POLIGAMI DAN PEMBAHARUAN PERKAWINAN


MAKALAH

POLIGAMI DAN PEMBAHARUAN  PERKAWINAN


Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Fiqih Munakahat









Jurusan : Hukum Ekonomi Syari’ah (HESY)
Fakultas : Syariah




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1441 H/ 2019 M


KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi robil alamin, dengan  mengucapkan  puji dan syukur kehadirat Allah SWT  yang  telah  melimpahkan  rahmat  dan  hidayahnya  sehingga kami dapat menyelesaikan  makalah ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Penyusunan tugas ini tentunya penulis telah banyak mendapat bantuan dan arahan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Pengampu Ibu  dan seluruh rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh Karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga pembuatan makalah yang akan datang dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Wassalamualaikum Wr.
Metro,      September 2019
Penulis,




DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL.....................................................................................       i
KATA PENGANTAR.....................................................................................      ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................     iii

BAB I PANDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah....................................................................      1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................      2
C.     Manfaat Penulisan.............................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Poligami............................................................................................      3
1.      Pengertian Poligami....................................................................      3
2.      Dasar Hukum Poligami...............................................................      4
3.      Syarat-syarat Poligami................................................................      7
4.      Prosedur Poligami.......................................................................      8
B.     Pembaharuan Perkawinan.................................................................      9
1.      Pengertian Pembaharuan Perkawinan.........................................      9
2.      Tujuan Pembaharuan Perkawinan...............................................    12
3.      Hukum Pembaharuan Perkawinan..............................................    13

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................    17

DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hidup berkeluarga pasti didera masalah. Makin besar masalah yang dihadapi makin diuji ketahanan sebuah keluarga. Ada kalanya keluarga lolos menjalani deraan masalah itu. Pengalaman bisa keluar dari masalah pelik keluarga, akan menjadikan pasangan itu lebih dewasa ketika menghadapi masalah selanjutnya.
Tetapi banyak juga pasangan keluarga yang tidak tahan terhadap goncangan berat yang muncul. Ego pasangan tak bisa didamaikan. No way out. Mereka akhirnya memilih mengahiri Perkawinannya. Meski jalan yang diambil ini tidak sederhana. Terutama bagi pasangan yang sudah memiliki anak, selalu perceraian membawa korban.
 Poligami pada masa sekarang ini merupakan sebuah fenomena sosial dalam masyarakat, dimana fenomena poligami pada saat ini menemui puncak kontroversinya, begitu banyak tanggapan-tanggapan dari khalayak mengenai poligami, baik yang pro ataupun kontra. Masalah poligami bukanlah masalah baru lagi, begitu banyak pertentangan didalamnya yang sebagian besar dinilai karena perbedaan pandangan masyarakat dalam memberikan sudut pandang pada berbagai hal yang terkait masalah poligami baik ketentuan, batasan, syarat, masalah hak, kewajiban dan kebebasan serta hal-hal lainnya.
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam berpoligami. Di Indonesia sendiri juga terdapat kebijakan hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya terdapat dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pembaharuan nikah (tajdidun nikah) terkadang ditempuh beberapa pasangan untuk menyelamatkan Perkawinan mereka, secara syari'at maupun secara hukum. Biasanya terjadi ketika pasangan terlanjur terjebak oleh perselisihan (panjang) yang puncaknya pada kata talaq dari suami. Betapapun secara hukum yang namanya perceraian itu hanya ada berdasarkan keputusan pengadilan agama, namun sebagai insan beragama tetaplah tidak nyaman menjalani hidup serumah tapi telah cerai secara syari'at, sebab ucapan talaq suami itu berbobot syar'iy. Apakah itu diucapkan secara terang-terangan ataukah sirri (sindiran), apakah sedang marah ataukan sadar, bahkan tak membedakan antara bercanda ataupun sungguhan. Maka jangan main-main dengan kata "cerai". Namun sayangnya lidah telah terlanjur berucap, meski tak sampai berlanjut di pengadilan, toh kujujuran insani tetap gelisah. Inilah hebatnya orang Indonesia.

B.     Rumusan Masalan
1.      Apa pengertian Poligami?
2.      Apa Dasar Hukum Poligami?
3.      Bagaimana Syarat-syarat Poligami?
4.      Bagaimana Prosedur Poligami?
5.      Apa pengertian Pembaharuan Perkawinan?
6.      Apa Tujuan Pembaharuan Perkawinan?
7.      Apa Hukum Pembaruah Perkawinan?

C.    Manfaa Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Poligami
2.      Agar mengetahui Dasar Hukum Poligami
3.      Dapat mengetahui Syarat-syarat Poligami
4.      Untuk mengetahui Prosedur Poligami
5.      Untuk mengetahui pengertian Pembaharuan Perkawinan
6.      Dapat mengetahui Tujuan Pembaharuan Perkawinan
7.      Agar mengetahui Hukum Pembaruah Perkawinan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Poligami
1.      Pengertian Poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan istri tunggal  yang  artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah  dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.
Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.[1]
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[2]
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya,  makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu  peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[3]
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[4]
2.      Dasar  Hukum Poligami
Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Maksudnya  berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Dan demikian juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  

Artinya:  “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Sejak masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
a.      Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
b.     Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab.
c.      Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian  jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.
d.     Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.
e.      Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.[5]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[6]
3.      Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
a.      Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
2)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3)      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
b.     Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[7]
4.      Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
a.       Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
b.      Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
c.       Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kalau Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa berdasarkan Pasal 57 KHI :
a.       Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b.      Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
c.       Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
1)      Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
2)      Surat keterangan pajak penghasilan, atau
3)      Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Pasal 58 ayat (2) KHI
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

Dasar pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka bersama-sama, dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang lainnya.

B.     Pembaharuan Perkawinan
1.      Pengertian Pembaharuan Perkawinan
Menurut bahasa tajdid adalah pembaharuan yang merupakan bentuk dari jaddada-yujaddidu yang artinya memperbaharui.[8] Dalam kata tajdid mengandung arti yaitu membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya sebagaimana yang diharapkan.
Menurut istilah tajdid adalah mempunyai dua makna yaitu;
Pertama, apabila dilihat dari segi sasarannya, dasarnya, landasan dan sumber yang tidak berubah-ubah, maka tajdid bermakna mengembalikan segala sesuatu kepada aslinya.
Kedua, tajdid bermakna modernisasi, apabila sasarannya mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber yang tidak berubah-ubah untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ruang dan waktu.[9]
Menurut Masjfuk Zuhdi kata tajdid itu mengandung suatu pengertian yang luas, sebab di dalam kata ini terdapat tiga unsur yang saling berhubungan yaitu:
Pertama, al-i’adah artinya mengembalikan masalah-masalah agama terutama yang bersifat khilafiah kepada sumber agama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kedua, al-ibanah yang artinya purifikasi atau pemurnian agama Islam dari segala macam bentuk bid’ah dan khurafah serta pembebasan berfikir (liberalisasi) ajaran agama Islam dari fanatik mazhab, aliran, ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam.
Ketiga, al-ihya’ artinya menghidupkan kembali, menggerakkan, memajukan dan memperbaharui pemikiran dan melaksanakan ajaran Islam.[10]
Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Harun Nasution yang lebih menekankan kepada penyesuaian pemahaman agama Islam sesuai dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[11]
Kata perkawinan itu berasal dari bahasa Arab yaitu nikah, yang berarti pengumpulan atau bergabungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain.[12] Menurut istilah nikah adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan sebab sahnya status sebagai suami istri, dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawaddah, penuh kasih dan sayang, kebajikan dan saling menyantuni.[13]
Menurut ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang memberikan faedah untuk memiliki kebahagiaan bagi seorang lelaki untuk bersetubuh dengan perempuan sehingga bisa memperoleh kebahagiaan.[14]
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran ulama Syafi’iah dan Hanabilah yang memberikan suatu pengertian perkawinan adalah merupakan suatu akad yang menggunakan lafal nakaha atau zawwaja atau perkataan lain yang mempunyai makna sama dengan salah satu kata tersebut dengan tujuan untuk memperoleh suatu kebahagiaan.[15]
Menurut Ibrahim al-Bajuri yang merupakan salah satu pakar dalam fikih beliau juga memberikan pengertian tentang nikah adalah akad yang mengandung sebagian rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Mahmud Yunus, perkawinan adalah akad antara calon suami dan istri untuk memenuhi hajat hidupnya yang diatur oleh syara’.[16]Senada dengan hal ini, Slamet Abidin juga memberikan sumbangan dalam memberikan pemaknaan pada istilah Perkawinan yaitu suatu akad antara seorang pria dengan wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.[17]
2.      Tujuan Pembaharuan Perkawinan
Adapun tujuan pembaharuan hukum keluarga secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a.       Unifikasi hukum perkawinan.
b.    Peningkatan status wanita.
c.     Respon terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.[18]

Tujuan unifikasi hukum dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu:[19]
Pertama, unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh warga Negara tanpa memandang agama, misalnya kasus yang berlaku di Tunisia. 
Kedua, unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua aliran pokok dalam sejarah muslim, yakni antara paham sunni dan shi’i, di mana Iran dan Irak termasuk di dalamnya, karena di Negara bersangkutan ada penduduk yang mengikuti kedua aliran besar tersebut. 
Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya ada pengikut mazhab-mazhab yang bersangkutan.
Keempat, unifikasi dalam satu mazhab tertentu, misalnya di kalangan pengikut Syafi’i atau Hanafi atau Maliki. Dengan menyebut unifikasi dari antar mazhab bukan berarti format pembaharuan yang ditemukan dengan sendirinya beranjak dari dan berdasarkan mazhab yang ada di Negara yang bersangkutan. Boleh jadi formatnya diambil dari pandangan mazhab yang tidak ditemukan sama sekali di Negara yang bersangkutan. Contoh, di Indonesia yang penduduknya Muslimnya mayoritas bermazhab Syafi’I bukan berarti format hukum keluarganya sepenuhnya sesuai dengan pandangan-pandangan Imam Syafi’I dan ulama Syafi’I, tetapi boleh jadi pada bagian-bagian tertentu mengambil dari pandangan mazhab Zahiri atau mazhab Hanafi atau mazhab Maliki dan seterusnya. Kelima, unifikasi dengan berpegang pada pendapat imam di luar imam mazhab terkenal, seperti pendapat Ibn Syubrumah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan lain-lain.
Beberapa negara melakukan pembaharuan hukum keluarga dengan tujuan untuk mengangkat status wanita muslimah. Tujuan pengangkatan status wanita ini sering pula dengan merespon tuntutan dan perkembangan zaman dan tujuan unifikasi hukum. sehingga tujuan pengangkatan status wanita seiring pula dengan tujuan unifikasi hukum dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman. Berdasarkan latar belakang lahirnya tuntutan pembaharuan hukum keluarga dapat disimpulkan bahwa ketiga tujuan pembaharuan tersebut di atas sejalan dan seiring di mayoritas Negara Muslim.
Dari sekian cakupan perundang-undangan perkawinan, ada minimal 13 hal yang mengalami perubahan atau terjadi pembaharuan, yaitu:[20]
a.       Masalah pembatasn umur minimal kawin.
b.      Masalah peranan wali dalam nikah.
c.       Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan.
d.      Masalah keuangan perkawinan: maskawin dan biaya perkawinan.
e.       Masalah poligami dan hak-hak istri dalam poligami.
f.       Masalah nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal.
g.      Masalah talak dan cerai di muka pengadilan.
h.      Masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya.
i.        Masalah masa hamil dan akibat hukumnya.
j.        Masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak-anak setelah terjadi perceraian.

3.      Hukum Pembaharuan Perkawinan
Tajdid nikah merupakan tindakan sebagai langkah membuat kenyamanan hati dan  ihtiyath (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama sebagaimana kandungan sabda Nabi SAW yang berbunyi :

الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ

Artinya : Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat/samar-samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya”. (H.R. Bukhari).[21]

Hadist Salamah, beliau berkata :
بَايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ قَالَ وَفِي الثَّانِي

Artinya : Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.” (H.R. Bukhari).[22]

       Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi SAW, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab.[23] Karena itu, bai’at Salamah kali kedua ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara pihak-pihak. Pendalilian seperti ini telah dikemukakan oleh Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Ibnu Munir berkata :
 “Dipahami dari hadits ini (hadits di atas) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama, ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah yang berpendapat demikian (mengakibatkan fasakh).”
Mengomentari pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan fasakh akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Aku mengatakan : “Yang shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.”[24]
Ulama Syafi’iyah berpendapat mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama dapat juga dipahami dari nash kitab dari kalangan ulama Syafi’iyah, antara lain :
a.       Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Fath al-Wahab mengatakan :
“Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sir (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu, kemudian diulang kembali akad itu secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu” .[25]
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj.
Di sini, kedua ulama di atas mengakui bahwa akad nikah kedua tidak membatalkan akad nikah pertama. Buktinya, beliau berpendapat bahwa kewajiban mahar dikembalikan menurut  yang disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad yang kedua membatalkan akad yang pertama, maka tentunya jumlah mahar tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh karena itu, dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan tujuan memperindah saja.


b.      Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Dipahami daripada bahwa akad apabila diulangi, yang dii’tibar adalah akad yang pertama,……… dan seterusnya s/d beliau mengatakan, sesungguhnya semata-mata muwafakat suami melakukan bentuk aqad nikah yang kedua (misalnya), bukanlah merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab (pengakuan thalaq) atas  nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi dan itu dhahir … s/d beliau mengatakan, sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbaharui nikah) semata-mata keinginannya untuk memperindah atau berhati-hati”.[26]

       


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
 Dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu menurut masyarakat umum adalah poligami.
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam berpoligami.
Tajdid Nikah atau memperbaharui Nikah dan yang lebih dikenal dengan istilah Mbangun Nikah serta dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah Nganyari Nikah,  sama sekali tidak diketemukan dasar hukumnya, baik dari Al-qur’an. maupun Sunnah Nabi.
Dikalangan para Ulama hal tersebut menjadi perbedaan pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang atau memberikan batasan – batasan tertentu, agar Perkawinan yang memiliki nilai sakral tersebut tidak menjadi barang mainan






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, (Semarang: Duta Grafika, 1989)

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ala al-Madhahib al-Arba’ah, (Baerut: Dharul fikri,t.th)

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995)

Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969)

Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005)

Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)

Bukhari, Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah : Juz. I, No. Hadits : 52)

Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004)

Harun Nasution, Pembaharuan Hukum Islam, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)

Husain Al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap, (Surabaya: YAPI, 1997)

Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, (Maktabah Syamilah : Juz. XV)

Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, (Maktabah Syamilah : Juz.  XIII)

Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, (Mesir : Juz. VII)

Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996)

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Edisi I, Cet. I, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)

Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Mizan, 2002)
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001)

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, (Dar Shadir : Beirut, Juz. III)




[1] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159
[2] Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19
[3] Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969), hal 69
[4] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84
[5] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004), hal. 42-45
[6] Ibid., hal 200
[7] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 47.
[8] Husain Al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap, (Surabaya: YAPI, 1997), hal. 43.
[9] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 147
[10] Ibid., hal. 148
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Hukum Islam, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal.11-12
[12] Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 3
[13] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), hal. 188
[14] Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ala al-Madhahib al-Arba’ah, (Baerut: Dharul fikri,t.th), hal. 5-6
[15] Ibid., hal. 5-6
[16] Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, (Semarang: Duta Grafika, 1989), hal. 3
[17] Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 12
[18] Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Edisi I, Cet. I, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hal. 93 
[19] Ibid.,hal. 94
[20] Ibid., hal. 95
[21] Bukhari, Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah : Juz. I, No. Hadits : 52), hal. 20
[22]  Bukhari, Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah : Juz. IX, No. Hadits : 7208), hal. 98
[23] Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, (Maktabah Syamilah : Juz. XV), hal. 301
[24] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, (Maktabah Syamilah : Juz.  XIII), hal. 199
[25] Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, (Dar Shadir : Beirut, Juz. III), hal. 413
[26] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, (Mesir : Juz. VII), hal. 391

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "POLIGAMI DAN PEMBAHARUAN PERKAWINAN"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel