Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan-Mata Kuliah Hukum Perdata
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum perdata merupaka hukum yang mengatur hubungan
hukum antar kepentingan perseorangan.
Sumber pokok hukum perdata ialah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
yang dalam bahasa Belandanya ialah Burgerlijk
Wetboek (BW) karena pada dasarnya KUHPerdata di Indonesia bersumber dari
KUHPerdata Belanda. Namun setelah Indonesia merdeka sejak pernyataan proklamasi kemerdekaan pada
tanggal 17 agustus 1945, maka berlakunya KUHPerdata (BW) banyak mengalami
perubahan. Perubahan itu dimaksudkan karena banyak pasal yang tidak sesuai
dengan alam pikir atau kesadaran hukum bangsa indonesia yang modern dan
religius.
Sistematika hukum perdata diatur dalam KUHPerdata (BW)
yang terdiri atas empat Buku; 1) Buku I tentang orang (van personen) yang memuat hukum perseorangan dan hukum
kekeluargaan, 2) Buku II tentang benda (van
zaken) yang memuat hukum benda dan hukum waris, 3) Buku III tentang
perikatan (van verbintennissen) yang
memuat hukum harta kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu, 4) Buku IV tentang
pembuktian dan kadaluwarsa (van Bewijs en
verjaring) yang memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat-akibat lewat
waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem
Hukum Perikatan?
2. Bagaimana Pembeda Hak Kebendaan?
3. Apa saja hak kebendaan yang banyak memberi kenikmatan?
4. Apa saja hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan?
5.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Perbedaan Sistem Hukum Benda dan
Sistem Hukum Perikatan
2. Untuk mengetahui Pembeda Hak Kebendaan
3. Untuk mengetahui hak kebendaan yang banyak memberi
kenikmatan
4. Untuk mengetahui hak kebendaan yang bersifat memberi
jaminan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perbedaan Sistem Hukum Benda dan
Sistem Hukum Perikatan
1.
Sistem Hukum Benda
Berdasarkan kajian dari berbagai literatur hukum
perdata, dapat dilihat bahwa sistem pengaturan
hukum dapat dibedakan menjadi dua macam: Sistem tertutup (closed system) dan Sistem terbuka (open system).
Adapun sistem pengaturan hukum benda adalah sistem
tertutup yaitu orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang
telah ditetapkan dalam UU, sedangkan sistem pengaturan
hukum perikatan adalah sistem terbuka yang artinya orang dapat mengadakan
perjanjian mengenai apa pun juga baik yang sudah ada aturannya di dalam
KUHPerdata maupun tidak. Jenis perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata
ialah seperti jual beli, tukar menukar, kongsi, pinjam meminjam, sewa menyewa
dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian nominaat. Sedangkan perjanjian yang
tidak diatur di dalam KUHPerdata seperti leasing, beli sewa, kontrak rahim, dan
lain-lain. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian innominaat.[1]
Menurut paham undang-undan9
pasal 499 yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak,
yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Kebendaan juga dapat
diartikan sebagai segala apa yang karena
hukum perlekatan termasuk dalam sesuatu kebendaan, seperti pun segala hasil
dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang,
selama yang akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu laksana dahan dan akar
terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi.[2]
2.
Sistem Hukum Perikatan
Hukum
Perikatan yaitu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu
dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan.Perikatan yang
terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.
Perikatan yang dibicarakan
dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang- bidang hukum
tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika Kitab Undang- Undang hukum
Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan.
macam macam perikatan :
a. Perikatan bersyarat, perikatan
yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan
bersyarat.
b. Perikatan dengan ketetapan waktu
c. Perikatan alternative
d. Perikatan tanggung menanggung
e. Perikatan yang dapat dan tidak
dapat dibagi
f. Perikatan dengan ancaman hukuman
g. Perikatan wajar
B. Pembeda
Hak Kebendaan
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Buku II KUHPerdata
telah dicabut berlakunya sejauh mengenai bumi, air, dan segala kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, kecuali hipotek. Dengan demikian hak-hak yang
berkenaan dengan tanah yang sudah dicabut dari Buku II KUHPerdata tersebut
meliputi; hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai pekarangan, hak pungut hasil, hak
sewa bangunan, dan semua hak yang berkenaan dengan tanah lainnya. Semua hak
tersebut telah diatur dalam UU No 5 tahun 1960 Tentang pokok-pokok agraria dan
oleh karena itu menjadi objek hukum agrari, kecuali mengenai hipotek.[3] Dalam
buku II BW hak kebendaan
dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Hak kebendaan yang bersifat
memberi kenikmatan
Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan
(zakelijk genotsrecht) mengenai tanah yang diatur dalam BW, dengan berlakunya
UUPA (Undang-undang No. 5 Tahun 1960) tanggal 24 september 1960, dinyatakan
tidak berlaku lagi. Hak kebendaan yang memberi kenikmatan, terbagi kembali
atas:
a. Bezit
Suatu hal yang khusus
dalam hukum Barat, ialah adanya “Bezit” sebagai hak kebendaan di
sampingnya atau sebagai lawannya pengertian “eigendom” atau hak milik atas
sesuatu benda.
Bezit ialah suatu
keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya
sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidakmempersoalkan hak milik
atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Perkataan bezit berasal dari
perkataan “zitten” sehingga secara letterlijk berarti “menduduki”. Untuk bezit
diharuskan adanya dua anasir, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan
untuk memiliki benda tersebut. Dari bezit harus dibedakan “detentie”, dimana
seorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan seorang
lain, ialah pemilik atau bezitter dari benda itu. Pada seorang “detentor”
(misalnya seorang nyewa) dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda
dikuasainnya itu tidak ada.[4]
b. Hak Milik
Hak milik adalah hak
turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah,
dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.[5]
Dalam pengertian yang
lain dijelaskan hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan
dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan
kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau
peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya,
dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi
kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas
ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.[6]
c. Hak Memungut Hasil
Hak memungut hasil adalah hak untuk menarik (memungut)
hasil dari benda orang
lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban untuk menjaga
benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula.
Definisi hak memungut hasil di atas ini termuat dalam
pasal 756 BW, dipandang oleh para ahli sebagai kurang lengkap.
Sebab hak memungut hasil tidak hanya memberikan hak
untuk menarik hasilnya saja, tetapi juga untuk memakai benda itu. 35) Selain
itu, juga ada suatu ciri yang penting dari vruchtgebruik yang justru tidak
tercantum dalam definisi itu ialah bahwa vruchtgebruik akan hapus dengan
meninggalnya orang yang mempunyai hak itu. Jadi, vruchtgebruik hanya terikat
pada seseorang saja. 36) Sekalipun vruchtgebruik diberikan untuk jangka waktu
tertentu, meskipun jangka waktu itu belum habis, jika orang yang mempunyai hak
(vruchtgebruiker) meninggal, vruchtgebruik tetap hapus.
Benda yang dibebani vruchtgebruik hapus benda yang
tetap ada, baik atas benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Orang yang
mempunyai hak memungut hasil tidak boleh mengubah tujuan-tujuan dari benda
tersebut dan harus menjaga supaya tetap dalam keadaan baik.
Menurut Pasal
757 BW vruchtgebruik dapat dilakukan atas benda-benda dapat habis (musnah)
dengan ketentuan bahwa pemegang hak harus mengembalikan benda tersebut dalam
jumlah yang sama, keadaan yang sama dan harga yang sama atau dengan membayar
harganya pada waktu hak memungut hasil berlaku atau diadakan. Namun,
vruchtgebruik atas benda-benda yang dapat habis ini dipandang sebagai
vruchtgebruik yang tidak sesungguhnya (oneigenlijk vruchtgebruik).
Vruchtgebruik
juga dapat dilakukan atas benda tidak berwujud. Misalnya vruchtgebruik atas
piutang yang hasilnya berupa sejumlah bunga (Pasal 763 BW).
Terjadinya hak
memungut hasil (vruchtgebruik) ini bisa karena adanya titel berupa perjanjian,
penghibahan, dan surat wasiat (testament) dan karena verjaring. Karena hak
memungut hasil ini merupakan hak kebendaan, maka untuk adanya hak ini harus ada
levering menurut ketentuan yang berlaku. Pemegang hak memungut hasil mempunyai
kewajiban-kewajiban sebagai berikut di bawah ini, sebagaimana diatur dalam
Pasal 782 s.d. 806 BW:
1) Kewajiban pada permulaan adanva hak memungut hasil
a) Membuat pencatatan (inventarisasi) terhadap benda-bendanya;
b) Mengadakan jaminan-jaminan berupa asuransi dan sebagainya terhadap
benda-bendanya.
2) Kewajiban selama adanya hak memungut hasil
a) Mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap benda-bendanya;
b) Menanggung biaya-biaya perbaikan dan pajak yang harus dibayar dalam
melakukan pengurusan benda-benda itu;
c) Memelihara benda-benda itu dengan sebaik-baiknya.
3) Kewajiban pada waktu berakhirnya hak memungut hasil
a) Mengembalikan semua bendanya seperti dalam keadaan semula;
b) Mengganti segala kerusakan atau kerugian atas benda-benda itu jika
terjadi.
Hapusnya hak
memungut hasil diatur dalam Pasal 807 BW yaitu adalah:
1) Karena meninggalnya pemegang hak tersebut;
2) Karena habisnya waktu yang diberikan untuk hak itu;
3) Karena pemegang hak berubah menjadi pemilik (eigenaar);
4) Karena pemegang hak melepaskan hak memungut hasil itu;
5) Karena verjaring dimana pemegang hak tidak mempergunakan hak memungut
hasil itu selama 30 tahun;
d. Hak Pakai dan Hak Mendiami
Hak pakai adalah hak
untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.[8]
2. Hak
Kebendaan yang Bersifat Memberi Jaminan
Hak
kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak
jaminan yang melekat pada
kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika
debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian). Dengan
demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan
perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni
perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit). Perjanjian hutang piutang dalam
KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam pasal 1754 KUH
Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka
yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
a.
Hak Gadai
Dalam pasal 1150 KUH perdata disebutkan bahwa gadai
adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan
kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu
hutang. Selain itu memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan
pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya
terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah di keluarkan
untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu didahulukan. Sifat-sifat Gadai yakni
:
1)
Gadai adalah untuk benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
2)
Gadai bersifat accesoir artinya
merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang di maksudkan untuk menjaga jangan
sampai debitur itu lalai membayar hutangnya kembali
3)
Adanya sifat kebendaan
4)
Syarat inbezitz telling, artinya
benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai atau benda gadai
diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai
5)
Hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri
6)
Hak preferensi (hak untuk di
dahulukan)
7)
Hak gadai tidak dapat di bagi-bagi
artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan di bayarnya
sebagaian dari hutang oleh karena itu gadai tetap melekat atas seluruh
bendanya.[9]
Obyek gadai adalah semua benda bergerak dan pada
dasarnya bisa digadaikan baik benda bergerak berwujud maupun benda bergerak
yang tidak berwujud yang berupa berbagai hak untuk mendapatkan berbagai hutang
yakni berwujud surat-surat piutang kepada pembawa (aan toonder) atas tunjuk
(aan order) dan atas nama (op naam) serta hak paten.
b. Hipotik
Berdasarkan pasal 1162 KUH perdata adalah suatu hak
kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil pengantian dari padanya
bagi pelunasan suatu perhutangan (verbintenis). Sifat-sifat hipotik yakni :
1) Bersifat
accesoir yakni seperti halnya dengan gadai
2) Mempunyai
sifat zaaksgevolg (droit desuite) yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti
bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada dalam pasal 1163
ayat 2 KUH perdata
3) Lebih
didahulukan pemenuhanya dari piutang yang lain (droit de preference)
berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH perdata
4) Obyeknya
benda-benda tetap.
Obyek hipotik yakni : Sebelum dikeluarkan
undang-undang No.4 tahun1996 hipotik berlaku untuk benda tidak bergerak
termasuk tanah namun sejak di keluarkan undang-undang No.4 tahun1996 tentang
hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
dinyatakan tidak berlaku lagi.[10]
c.
Credietverband
Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut
Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan
memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang
selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).[11]
a. Pemberi CredietVerband : mereka yang berhak
sebagai pemegang hak atas tanah
b. Pemegang CredietVerband : berdasarkan Keppres No. 14
Th. 1973 ditetapkan : Bank BNI; BBD ; BRI ; BDN dan Bank Exim.
Credietverband merupakan lembaga
jaminan atas hak kebendaan (diatur melalui Koninklijk Besluit Nomor 50 tanggal
6 Juni 1908 jo Stb. 1938 No.373, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1910) untuk
memenuhi kebutuhan hukum orang-orang pribumi untuk meminjam uang kepada
kreditur namun karena mereka tunduk pada hukum adat, sehingga jaminan yang
mereka berikan tidak dapat berupa hipotik.
d. Privilege
Privilege (hak istimewa), merupakan hak yang memberi jaminan, walaupun bukan
merupakan hak kebendaan tetapi ditempatkan dalam buku II KUHPerdata.
Hak Privilege
adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifatnya piutang (Pasal 1134).
Menurut Pasal 1139 KUHPerdata,
privilege khusus ada 9 (sembilan) macam, yaitu: 1) Biaya perkara; 2) tunggakan
uang sewa tanah atau bangunan, dan biaya untuk memperbaikinya yang menurut
undang-undang dipikul oleh si penyewa; 3) Harga pembelian barang bergerak yang
belum dibayar; 4) Biaya menyelamatkan barang, biaya ini dikeluarkan untuk
menjaga jangan sampai barang tertentu musnah; 5) Upah tukang yang mengerjakan
sesuatu barang, seperti seorang penjahit, dan lain-lain. Pengertian
"tukang" di sini tidak hanya termasuk mereka yang secara nyata
melakukan pekerjaan itu, tetapi juga pengusaha yang memerintahkan pekerjaan
tersebut kepasa pelaksana; 6) Piutang seorang pengusaha rumah penginapan, yang
disebabkan oleh pemberian penginapan dan makanan kepada seorang tamu yang
menginap; 7) Upah angkutan; 8) Biaya/upah seorang tukang batu, tukang kayu, dan
tukang-tukang lain yang mendirikan, menambah atau memperbaiki
bangunan-bangunan; dan 9) Piutang negara terhadap pegawai-pegawai yang
merugikan pemerintah karena kelalaian, kesalahan, atau pelanggaran dalam
melaksanakan jabatannya. (Privilege ini tidak menentukan urutannya).[12]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam bab pembahasan di atas
dapat kita pahami bahwa hukum benda merupakn hukum yang mengatur mengenai
segala sesuatu yang dapat menjadi
obyek hukum. Adapun yang menjadi obyek hukum benda adalah benda itu sendiri,
selain dari tanah, air, dan segala kekayaanya. Sedangkan yang dimaksud dengan
benda adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai atau dimiliki. Semantara yang menjadi subyek
hukumnnya adalah orang atau badan hokum.
Sistem pengaturan hukum benda adalah system tertutup
yaitu setiap orang tidak boleh mengadakan hak kebendaan selain dari yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Sedangkan tempat pengaturan hokum benda
terdapat dalam UU No. 5 tahun 1960, UU No. 4 tahun 1996, UU No. 4 tahun 1999,
dan UU hak kekayaan intlektual.
Benda itu banyak macamnya dan diklasifikasikan menjadi
bebrapa bagian yaitu; benda bergerak dan tak bergerak, benda musnah dan tetap
ada, benda dapat dibagi dan tak dapat dibagi, benda yang dapat diganti dan
tidak, benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak.
Hak kebendaan adalah hak yang melekat atas suatu benda
yang dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Hak kebendaan memilik beberapa
asas yaitu asas hokum pemaksa, dapat dipindahtangankan, individualitas,
totalitas, tidak dapat dibagi, prioritas, publisitas, campuran, dan perjanjian
memindahkan hak kebendaan.
Untuk mendapatkan hak kebendaan yaitu ada beberapa cara; pengakuan,
penemuan, penyerahan, daluwarsa, pewarisan, pencptaan, dan ikutan. Adapun
hapusnya hak kebendaan itu disebabkan oleh; bendanya lenyap, dipindahtangankan,
pelepasan hak atas kebendaan, daluwarsa, dan pencabutan hak.
DAFTAR
PUSTAKA
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Cetakan 41
Rachmadi usman, Hukum Kebendaan, (Sinar Grafika: jakarta, 2011)
Salim, Hukum Perdata Tertulis (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005)
-------, Pengantar Hukum
perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika: Jakarta, 2005)
Satrio, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan,Hak
Tanggungan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti 2002)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
(Jakarta: PT Intermasa, 2017)
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Prestasi Pustaka: Jakarta,
2006)
Vollmar,
Pengantar
Studi Hukum Perdata (terjemahan I.S. Adiwimarta), (Jakarta,
Rajawali, 1992)
Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang
Hak Atas Benda, (Jakarta: PT Intermasa, 2012)
[1] Salim, Pengantar Hukum perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika: Jakarta, 2005), hal.
90.
[2] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Cetakan 41, hal. 172
[3] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Prestasi Pustaka: Jakarta,
2006), hal.138
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Intermasa, 2017), hal.63
[5] Ibid., hal.93
[6] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.,hal.187
[7] Rachmadi usman, Hukum
Kebendaan, (Sinar Grafika: jakarta, 2011), hal.48-49
[8] Ibid., hal.94
[9] Satrio, Hukum
Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan,Hak Tanggungan, (Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti 2002), hal.
68-69
[10] Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas
Benda, (Jakarta: PT Intermasa, 2012), hal. 157-158
[11] Salim, Hukum Perdata Tertulis (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hal. 89
[12] Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (terjemahan I.S.
Adiwimarta), (Jakarta, Rajawali, 1992), hal. 367
0 Response to "Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan-Mata Kuliah Hukum Perdata"
Posting Komentar