau pegawai. Maka dari itu mengapa landasan dasar manajemen bisnis syariah adalah akhlak karena dalam bisnis syariah kita harus meneladani akhlak-akhlak nabi dalam berbisnis.
Ketiga landasan manajemen bisnis syariah diatas semoga dapat menjadi landasan kita dalam menjalankan atau mencari nafka dalam dunia bisnis.

Sebelum mengenal lebih jauh apa itu manajemen syariah maka yang harus kita ketahui terlebih dahulu adalah apa arti dari manajemen syariah itu sendiri, manajemen syariah adalah suatu pengelolaan untuk memperoleh hasil optimal yang bermuara pada pencarian keridhaan Allah. Oleh sebab itu maka segala sesuatu langkah yang diambil dalam menjalankan manajemen tersebut harus berdasarkan aturan-aturan Allah. Atura-aturan itu tertuang dalam Al-Quran, Al-Hadist dan beberapa contoh yang dilakukan oleh para sahabat.
Dari definisi yang dipaparkan maka dapat kita ketahui bahwa ruang lingkup manajemen syariah sangatlah luas, antar lain yaitu mencakup tentang pemasaran, produksi, mutu, keuangan, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan masih banyak hal lagi yang belum tersebutkan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya. Selain itu, prinsip investasi syariah juga harus dilakukan tanpa paksaan (ridha), adil dan transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk bebas manipulasi dan spekulasi.
Seperti halnya manajemen konvensional, dalam manajemen syariah juga menerapkan empat fungsi standar seperti yang dipaparkan oleh G.R Terry, diantaranya yaitu :
1.      Perencanaan (planning)
Planning merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan pendefinisian sasaran untuk kinerja badan usaha/organisasi dimasa depan dan untuk memutuskan tugas-tugas dan sumber daya yang digunakan dan dibutuhkan untuk mencapai sasran tersebut.
2.      Pengorganisaisan (organizing)
Organizing merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan suatu proses untuk merancang atau mengelompokkan dan mengatur serta membagi tugas atau pekerjaan diantara para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dengan efisien.
3.      Pengarahan (actuating)
Actuating merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan bagaimana menggunakan pengaruh memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi.
4.      Pengawasan (controlling)
Controlling merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan proses kegiatan pemantauan untuk menyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk megkoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian.

Selain memiliki empat fungsi standar, manajemen syariah juga memiliki beberapa prinsip. Prinsip tersebut didasarkan pada UU No.10 tahun 1998 tentang syariah, didalam UU tersebut menerangkan bahwa syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan prinsip syariah, antara lain :
a.       Pembiayaan prinsip bagi hasil (mudharabah)
b.      Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah)
c.       Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah)
d.      Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah)
e.       Pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina).

2.      Manajemen Konvensional
Harold Koontz dan Cyrill O’Donnel mengartikan manajemen sebagai usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penempatan, pengarahan, dan pengendalian.
Menurutnya G.R. Terry manajemen adalah suatu proses khusus yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya.
Drs. H. Malayu S.P.Hasibuan, menurutnya Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Follet dalam Stoner dan Wankel (1986), menyebutkan bahwa manajemen adalah seni untuk melakukan sesuatu melalui orang lain.[9]
Dari beberapa definisi diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.       Manajemen mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
b.      Manajemen merupakan proses yang sistematis, terkoordinasi, koperatif,dan terintegrasi dalam memanfaatkan unsur-unsurnya.
c.       Manajemen harus didasarkan pada pembagian kerja, tugas, dan tanggung jawab.
d.      Manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dengan seni.

3.      Perbedaan Antara Manajemen Konvensional dan Syariah
Semua orang telah mengetahui bahwa prinsip-prinsip ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya selalu mengagungkan perolehan hasil sebesar-besarnya dengan kerja sekecil-kecilnya, prinsip konvensional ini berkembang pesat didunia barat . Islam tidak menentang prinsip konvensional ini bahkan mendorong prinsip itu. Masalahnya adalah manajemen syariah hanya menambahkan batasan dalam penerapan prinsip konvensional agar tidak hanya ditujukan untuk memperoleh hasil didunia saja melainkan harus dibarengi dengan perolehan hasil di akhirat.
Untuk memahami manajemen syariah ini harus terlebih dahulu mengetahui pandangan Islam tentang harta dan dasar-dasar sistem ekonominya. Diterangkan dalam Al-Quran bahwa harta adalah sebuah obyek yang digunakan menguji manusia dan harta juga sebuah sarana untuk melaksanakan taqwa. Selain itu diperingatkan pula bahwa harta dapat membawa mala petaka manusia di akherat nanti bila salah menyikapinya. Ada dua pandangan Islam dalam melihat harta; sebagai suatu hak atau kepemilikan sesama manusia, Islam sangat menghargainya sedang dalam hubungan manusia terhadap tuhannya, manusia tidak mempunyai hak sama sekali.
Bertolak dari dasar-dasar tersebut diatas maka semua yang dilakukan dalam manajemen syariah yang dititik beratkan pada bidang ekonomi tidak akan lepas dari kehati-hatian dalam menyikapi harta. Maka penerapan manajemen syariah secara utuh tidak akan membuat orang saling menindas dalam menjalankan roda perekonomian. Semua orang akan merasa diuntungkan karenanya.
Semua orang telah mengetahui bahwa prinsip-prinsip ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya selalu mengagungkan perolehan hasil sebesar-besarnya dengan kerja sekecil-kecilya. Prinsip konvensional ini berkembang pesat di dunia barat. Islam tidak menentang prinsip konvensional ini bahkan mendorong prinsip itu. Masalahnya adalah manajemen syariah hanya menambahkan rambu-rambu penerapan prinsip konvensional agar tidak hanya ditujukan untuk memperoleh hasil di dunia saja melainkan harus dibarengi dengan perolehan hasil di akherat. Adanya rambu-rambu ini diharapkan para pelaku ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya mempunyai rem yang cukup pakem untuk tidak merugikan orang lain.
Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara manajemen syariah (islam) dengan manajemen modern. Keduanya berbeda dalam hal tujuan, bentuk aturan teknis, penyebarluasan dan disiplin keilmuannya. Disamping itu, pengembangan pemikiran modern oleh Negara barat telah berlangsung sangat dinamis.  Di satu sisi, masyarakat muslim belum optimal dalam mengembangkam kristalisasi pemikiran manajemen syariah dari penggalan sejarah (turats) yang otentik, baik dari segi teori maupun praktik. Padahal Rasulallah telah bersabda bahwa: “Telah aku tinggalkan atas kalian semua satu perkara, jikakalian berpegang teguh atasnya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya setelah ku, yaitu kitab allaah (alqur’an) dan sunnah ku(Hadis).” Perbandingan antara manajemen syariah dan manajemen konvensional antara lain:[10]
SYARIAH
KONVENSIONAL
VISI
Iman
Ideologi Komersil
MISI
Amal/Ibadah
Profesionalisme Dalam Produksi
METODOLOGI
Syariah
Common Management Practice

Terdapat 3 jenis proses bisnis secara syari’ah dan secara konvensional, yaitu:
1.      Proses manajemen, yakni proses yang mengendalikan operasional dari sebuah sistem. Contohnya: Manajemen Strategis.
a.       Syari’ah
Pertama, manajemen ini mementingkan perilaku yang terkait denga nilai-nilai keimanan dan ketauhidan.
Kedua, manajemen syariah pun mementingkan adanya struktur organisasi. Ini bisa dilihat pada surat Al An'aam: 65, "Allah meninggikan seseorang di atas orang lain beberapa derajat". Ini menjelaskan bahwa dalam mengatur dunia, peranan manusi tidak akan sama.
Ketiga, manajemen syariah membahas soal sistem. Sistem ini disusun agar perilaku pelaku di dalamnya berjalan dengan baik.
b.      Konvensional
Di dalam manajemen ini, manajer di saat menghadapi masalah memecahkannya berdasarkan kepada tindakan-tindakannya yang terdahulu atau dengan kata lain didasarkan pada masa lalu.
Proses Operasional yakni proses yang meliputi bisnis inti dan menciptakan aliran nilai utama. Contohnya proses pembelian, manufaktur, pengiklanan dan pemasaran, dan penjualan.[11]

1.        Syari’ah, didalam proses operasional ini, proses secara syari’ah dibagi menjadi 5 macam, yaitu:
a.       Mudharabah (perkongsian untung) ialah pengaturan atau perjanjian di antara pemberi modal dan pengusaha projek di mana pengusaha projek boleh menggunakan dana bagi menjalankan aktiviti perniagaan beliau. Sebarang keuntungan yang diperoleh akan dibahagi di antara pemberi modal dan pengusaha projek tersebut mengikut nisbah yang telah dipersetujui sementara kerugian akan ditanggung seluruhnya oleh pemberi modal.
b.      Musyarakah (usaha sama) merupakan konsep perbankan Islam yang biasanya diguna pakai bagi perniagaan perkongsian atau perniagaan usaha sama untuk sesuatu perusahaan perniagaan. Keuntungan yang diperoleh akan dikongsi bersama berdasarkan nisbah yang telah dipersetujui manakala kerugian akan ditanggung berdasarkan nisbah sumbangan modal.
c.       Murabahah ((kos tokok) (bahasa Arab: مرابحه) ditakrifkan sebagai penjualan barangan, yang tidak melanggar syariah, pada harga yang termasuk margin keuntungan yang dipersetujui oleh kedua-dua penjual dan pembeli. Antara syarat adalalah harga belian dan jualan, kos-kos lain serta margin keuntungan hendaklah dinyatakan dengan jelas semasa perjanjian jualan dilaksanakan.
d.      Ijarah (pure leasing) adalah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil kesempatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama. Sebagai contoh adalah pembiayaan mobil, pelanggan akan memasuki kontrak pertama dan memberikan harga sewa mobil tersebut pada kadar sewa yang telah dipersetujui untuk suatu tempo tertentu. Pada akhir tempo pembayaran, kontrak kedua akan dikuatkuasakan bagi pelanggan untuk membeli kendaraan tersebut pada harga yang telah dipersetujui.
e.       Wadiah adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.[12]
2.        Konvensional
a.       Penciptaan kredit
b.      Fungsi giral
c.       Penanaman dan penagihan
d.      Akumulasi tabungan dan investasi
e.       Jasa-jasa trust
f.       Jasa-jasa lain
g.      Perolehan laba untuk imbalan para pemegang saham
h.      Proses pendukung, yaitu yang mendukung proses inti. Contohnya semisal akunting, rekruitmen, dan pusat bantuan.
Tidak ada perbedaan proses pendukung antara bank syariah dan bank Non syariah (konvensional), karena baik bank syariah dan bank konvensional sama-sama membutuhkan akunting, rekruitmen, dan pusat bantuan.
Berikut ini table tentang perbedaaan yang mendasari perbedaan prosess bisnis syariah dan konvensional.
No
Proses Bisnis Syariah
No
Proses Bisnis Konvensional
1.
Kegiatan Ekonomi diorientasikan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat
1.
Motovasi dalam kegiatan berbisnis didasari oleh keinginan dunia tanpa memperhatikan akhirat
2.
Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram (Modal, Proses,dll)
2.
Tidak Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis Yang Halal dan Haram (Modal,Proses,dll)
3.
Benar secara Syar'i dalam Implementasi
3.
Proses pemasaran bisnis konvensional menghalalkan segala cara
4.
Proses Bisnis Syariah selalu didahului akad/perjanjian
4.
Proses Konvensional Tidak Selalu didahului akad/perjanjian dalam pelaksanaanya

Syariah Islam telah mengatur dan membimbing manusia diseluruh aspek kehidupan. Dengan tuntunan syariah inilah manusia bisa mencapai al-falaah (kesuksesan, keberhasilan, dan kemenangan) dan hayatan thayiban (kehidupan yang baik, maslahat dan sejahtera). Syariah memang sangat patut dijadikan landasan untuk mencari solusi dalam tantangan berusaha dalam era globalisasi ini. Tujuan islam adalah kemaslahatan pada setiap zaman dan tempat, yang membawa pada keselamatan dan kontinuitas berusaha dengan segala tantangannya, baik bagi bisnis itu sendiri maupun lingkungan bisnis dan masyarakat dimana bisnis itu berjalan.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti perjudian.
Maksud al-Gharar ialah “Ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah ialah: “Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”. Menurut Ibn Rush maksud al-Gharar ialah: “Kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada kewujudkan barang, kuantiti dan maklumat yang lengkap berhubung dengan harga. Ia turut berkait dengan masa untuk diserahkan barang terutamanya ketika wang sudah dibayar tetapi masa untuk diserahkan barang tidak diketahui”. Ibn Taimiyah menyatakan al-Gharar ialah: “Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapat”.
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. 
Perbedaan utama antara pemasaran syariah dan pemasaran konvensional terlatak pada nilai-nilai yang dianut oleh marketer, Marketer konvensional lebih mengutamakan target dan keuntungan besar bagi perusahaan sedang marketer syariah tidak hanya keuntungan yang dikejar tetapi juga nilai kejujuran dan keadilan juga diutamakan karena marketer syariah tidak hanya bertanggung jawab pada perusahaan dan pelanggan tetapi juga bertanggung jawab pada ALLAH SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fqih Muamalat System Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010)

Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008)

Achsin, Inggi H. Konsep Praktik Manajemen Portofolio Syariah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2003)

Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008)

Nasution, Nustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2010)

Sofyan, Riyanto. Bisnis Syariah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka  Utama, 2011)

Suhendi Hendi,  Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997)

Sule, dkk, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, Edisi Pertama,  2010)

Sunarto, Achmad. Fat-hul qarib. (Surabaya: Al-Hidayah, 1991)

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta:Kencana Prenamedia Group, 2014)




[1] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fqih Muamalat System Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 215
[2] Ibid,hlm.225
[3] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta:Kencana Prenamedia Group, 2014), hlm.171
[4] Sule, dkk, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, Edisi Pertama,  2010),hlm.19
[5] Ibid,hlm.23
[6] Suhendi Hendi,  Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.
[7] Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 35
[8] Sunarto, Achmad. Fat-hul qarib. (Surabaya: Al-Hidayah, 1991), hlm.71
[9] Sofyan, Riyanto. Bisnis Syariah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka  Utama, 2011).hal.33
[10] Achsin, Inggi H. Konsep Praktik Manajemen Portofolio Syariah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2003),hlm.27
[11] Nasution, Nustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2010),hlm,87
[12] Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),hlm,56

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "RIBA, GHARAR, MAYSIR, RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI PERBEDAAN MANAJEMEN BISNIS SYARIAH DAN KONVENSIONAL"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel