Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan-Mata Kuliah Hukum Perdata



PERBEDAAN SISTEM HUKUM BENDA DAN
SISTEM HUKUM PERIKATAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum perdata merupaka hukum yang mengatur hubungan hukum antar kepentingan perseorangan. Sumber pokok hukum perdata ialah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dalam bahasa Belandanya ialah Burgerlijk Wetboek (BW) karena pada dasarnya KUHPerdata di Indonesia bersumber dari KUHPerdata Belanda. Namun setelah Indonesia merdeka  sejak pernyataan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, maka berlakunya KUHPerdata (BW) banyak mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksudkan karena banyak pasal yang tidak sesuai dengan alam pikir atau kesadaran hukum bangsa indonesia yang modern dan religius.
Sistematika hukum perdata diatur dalam KUHPerdata (BW) yang terdiri atas empat Buku; 1) Buku I tentang orang (van personen) yang memuat hukum perseorangan dan hukum kekeluargaan, 2) Buku II tentang benda (van zaken) yang memuat hukum benda dan hukum waris, 3) Buku III tentang perikatan (van verbintennissen) yang memuat hukum harta kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu, 4) Buku IV tentang pembuktian dan kadaluwarsa (van Bewijs en verjaring) yang memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan?
2.      Bagaimana Pembeda Hak Kebendaan?
3.      Apa saja hak kebendaan yang banyak memberi kenikmatan?
4.      Apa saja hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan?

5.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan
2.      Untuk mengetahui Pembeda Hak Kebendaan
3.      Untuk mengetahui hak kebendaan yang banyak memberi kenikmatan
4.      Untuk mengetahui hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan
1.      Sistem Hukum Benda
Berdasarkan kajian dari berbagai literatur hukum perdata, dapat dilihat bahwa sistem pengaturan hukum dapat dibedakan menjadi dua macam: Sistem tertutup (closed system) dan Sistem terbuka (open system).
Adapun sistem pengaturan hukum benda adalah sistem tertutup yaitu orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang telah ditetapkan dalam UU, sedangkan sistem pengaturan hukum perikatan adalah sistem terbuka yang artinya orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apa pun juga baik yang sudah ada aturannya di dalam KUHPerdata maupun tidak. Jenis perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata ialah seperti jual beli, tukar menukar, kongsi, pinjam meminjam, sewa menyewa dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian nominaat. Sedangkan perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata seperti leasing, beli sewa, kontrak rahim, dan lain-lain. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian innominaat.[1]
Menurut paham undang-undan9 pasal 499 yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Kebendaan juga dapat diartikan sebagai segala apa yang  karena hukum perlekatan termasuk dalam sesuatu kebendaan, seperti pun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu laksana dahan dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi.[2]

2.      Sistem Hukum Perikatan
Hukum Perikatan yaitu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan.Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.
Perikatan yang dibicarakan dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang- bidang hukum tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika Kitab Undang- Undang hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan.
macam macam perikatan :

a.       Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b.      Perikatan dengan ketetapan waktu
c.       Perikatan alternative
d.      Perikatan tanggung menanggung
e.       Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f.       Perikatan dengan ancaman hukuman
g.      Perikatan wajar

B.     Pembeda Hak Kebendaan
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Buku II KUHPerdata telah dicabut berlakunya sejauh mengenai bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali hipotek. Dengan demikian hak-hak yang berkenaan dengan tanah yang sudah dicabut dari Buku II KUHPerdata tersebut meliputi; hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,  hak pakai pekarangan, hak pungut hasil, hak sewa bangunan, dan semua hak yang berkenaan dengan tanah lainnya. Semua hak tersebut telah diatur dalam UU No 5 tahun 1960 Tentang pokok-pokok agraria dan oleh karena itu menjadi objek hukum agrari, kecuali mengenai hipotek.[3] Dalam buku II BW hak kebendaan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.      Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan
Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) mengenai tanah yang diatur dalam BW, dengan berlakunya UUPA (Undang-undang No. 5 Tahun 1960) tanggal 24 september 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak kebendaan yang memberi kenikmatan, terbagi kembali atas:
a.      Bezit
Suatu hal yang khusus dalam hukum Barat, ialah adanya “Bezit” sebagai hak kebendaan di sampingnya atau sebagai lawannya pengertian “eigendom” atau hak milik atas sesuatu benda.
Bezit ialah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidakmempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Perkataan bezit berasal dari perkataan “zitten” sehingga secara letterlijk berarti “menduduki”. Untuk bezit diharuskan adanya dua anasir, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Dari bezit harus dibedakan “detentie”, dimana seorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan seorang lain, ialah pemilik atau bezitter dari benda itu. Pada seorang “detentor” (misalnya seorang nyewa) dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda dikuasainnya itu tidak ada.[4]
b.      Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.[5]
Dalam pengertian yang lain dijelaskan hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.[6]
c.       Hak Memungut Hasil
Hak memungut hasil adalah hak untuk menarik (memungut) hasil dari benda orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban untuk menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula.
Definisi hak memungut hasil di atas ini termuat dalam pasal 756 BW, dipandang oleh para ahli sebagai kurang lengkap.
Sebab hak memungut hasil tidak hanya memberikan hak untuk menarik hasilnya saja, tetapi juga untuk memakai benda itu. 35) Selain itu, juga ada suatu ciri yang penting dari vruchtgebruik yang justru tidak tercantum dalam definisi itu ialah bahwa vruchtgebruik akan hapus dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak itu. Jadi, vruchtgebruik hanya terikat pada seseorang saja. 36) Sekalipun vruchtgebruik diberikan untuk jangka waktu tertentu, meskipun jangka waktu itu belum habis, jika orang yang mempunyai hak (vruchtgebruiker) meninggal, vruchtgebruik tetap hapus.
Benda yang dibebani vruchtgebruik hapus benda yang tetap ada, baik atas benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Orang yang mempunyai hak memungut hasil tidak boleh mengubah tujuan-tujuan dari benda tersebut dan harus menjaga supaya tetap dalam keadaan baik.
Menurut Pasal 757 BW vruchtgebruik dapat dilakukan atas benda-benda dapat habis (musnah) dengan ketentuan bahwa pemegang hak harus mengembalikan benda tersebut dalam jumlah yang sama, keadaan yang sama dan harga yang sama atau dengan membayar harganya pada waktu hak memungut hasil berlaku atau diadakan. Namun, vruchtgebruik atas benda-benda yang dapat habis ini dipandang sebagai vruchtgebruik yang tidak sesungguhnya (oneigenlijk vruchtgebruik).
Vruchtgebruik juga dapat dilakukan atas benda tidak berwujud. Misalnya vruchtgebruik atas piutang yang hasilnya berupa sejumlah bunga (Pasal 763 BW).
Terjadinya hak memungut hasil (vruchtgebruik) ini bisa karena adanya titel berupa perjanjian, penghibahan, dan surat wasiat (testament) dan karena verjaring. Karena hak memungut hasil ini merupakan hak kebendaan, maka untuk adanya hak ini harus ada levering menurut ketentuan yang berlaku. Pemegang hak memungut hasil mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut di bawah ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 782 s.d. 806 BW:
1)      Kewajiban pada permulaan adanva hak memungut hasil
a)      Membuat pencatatan (inventarisasi) terhadap benda-bendanya;
b)      Mengadakan jaminan-jaminan berupa asuransi dan sebagainya terhadap benda-bendanya.
2)      Kewajiban selama adanya hak memungut hasil
a)      Mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap benda-bendanya;
b)      Menanggung biaya-biaya perbaikan dan pajak yang harus dibayar dalam melakukan pengurusan benda-benda itu;
c)      Memelihara benda-benda itu dengan sebaik-baiknya.
3)      Kewajiban pada waktu berakhirnya hak memungut hasil
a)      Mengembalikan semua bendanya seperti dalam keadaan semula;
b)      Mengganti segala kerusakan atau kerugian atas benda-benda itu jika terjadi.
Hapusnya hak memungut hasil diatur dalam Pasal 807 BW yaitu adalah:
1)      Karena meninggalnya pemegang hak tersebut;
2)      Karena habisnya waktu yang diberikan untuk hak itu;
3)      Karena pemegang hak berubah menjadi pemilik (eigenaar);
4)      Karena pemegang hak melepaskan hak memungut hasil itu;
5)      Karena verjaring dimana pemegang hak tidak mempergunakan hak memungut hasil itu selama 30 tahun;
6)      Karena musnah atau binasanya bendanya.[7]
d.      Hak Pakai dan Hak Mendiami
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.[8]
2.      Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Jaminan
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian). Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit). Perjanjian hutang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
a.      Hak Gadai
Dalam pasal 1150 KUH perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang. Selain itu memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah di keluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu didahulukan. Sifat-sifat Gadai yakni :
1)      Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
2)      Gadai bersifat accesoir artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang di maksudkan untuk menjaga jangan sampai debitur itu lalai membayar hutangnya kembali
3)      Adanya sifat kebendaan
4)      Syarat inbezitz telling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai
5)      Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri
6)      Hak preferensi (hak untuk di dahulukan)
7)      Hak gadai tidak dapat di bagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan di bayarnya sebagaian dari hutang oleh karena itu gadai tetap melekat atas seluruh bendanya.[9]
Obyek gadai adalah semua benda bergerak dan pada dasarnya bisa digadaikan baik benda bergerak berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud yang berupa berbagai hak untuk mendapatkan berbagai hutang yakni berwujud surat-surat piutang kepada pembawa (aan toonder) atas tunjuk (aan order) dan atas nama (op naam) serta hak paten.
b.      Hipotik
Berdasarkan pasal 1162 KUH perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil pengantian dari padanya bagi pelunasan suatu perhutangan (verbintenis). Sifat-sifat hipotik yakni :
1)      Bersifat accesoir yakni seperti halnya dengan gadai
2)      Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit desuite) yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada dalam pasal 1163 ayat 2 KUH perdata
3)      Lebih didahulukan pemenuhanya dari piutang yang lain (droit de preference) berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH perdata
4)      Obyeknya benda-benda tetap.
Obyek hipotik yakni : Sebelum dikeluarkan undang-undang No.4 tahun1996 hipotik berlaku untuk benda tidak bergerak termasuk tanah namun sejak di keluarkan undang-undang No.4 tahun1996 tentang hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.[10]
c.       Credietverband
Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda  yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau  tidak berikut benda-benda lain  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).[11]
a.       Pemberi CredietVerband  : mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas tanah                  
b.      Pemegang CredietVerband : berdasarkan Keppres No. 14 Th. 1973 ditetapkan : Bank BNI; BBD ; BRI ; BDN dan  Bank Exim.
Credietverband merupakan lembaga jaminan atas hak kebendaan (diatur melalui Koninklijk Besluit Nomor 50 tanggal 6 Juni 1908 jo Stb. 1938 No.373, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1910) untuk memenuhi kebutuhan hukum orang-orang pribumi untuk meminjam uang kepada kreditur namun karena mereka tunduk pada hukum adat, sehingga jaminan yang mereka berikan tidak dapat berupa hipotik.
d.      Privilege
Privilege (hak istimewa), merupakan hak yang memberi jaminan, walaupun bukan merupakan hak kebendaan tetapi ditempatkan dalam buku II KUHPerdata.
Hak Privilege adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang (Pasal 1134).
Menurut Pasal 1139 KUHPerdata, privilege khusus ada 9 (sembilan) macam, yaitu: 1) Biaya perkara; 2) tunggakan uang sewa tanah atau bangunan, dan biaya untuk memperbaikinya yang menurut undang-undang dipikul oleh si penyewa; 3) Harga pembelian barang bergerak yang belum dibayar; 4) Biaya menyelamatkan barang, biaya ini dikeluarkan untuk menjaga jangan sampai barang tertentu musnah; 5) Upah tukang yang mengerjakan sesuatu barang, seperti seorang penjahit, dan lain-lain. Pengertian "tukang" di sini tidak hanya termasuk mereka yang secara nyata melakukan pekerjaan itu, tetapi juga pengusaha yang memerintahkan pekerjaan tersebut kepasa pelaksana; 6) Piutang seorang pengusaha rumah penginapan, yang disebabkan oleh pemberian penginapan dan makanan kepada seorang tamu yang menginap; 7) Upah angkutan; 8) Biaya/upah seorang tukang batu, tukang kayu, dan tukang-tukang lain yang mendirikan, menambah atau memperbaiki bangunan-bangunan; dan 9) Piutang negara terhadap pegawai-pegawai yang merugikan pemerintah karena kelalaian, kesalahan, atau pelanggaran dalam melaksanakan jabatannya. (Privilege ini tidak menentukan urutannya).[12]


 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam bab pembahasan di atas dapat kita pahami bahwa hukum benda merupakn hukum yang mengatur mengenai segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum. Adapun yang menjadi obyek hukum benda adalah benda itu sendiri, selain dari tanah, air, dan segala kekayaanya. Sedangkan yang dimaksud dengan benda adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai atau  dimiliki. Semantara yang menjadi subyek hukumnnya adalah orang atau badan hokum.
Sistem pengaturan hukum benda adalah system tertutup yaitu setiap orang tidak boleh mengadakan hak kebendaan selain dari yang telah ditentukan dalam undang-undang. Sedangkan tempat pengaturan hokum benda terdapat dalam UU No. 5 tahun 1960, UU No. 4 tahun 1996, UU No. 4 tahun 1999, dan UU hak kekayaan intlektual.
Benda itu banyak macamnya dan diklasifikasikan menjadi bebrapa bagian yaitu; benda bergerak dan tak bergerak, benda musnah dan tetap ada, benda dapat dibagi dan tak dapat dibagi, benda yang dapat diganti dan tidak, benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak.
Hak kebendaan adalah hak yang melekat atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Hak kebendaan memilik beberapa asas yaitu asas hokum pemaksa, dapat dipindahtangankan, individualitas, totalitas, tidak dapat dibagi, prioritas, publisitas, campuran, dan perjanjian memindahkan hak kebendaan.
Untuk mendapatkan hak kebendaan yaitu ada beberapa cara; pengakuan, penemuan, penyerahan, daluwarsa, pewarisan, pencptaan, dan ikutan. Adapun hapusnya hak kebendaan itu disebabkan oleh; bendanya lenyap, dipindahtangankan, pelepasan hak atas kebendaan, daluwarsa, dan pencabutan hak.

DAFTAR PUSTAKA

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Cetakan 41

Rachmadi usman, Hukum Kebendaan, (Sinar Grafika: jakarta, 2011)

Salim, Hukum Perdata Tertulis (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)

-------, Pengantar Hukum perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika: Jakarta, 2005)

Satrio, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan,Hak Tanggungan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti 2002)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2017)

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2006)

Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (terjemahan I.S. Adiwimarta), (Jakarta, Rajawali, 1992)

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT Intermasa, 2012)





[1] Salim, Pengantar Hukum perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika: Jakarta, 2005), hal. 90.
[2] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Cetakan 41, hal. 172
[3] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2006), hal.138
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2017), hal.63
[5] Ibid., hal.93
[6] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata.,hal.187
[7] Rachmadi usman, Hukum Kebendaan, (Sinar Grafika: jakarta, 2011), hal.48-49
[8] Ibid., hal.94
[9] Satrio, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan,Hak Tanggungan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti 2002), hal. 68-69
[10] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT Intermasa, 2012), hal. 157-158
[11] Salim, Hukum Perdata Tertulis (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 89
[12] Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (terjemahan I.S. Adiwimarta), (Jakarta, Rajawali, 1992), hal. 367

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan-Mata Kuliah Hukum Perdata"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel