MAKALAH PSIKOLOGI SOSIAL ISLAM PENGUKURAN DAN PERSEPSI


MAKALAH

PSIKOLOGI SOSIAL ISLAM
PENGUKURAN DAN PERSEPSI






DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL........................................................................................        i
KATA PENGANTAR.....................................................................................       ii
DAFTAR ISI....................................................................................................      iii

BAB I  PENDAHULUAN...............................................................................       1
A.    Latar Belakang.................................................................................       1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................       1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................       2
A.    Pengertian Persepsi Sosial................................................................       2
B.     Pengukuran Psikologi Sosail.............................................................     12

BAB III PENUTUP.........................................................................................     16
A.    Kesimpulan.......................................................................................     16

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................     17




BAB I
PENDAAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam upaya untuk lebih memahami psikologi sosial secara komprehensif, maka perlu dikemukakan beberapa pengertian psikologi sosial. Baron dan Byrne (2004) mengemukakan bahwa psikologi sosial adalah cabang psikologi yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan cara berfikir, berperasaan, dan berperilaku individu yang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain itu dapat dirasakan secara langsung, di imajinasikan, ataupun diimplikasikan.
Sebagaimana ilmu-ilmu lain, psikologi sosial mempelajari tingkah laku manusia dalam situasi sosial. Perbedaannya, psikologi sosial merupakan ilmu pengetahuan yang masih muda dibandingkan ilmu-ilmu sosial lainnya. Psikologi sosial baru tumbuh sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri pada sekitar tahun 1900. Oleh karena itu, David Krech dan Richard S. Crutchfield (1948) menyebutkan dengan istilah “infant science” yang didalam praktik mencakup kehidupan sebagai individu ataupun anggota kelompok atau masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud psikologi sosial?
2.      Maksud dari persepsi?
3.      Apa yang di ukur dalam pengukuran psikologi?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Persepsi Sosial
Persepsi adalah proses membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat dalam lapangan penginderaan seseorang. Penilaian atau pembentukan kesan ini adalah dalam upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut (Harvey & Smith; Wrigthsman & Deaux).[1]
Ada dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu:
1.      Persepsi sosial berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan, seseorang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas.
  1. Persepsi sosial adalah sebuah proses yang kompleks. Orang mengamati perilaku orang lain dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan behaviour.
Dalam psikologi, persepsi secara umum merupakan proses pemerolehan, penafsiran, pemiliihan dan pengaturan informasi indrawi. Persepsi sosial dapat diartikan sebagai proses perolehan, penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain. Apa yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih dan diatur adalah informasi indrawi dari lingkungan sosial yang terfokus pada orang.[2] Teori-teori dan penelitian sosial berurusan dengan kodrat, penyebab-penyebab dan konsekuensi dari persepsi terhadap satuan-satuan sosial, seperti diri sendiri, individu lain, kategori-kategori sosial dan kumpulan atau kelompok tentang seseorang tergabung atau kelompok lainnya. Persepsi sosial juga merujuk pada bagaimana orang mengerti dan mengategorisasikan dunia.Seperti persepsi lainnya, persepsi sosial merupakan sebuah konstruksisebagai hasil konstruksi, pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari persepsi social tidak selalu sesuai dengan kenyataan.Isi dari persepsi sosial bisa berupa apa saja. Atribut-atribut individual dapat mencakup kepribadian, sifat-sifat, disposisi tingkah laku, karakteristik fisik, dan kemampuan menilai.Atribut-atribut kelompok dapat mencakup property-properti seperti ukuran, kelekatan, sifat-sifat budaya, pola stratifikasi, pola-pola jaringan, legitimasi, dan unsur-unsur sejarah.Akan tetapi, ruang lingkup persepsi sosial biasanya ditekankan pada sisi mikro, terarah kepada penyimpulan individual berkaitan dengan karakteristiknya sendiri atau karakteristik individu lainnya.[3]
1.      Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Sosial
Factor penerima (the perceiver)Tidak dapat disangkal bahwa pemahaman suatu proses kognitif akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seorang pengamat. Diantaranya adalah konsep diri, nilai, sikap, pengalaman masa lalu dan harapan-harapan yang terdapat dalam dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri tinggi akan cenderung melihat orang lain dari sudut tinjauan yang bersifat positif dan optimistic. Orang yang memegang nilai dan sikap otoritarian tentu akan memiliki persepsi social yang berbeda dengan orang yang memegang nilai dan sikap liberal. Pengalaman di masa lalu sebagai bagian dasar informasi juga menetukan pembentukan persepsi seseorang. Demikian pula harapan-harapan sering memberi semacam kerangka dalam diri seseorang untuk melakukan penilaian terhadap orang lain.
Factor situasi (the situation)Pengaruh factor situasi dalam proses persepsi social dapat dibagi menjadi tiga yaitu seleksi, kesamaan dan organisasi. Secara alamiah sesorang akan lebih memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang dianggap lebih disukai daripada obyek-obyek yang tidak disukai. Hal ini sering disebut dengan seleksi informasi tentang keberadaan suatu obyek baik fisik maupun social.Yang kedua, kesamaan. Kesamaan adalah kecenderungan dalam proses persepsi sosila untuk mengklasifikasikan orang-orang ke dalam suatu kategori yang kurang lebih sama. Pada konteks relasi social dengan orang lain seringkali individu mengelompokkan orang lain ke dalam stereotype tertentu seperti berdasar pada latar belakang jenis kelamin, status social dan etnik.
Kemudian unsur ketiga dalam factor social adalah organisasi perseptual. Dalam proses persepsi social, individu cenderung untuk memahami orang lain sebagai obyek persepsi ke dalam system yang bersifat logis, teratur dan runtut. Pemahaman sistematik semacam itu biasa disebut dengan organisasi perseptual. Apabila sesorang menerima informasi maka ia mencoba untuk menyesuaikan informasi itu ke dalam pola-pola yang telah ada.
Pada suatu situasi (tempat suatu stimulus yang muncul), memiliki konsekuensi bagi terjadinya interpretasi-interpretasi yang berbeda.Interpretasi itu menunjukkan hubungan diantara manusia dengan dunia stimulus. Cara individu mendefinisikan suatu situasi memiliki konsekuensi terhadap dirinya sendiri maupun terhadap perilaku orang lain. Misalnya sebuah universitas sebagi sebuah institusi akan dapat diinterpretasi secara berbeda oleh mahasiswa, dosen, sopir angkot, pegawai dan penjaja makanan.
Factor penerima ( the perceiver). Tidak dapat disangkal bahwa pemahaman suatu proses kognitif akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seorang pengamat. Diantaranya adalah konsep diri, nilai, sikap, pengalaman masa lalu dan harapan-harapan yang terdapat dalam dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri tinggi akan cenderung melihat orang lain dari sudut tinjauan yang bersifat positif dan optimistic. Orang yang memegang nilai dan sikap otoritarian tentu akan memiliki persepsi social yang berbeda dengan orang yang memegang nilai dan sikap liberal. Pengalaman di masa lalu sebagai bagian dasar informasi juga menetukan pembentukan persepsi seseorang. Demikian pula harapan-harapan sering memberi semacam kerangka dalam diri seseorang untuk melakukan penilaian orang lain. Factor situasi (the situation)
Pengaruh factor situasi dalam proses persepsi social dapat dibagi menjadi tiga yaitu seleksi, kesamaan dan organisasi. Secara alamiah sesorang akan lebih memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang dianggap lebih disukai daripada obyek-obyek yang tidak disukai. Hal ini sering disebut dengan seleksi informasi tentang keberadaan suatu obyek baik fisik maupun social.Yang kedua, kesamaan. Kesamaan adalah kecenderungan dalam proses persepsi sosila untuk mengklasifikasikan orang-orang ke dalam suatu kategori yang kurang lebih sama. Pada konteks relasi social dengan orang lain seringkali individu mengelompokkan orang lain ke dalam stereotype tertentu seperti berdasar pada latar belakang jenis kelamin, status social dan etnik. Kemudian unsur ketiga dalam factor social adalah organisasi perseptual. Dalam proses persepsi social, individu cenderung untuk memahami orang lain sebagai obyek persepsi ke dalam system yang bersifat logis, teratur dan runtut. Pemahaman sistematik semacam itu biasa disebut dengan organisasi perseptual. Apabila sesorang menerima informasi maka ia mencoba untuk menyesuaikan informasi itu ke dalam pola-pola yang telah ada.
Pada suatu situasi (tempat suatu stimulus yang muncul), memiliki konsekuensi bagi terjadinya interpretasi-interpretasi yang berbeda.Interpretasi itu menunjukkan hubungan diantara manusia dengan dunia stimulus. Cara individu mendefinisikan suatu situasi memiliki konsekuensi terhadap dirinya sendiri maupun terhadap perilaku orang lain. Misalnya sebuah universitas sebagi sebuah institusi akan dapat diinterpretasi secara berbeda oleh mahasiswa, dosen, sopir angkot, pegawai dan penjaja makanan.

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh pengindraan. Pengindraan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indra. Namun proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi.[4] Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses pengindraan, dan proses pengindraan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses pengindraan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indra. Alat indra merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964; Woodworth dan Marquis, 1957). Dengan proses persepsi ini kemudian kita dapat membedakan sesuatu kepada dua kategori, baik-buruk, cantik-jelek, tinggi-rendah dan lain sebagainya.
Selain melalui proses penginderaan, persepsi juga dapat terjadi oleh adanya komunikasi nonverbal. Contohnya, ketika seorang anak sekolah dijemput dengan mobil mewah setiap hari kemudian hal ini terlihat oleh temannya, pasti temannya tersebut berpikir bahwa anak tadi berasal dari keluarga yang kaya. Proses penginderaan terjadi oleh mata, yaitu bahwa teman-temannya tadi melihat suatu peristiwa. Tanpa ada komunikasi verbal bahwa ada yang memberitahu bahwa anak tadi adalah orang kaya, dengan sendirinya anak-anak yang lain tadi menafsirkan dari apa yang telah mereka lihat.

3.      Proses Generalisasi
Proses generalisasi adalah mendeskripsikan kepribadian seseorang dalam bentuk kata-kata (verbal). Setiap kata atau frasa yang digunakan dalam mendeskripsikan seseoarang atau sesuatu akan memperkecil kisaran pencarian. Makin banyak keterangan atau informasi yang dimiliki, makin tepat pula antipasinya.
Ilmu linguistik menyatakan bahwa bahasa bersifat generative. Ini berarti, hanya dengan berbekal sejumlah terbatas kosakata dan aturan tata bahasa saja, dapat menciptakan kalimat yang tak terhingga.
4.      Pembentukan Kesan
Pengetahuan tentang orang-orang tertentu dan kaitannya dengan atribut tertentu sering diistilahkan sebagai prototype. Hasil prototype memunculkan adanya stereotype, yaitu pemberian atribut tertentu pada sekelompok orang tertentu. Contoh: orang Indonesia ramah,orang Amerika individualistis. Dalam pembentukan kesan, stereotype sulit diabaikan begitu saja. Stereotype akan membatasi persepsi dan komunikasi, stereotype juga bisa dimanfaatkan untuk membina hubungan yang lebih lanjut. Pada konsep kepribadian implicit, stereotype juga akan memunculkan illusorycorrelation, yaitu mengaitkan secara berlebihan antara satu karakteristik dengan karakteristik yang lain secara general. Dalam pembentukan kesan terhadap orang lain, ada kecenderungan untuk secepatnya mengkategorikan orang tersebut kedalam suatu cirri tertentu. Penilaian yang cepat ini (snap jugdment) memiliki arti penting dalam proses pembentukan kesan selanjutnya. Contoh yang sering ditemu adalah munculnya halo efek. Yang disebut gejala self-fulfillingprophecy adalah pembuatan kategorisasi tertentu dengan diwarnai harapan berdasarkan asumsi penilai.Pembentukan kesan yang terbentuk dalam pikiran seseorang di saat pertama kali berjumpa dengan orang lain ditentukan oleh berbagai hal, seperti dari penampilan fisik, kemudian sosial demografik dan juga komunikasi non-verbal.

Penelitian mengenai kepribadian manusia berawal ketika seseorang diberikan daftar kepribadian. Beberapa unsur kepribadian  yang disebut kepibadian utama  lebih “kuat” dibandingkan yang lainnya, sehingga cenderung memberi warna bagi unsur-unsur kepribadian lainnya. Dingin dan hangat pada kepribadian seseorang adalah salah satu contohnya.Hal ini tidak hanya terjadi ketika kita diminta mendeskripsikan seorang hanya berdasarkan  daftar unsur kepribadiannya saja, melinkan juga pada saat menata kesan terhadap orang yang di hadapi. Bila menilai suatu pribadi sebagai orang baik, selanjutnya akan terlihat bawa setiap tindak-tanduknya selalu diliputi cahaya “kebaikan”. Sebaliknya bila terlanjur menilai seseorang sebagai oang jahat, maka apapun yan dilakukan akan selalu dipandang negatif.

6.      Penilaian
Mengamati karakter-karakter yang dimiliki seseorang satu demi satu, merangkainya, dan mengungkapkan penilaiannya. Ini diawali dari kaakter yang sudah jelas maknanya hingga yang bersifat abstrak, tersembunyi, atau tidak jelas. Contohnya saat melihat seseorang mengenakan pakaian putih, membawa stetoskop, serta memiliki sederean ijazah yang tergantung pada dinding ruang kerjanya, maka akan disimpulkan bahwa orang ini adalah seorang dokter.Sebagaian penilaian yang dibua itu bersifat definitif; sementara yang lainnya lebih condong pada keyakinan semata. Faktor yang mempengaruhi kesimpuan ataupun penilaian, seperti:
a.       Senyuman selalu dianggap sebagai tanda kebahagiaan, karena telah menjadi bagian mekanisme biologis kita.
b.      Mengacungkan jari tengah dipandang masyarakat sebagai tanda penghinaan, karena telah dianggap demikian olh kebudayaan masyarakat.
c.       Kaum wanita dipandang memliki kelemahan dalam bidang matematika atau teknik oleh masyarakat kita. Stereotip ini mendorong orang tua untuk mengabaikan keampuan atau bakat matematika serta teknik putri-putri mereka.
d.      Bayak kesimpulan atau penilaian kita yang sama sekali tidak tepat. Kita menyebut kesimpulan yang gagal ini sebagai takhayul.

7.       Ekspresi Emosional Wajah
Ekspresi-ekspresi wajah tertentu bersifat universal diantara berbagai bangsa atau kalangan. Contoh, tertawa dimana saja dianggap sebagai ekpresi kegembiraan. Tidak ada orang yang tertwa karena sedih. Sebaliknya, tangisan adalah ekspresi kesedihan yang dialami seseorang.Ahli antropologi menemukan bahwa ekspresi-ekspresi emosional universal ini juga dijumpai pada budaya-budaya yang tidak pernah bersinggungan dengan peradaban lain (suku terasing penerj).[5]
Ekspresi wajah seseorang dapat mempengaruhi dan mendorong orang lain untuk ikut malukan hal serupa. Kita cenderung membalas senyuman orang lain atau ikut meneteskan air mata bila melihat orang lain tersedu-sedu di depan kia. Hendaknya kita juga ingat bahwa beberapa ekspresi wajah terikat budayanya masing-masing. Sebagai contoh, menggeleng yang kita anggap menidakkan sesuatu, ternyata di India berarti iya.
1.      Bentuk Wajah
Landasan biologis ekspresi wajah yang menyebabkan kita menyimpulkn kepribadian seseorang bedasarkan bentuk wajah adalah: kepala besar diidentikkn dengan orang bodoh tetapi jujur, dagu kecil berarti berkepribadian lemah, alis tinggi berarti  pemiliknya luar biasa cerdas, alis rendah menandakan selera rendah, dsb. Menentukan kepribadian berdasarkan suatu bentuk wajah diatas merupakan suatu takhayul yang bodoh. Oleh karena tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali.
2.      Tubuh
William Sheldon pernah mengembangkan suatu teori mengenai adanya hubungan antara benuk tubuh dengan kepribadian seseorang : orang berperawaan kurus (tipe ektomorfik) bersifat penakut, tertutup, dan terkekang; orang dengan tubuh berotot (mesomorfik) bersifat tegas, bersemangat, dan berani; orang dengan tubuh gemuk (endomorfik) cenderung tenang, gembira, dan peramah. Sheldon mengemukakan pendapatnya bahwa memang ada ketekaitan biologis atau lebih tepatnya secara embriologi.
3.      Penampilan Atraktif
Pengaruh terkuat pada bentuk wajah dan tubuh tampak pada penampilan atraktif yang kita saksikan pada diri seseorang. Hasil riset memperlihatkan bahwa guru lebih menyukai siswanya yang cantik atau yang tampan serta menaruh harapan lebih terhadap mereka ketimbang murid yang wajahnya biasa-biasa saja atau kurang menarik. Kenyataan semain lama Anda mengenal seseorang, semakin tidak penting peampilannya bagi anda. Akhirya, kita hendaknya tidak melupakan bahwa kecantikan atau ketampanan itu juga merupakan sesuatu yang subjek, sehingga tidak ada ukuran yang pasti.
Kita dapat menyimpukan beberapa hal berdasarkan gaya bahasa dan dialek yang diucapkan seseorang, meskipun hasilnya tidak begitu akurat. Kita dapat menyimpulkan asal usul seseorang berdasarkan logat atau dialek mereka. Telepas dari semua itu, dialek daerah perkotaan cenderung lepas, terbuka, cepat, dan keras. Sebaliknya, orang desa cenderung berbicara lambat dan perlahan.[6] Lebih jauh lagi tinggi rendahnya suara juga menentukan stereotype seseorang terhadap diri anda.
Bila objek persepsi terletak diluar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat bermacam-macam, yaitu dapat berwujud benda-benda, situasi, dan juga dapat berwujud manusia. Bila objek persepsi berwujud benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila objek persepsi berwujud manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social perception (Heider. 1958). Namun disamping istilah-istilah tersebut khususnya mengenai istilah social perception masih terdapat istilah-istlah lain yang digunakan. Yaitu persepsi orang atau person perception (Secord dan Backman.1964), juga istilah person cognitionI atau interpersonal perception. Yang kurang dapat mendukung istilah social perception dalam pengertian person perception memberikan alasan bahwa karena persepsi sosial menyangkut persepsi yang berkaitan dengan variable-variabel sosial, sehingga ini memberikan pengertian yang lebih luas dari pada pengertian person perception (Tagiure dalam Lindzey dan Aronsome 1975).
Dalam individu mempersepsikan benda-benda mati bila dibandingkan dengan mempersepsikan manusia, terdapat segi-segi persamaan disamping segi-segi perbedaan adanya persamaan bila diliha tbahwa manusia atau orang itu dipandang sebagai benda fisik seperti benda-benda fisik lainnya yang terikat pada waktu dan tempat, pada dasarnya tidak berbeda. Namun karena manusia bukan semata-mata bukan hanya benda fisik melulu, tetapi mempunyai kemampuan-kemampuan yang tidak dipunyai oleh benda fisik lainnya, maka hal ini akan membawa perbedaan antara persepsi benda-benda dengan mempersepsi manusia (Morgan, dkk. 1984).
Mempersepsi seseorang, individu yang dipersepsi itu mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan, harapan walaupun kadarnya berbeda seperti halnya pada individu yang mempersepsi. Orang yangdipersepsi dapat berbuat sesuatu terhadap orang yang mempersepsi, sehingga kadang-kadang atau justru sering hasil persepsi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Orang yang dipersepsi dapat menjadi teman, namun sebaliknya juga dapat menjadi lawan dari individu yang yang mempersepsi. Hal tersebut tidakakan dijumpai bila yang dipersepsi itu bukan manusia atau orang (Tagiuri danPetrullo, 1958). Ini berarti bahwa orang yang dipersepsi dapat memberikan pengaruh terhadap orang yang mempersepsi.
Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, mempersepsikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi (Tagiuri dalam Lindzey dan Aronson, 1975). Karena yang dipersepsi itu manusia sepertihalnya yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat memberikan pengaruh kepada orang yang mempersepsi. Dengan demikian dapat dikembangkan dalam mempersepsi manusia atau orang (person) adanya dua pihak yang masing-masing yang mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan-perasaan, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, yang akan berpengaruh dalam orang mempersepsi manusia atau orang tersebut.
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat ikut berperan dan dapat berpengaruh dalam mempersepsi manusia, yaitu :
a.       Keadaan stimulus, dalam hal ini berujud manusia yang akan dipersepsi
b.      Situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus
c.       Keadaan orang yang mempersepsi.
Walaupun stimulus personnya sama, tetapi kalau situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person berbeda, akan berbeda hasil persepsinya (Tagiuri dan petrullo, 1958). Situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person mempunyai peranyang penting dalam persepsi, khususnya persepsi sosial.
Hasil eksperimen ini menyatakan bahwa mereka yang memperoleh pilihan yang paling banyak dari kawannya sebagai pemimpin justru mencapai nilai yang tinggi pada skala attitude tadi. Hasil eksperimen ini didukung oleh eksperimen-eksperimen lain.

B.     PENGUKURAN PSIKOLOGI SOSIAL
Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstraks, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode self report dan pengukuran involuntary behavior. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat menjadi indikator sikap seseorang.[7] Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya. Sedangkan pengukuran involuntary behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi fisiologis tanpa disadari oleh individu yang bersangkutan. Observer dapat menginterpretasikan sikap/persepsi individu mulai dari facial reaction, voice tones, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak jantung dan beberapa aspek fisiologis yang lainnya.[8]
Menurut Azwar, skala sikap disusun untuk mengungkap sikap pro dan kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu obyek sosial. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam yaitu pernyataan favorable (mendukung atau memihak) dan unfavorable (tidak mendukung/tidak memihak) pada obyek sikap.Skala sikap model likert biasanya terdiri dari 25-30 pertanyaan sikap. Sebagaian bersifat favourable dan sebagaian bersifat unfavourable yang sudah terpilih berdasarkan kualitas isi dan analisis statistika terhadap kemampuan pertanyaan itu dan mengungkap sikap kelompok.[9] Subyek memberi respon dengan 5kategori kesetujuan yaitu :
1.      Sangat tidak setuju (STS)
  1. Tidak setuju (TS)
  2. Ragu-ragu/Netral (N)
  3. Setuju (S)
  4. Sangat setuju (SS)\

Kriteria pengukuran persepsi yakni :
1.      Persepsi positif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner > T mean.
  1. Persepsi negatif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner < T mean.
Ada sejumlah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam mempersepsikan suatu stimulus/objek tertentu. Kesalahan persepsi tersebut antara lain :[10]
1.      Stereotyping
Stereotyping adalah mengkategorikan atau menilai seseorang hanya atas dasar satu atau beberapa sifat dari kelompoknya. Stereotip seringkali didasarkan atas jenis kelamin, keturunan, umur, agama, kebangsaan, kedudukan atau jabatan.
2.      Hallo effect
Hallo effect adalah kecenderungan menilai seseorang hanya atas dasar salah satu sifatnya. Misalnya anak yang lincah/banyak bermain dianggap lebih mudah terkena penyakit daripada anak yang lebih banyak diam atau santai. Padahal tidak ada hubungannya antara kelincahan dengan suatu penyakit.
3.      Projection
Projection Merupakan kecenderungan seseorang untuk menilai orang lain atas dasar perasaan atau sifatnya. Oleh karenanya projection berfungsi sebagai suatu mekanisme pertahanan dari konsep diri seseorang sehingga lebih mampu menghadapi yang dilihatnya tidak wajar ( Azzahy, 2008 ).

Untuk mengatasi hilangnya netral tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi test yang lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement atau disegreemenn-nya untuk masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point ( Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak setuju, Sangat Tidak Setuju). Semua aitem yang favorabel kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 5 sedangkan untuk yang Sangat Tidak setuju nilainya 1. Sebaliknya,  untuk aitem yang unfavorabel nilai skala Sangat Setuju adalah 1 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 5.  Seperti halnya skala Thurstone, skala Likert disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama (equal-interval scale).
Unobstrusive Measures.           
Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan.
Multidimensional Scaling.            
Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensinal kurang valid terutama apbila diterapkan pada lain orang, lain isu, dan lain skala item.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa Psikologi Sosial adalah sebuah bidang ilmiah yang mencoba memahami karakteristik dan penyebab dari perilaku dan pikiran individu dalam situasi sosial. Penyebab penting dari perilaku dan pemikiran sosial adalah perilaku dan karakteristik orang lain , proses kognitif, aspek lingkungan fisik, budaya serta faktor biologis dan genetik. Psikologi Sosial bersifat ilmiah karena mengambil nilai nilai dan metode metode yang digunakan oleh bidang ilmu pengetahuan lain.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar perilaku sosial dan pemikiran sosial, maka para ilmuwan menggunakan metode penelitian dalam Psikologi Sosial.Metode metode tersebut banyak ragamnya, misalnya observasi sistematis, metode survey, metode korelasional, metode eksperimen.Kesemua metode tersebut pada akhirnya mempertanyakan tentang validitas eksternalnya, yaitu sejauh mana hasil penelitian dapat digeneralisasikan ke dalam situasi sosial yang nyata dan pada orang yang berbeda.Eksperimen yang dilakukan sebagai upaya untuk memberikan penjelasan atas sebuah penelitian didasarkan atas adanya hipotesis sebagai prediksi yang belum diverifikasi berdasarkan teori dengan memperhatikan variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian.



DAFTAR PUSTAKA

Alimul hidayat, Aziz. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika, 2007.

Anastasi, Anne & Urbina, Susana. “Tes psikologi”. Psychological Testing, Jakarta: P.T. Indeks, 2007, Edisi Ke-7.

Azwar, Saifudin. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Azzahy, GH. (2008). Tentang Persepsi. From http://Syakira-blog.Blogspot.com. diunduh pada 08 April 2019, Pukul 20:34 WIB

Baron, Robert A. & Byrne, Donn, “Psikologi Sosial”, Jakarta : Erlangga, 2002, Edisi Ke-10 Jilid 1.

Gerungan,W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2010.

Hanurrahman Fattah. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.


Santoso Selamet. Teori-Teori Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2014.

Sarwono, S.W. “Psikologi Sosial”. Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta : Balai Pustaka, 1998.






[1] Anastasi, Anne & Urbina, Susana. “Tes psikologi”. Psychological Testing, (Jakarta : P.T. Indeks, 2007), Edisi Ke-7. hal. 33
[2] Baron, Robert A. & Byrne, Donn, “Psikologi Sosial”, (Jakarta : Erlangga, 2002), Edisi Ke-10 Jilid 1. hal. 25
[3] Hanurrahman Fattah. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 105-106
[4] Azzahy, GH. (2008). Tentang Persepsi. From http://Syakira-blog.Blogspot.com. diunduh pada 08 April 2019, Pukul 20:34 WIB
[5] Sarwono, S.W. “Psikologi Sosial”. Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. (Jakarta : Balai Pustaka, 1998), hal. 53
[6] Santoso Selamet. Teori-Teori Psikologi Sosial. (Bandung: PT Refika Aditama, 2014), hal. 93-94
[7] Alimul hidayat, Aziz. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. (Jakarta: Salemba Medika, 2007),hal. 19
[8] Gerungan,W.A. Psikologi Sosial. (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 39
[9] Azwar, Saifudin. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 73-74

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "MAKALAH PSIKOLOGI SOSIAL ISLAM PENGUKURAN DAN PERSEPSI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel