PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM DALAM MENJAWAB PERUBAHAN SOSIAL


MAKALAH
PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM DALAM
MENJAWAB PERUBAHAN SOSIAL

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fatwa DSN-MUI

Dosen Pengampu :


 Disusun Oleh
ABDUL MANAN (1397471)


KELAS D


JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI METRO
TAHUN 1441 H/ 2019 M


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Dzat yang Maha sempurna, Maha pencipta dan Maha penguasa segalanya, karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu tentang “Idealisasi Fatwa Keagamaan dalam Abad Modern”. Makalah ini sengaja disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fatwa Dewan Syariah Nasional”.
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang turut berparsitipasi dalam proses penyusunan tugas ini, karena penulis sadar sebagai mahluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan. Serta rahmat dan karunia dari-nya.
Penulis berharap agar mahasiswa khususnya, dan umumnya dari para pembaca dapat memberikan kritik yang positif dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Metro, 15 Oktober 2019


Penulis



DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................       i           
KATA PENGANTAR.....................................................................................      ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................     iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..................................................................................     1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................      1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Islam dan Perubahan Sosial...............................     3           
B.     Penetapan Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash Hukum.......................      4           
C.     Nash Hukum yang Tetap (Tsabit) dan yang bisa Berubah
(Mutaghayyirat).................................................................................    13
D.    Hubungan Penetapan qath’iy- Zhanniy dan Tsabit-Mutaghayyir
dengan ijtihad...................................................................................    15

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.............................................................................................    20

DAFTAR PUSTAKA










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kajian sosiologi, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan wacana utama dimana penelitian dan perbedaan pendapat terjadi diantara para ahli sosiologi. Selama manusia sebagai pendukung dan pelaku kehidupan sosial dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Hukum Islam diturunkan oleh Allah bertujuan untuk mencegah kerusakan pada masyarakat dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka kepada kebenaran, keadilan dan kebijakan serta menerangkan jalan yang harus dilaluinya. Dalam hal ini bertumpu pada lima prioritas utama yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Dengan berlandaskan Alquran yang bersifat universal dan dinamis.
Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang fleksibel. Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas hukum ”langit’. Sebab, hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangitnamun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak tersebut dari area kekinian dan kedisinianOleh karena itu, pembahasan hukum Tuhan yang mengatur hak-hak manusia, melindungi dan menjamin hak tersebut jauh lebih banyak daripada pembahasan hak-hak Tuhan itu sendiri.
Kasus-kasus baru yang status hukumnya secara jelas dan tegas dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunah, tidak akan menimbulkan kontra dikalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang kedua sumber tersebut tidak secara jelas dan tegas menyebutkan hukumnya, menuntut umat Islam yang telah mempunyai kapasitas berijtihad untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Maka dari itu, banyak kita jumpai perbedaan pendapat diantara ulama’ mengenai satu kasus dikarenakan perbedaan  kondisi dan kultur tempat mereka tinggal. Dan disinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan “social engineering”. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian Hukum Islam dan Perubahan Sosial
2.      Apakah yg dimaksut Penetapan Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash Hukum
3.      Bagaimana Nash Hukum yang Tetap (Tsabit) dan yang bisa Berubah (Mutaghayyirat)
4.      Apa Hubungan Penetapan qath’iy- Zhanniy dan Tsabit-Mutaghayyir dengan ijtihad





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Islam dan Perubahan Sosial
1.      Hukum Islam
Kata Hukum Islam dalam Alquran tidak akan pernah didapatkan. Tapi yang biasa digunakan adalah syariat islam, hukum syara’, fiqhi, dan syariat ataupun syara’. Dalam literature Barat terdapat tern “Islamic Law” yang secara harfiah dapat disebut sebagai Hukum Islam. Dalam penjelasan terhadap kata “Islamic Law” sering ditemukan definisi keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Dari definisi ini terlihat bahwa hukum Isalm itu mendekat kepada arti syariat Islam. Namun dalam perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam yang melibatkan pengaruh-pengaruh luar dan dalam. Terlihat yang mereka maksud dengan Islamic Law, bukanlah syariat, tetapi fiqhi yang telah dikembangkan oleh fuqaha. Jadi kata hukum Islam dalam istilah bahasa Indonesia agaknya diterjemahkan dari bahasa Inggris.
Secara teknology Prof. Dr. Hasbi As-Shiddieqy memberikan hukum Islam yakni koleksi daya upaya pola ahli hukum untuk menetapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Ta’rif ini lebih dekat kepada fiqhi bukan pada syari’at.[1]
Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah mengemukakan bahwa hukum Islam dalam seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[2]
Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian hukum Islam menurut ta’rif ini mencangkup hukum syara’ dan juga mencakup hukum fiqhi karena arti syara’ dan fiqhi terkandung di dalamnya.
2.      Perubahan Sosial
Gillin mengatakan perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dan cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Selo Soemardjan merumuskan bahwasannya perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga ke masyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[3]
Dari dua definisi tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

B.     Penetapan Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash Hukum
Al-Quran dan Sunnah Merupakan nash yang diyakini datang dari Syar’I dan menjadi sumber pokok dalam islam. Sebagai sumber hukum, ada dua hal yang harus dipertanggung jawabkan terhadap kedua nash. Pertama, ontentitas, validitas, dan otoritas sumber datangnya atau dalam istilah ushul fiqh bisa disebut wurud atau tsubutnya. Jika Nash datang dari sumber yang valid, otentik dan otoritas, nash tersebut disebut Qath’i al-wurud. Namun, jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, nash itu disebut Zhanni al-wurud. Kedua, dari segi dalalahnya (meaning)-nya atau penunjukan suatu lafad terhadap maknanya. Jika penunjukan maknanya jelas, tegas, dan definitif, nash tersebut disebut Qath’i al-wurud. Adapun menuiscayakan adanya ta’wil dan beberapa kemungkinan makna maka nash itu termasuk dalam kategori Zhanni al-wurud.
Dalil qath’iy merupakan suatu dalil yang diyakini datang dari syara’ yaitu ayat-ayat Al-Quran, hadis mutawatir atau hadis masyhur (menurut ulama Hanafiyah). [4]Dari segi wurudnya, para Ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah al-Mutawatirah termasuk dalam Qath’i. Dengan demikian, selain dari keduannya termasuk dalam kategori Zhanni.
Kata Qath’I adalah masdar dari qath’a-yaqtha’u-qath’an yang berarti abana-yubinu-ibanata: misahkan,menjelaskan. Kata Qath’i juga berarti decided (jelas, pasti), definite (tertentu), positive (meyakinkan), final, definitive(pasti, menentukan). Kata Zhanni berasal dari kata Zhanni-yazhunnu-zhannu yang berarti syak (samar) atau yang masih berupa asumsi, dugaan, anggapan, dan hipotesis. Adapun kata al-dalalah berasal dari kata dalla-yudullu-dalalah yang berarti petunjuk. Berpangkat dari pengertian-pengertian diatas yang dimaksud dengan Qath’I al-dalalah adalah petunjuk yang pasti atau jelas, sedangkan Zhanni al-dalalah adalah petunjuk yang masih berupa dugaan, asumsi, hipotesis, atau masih samar,sehingga bisa memungkinkan timbulnya pengertian makna lain.[5]
Banyak ulama ushul yang memberikan definisi tentang Qath’I al-dalalah. Sebagai representasi dari definisi-definisi tersebut, penulis menukil pendapat dari tiga tokoh.
1.      Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan Qath’i al-dalalah. Sebagai suatu lafaz yang hanya dapat dipahami dengan satu makna dan tidak mengandung kemungkin ta’wil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami selain dengan makna yang yang ditunjukan  oleh lafaz tersebut. Seperti firman Allah yang artinya dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak ,(An-Nisa (4) : 12). Ayat ini pasti artinya bahwa suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua ,tidak yang lain. Contoh lain pada firman Allah pada soal menindak laki-laki dan perempuan yang berzina, yang artinya: “ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera”. (An-Nur (24):2). Ayat ini adalah pasti juga artinya baha had zina itu seratus kali dera,tidak lebih tidak kurang. [6]
2.      Muhammad Hasim Kamali mendefinisikan Nash qath’i adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna dan tidak terbuka untuk makna lain,atau hanya memiliki satu penafsiran lain. Contohnya adalah nash tentang suami terhadap harta istrinya yang telah meninggal sebagai berikut yang artinya: “dan bagimu separuh dari harta yang ditinggalnya istri-istri mu jika mereka tidak mempunyai anak, (An-nisa (4):12. Dan “ mereka yang menuduh wanita-wanita berzina dan gagal mendatangkan 4 orang saksi (untuk membuktikannya) maka derahlah mereka 80 kali”. (Al-Nur (24):4). Aspek-aspek ketentuan ini yaitu separuh,seratus,dan delapan puluh adalah dalil yang sudah jelas dan karena itu, tidak terbuka untuk menerima penafsiran. Begitu pula ketentuan Al-Qur’an mengenai rukun-rukun islam seperti shalat dan puasa dan juga bagian-bagaian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukm yang sudah ditetapkan semuanya qath’iy. Validatasnya tidak mungkin dibantah oleh siapapun,setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad (mujtahid).[7]
3.      Wahbah Al-Zuhaily Ketika menjelaskan Qath’i al-dalalah dalam kaitannya dengan Nash Al-Quran, mengemukakan bahwa nash Qath’I al-dalalah adalah lafaz yang dapat di pahami maknanya secara jelas dan hanya mengandung pengertian tunggal.
4.      Mustafa Sa’id Al-Khan mendefinisikan Qath’i al-dalalah sebagai teks yang lafal-lafalnya menunjukan makna yang dapat dipahami dengan jelas, tidak ada kemungkinan untuk melakukan ta’wil terhadapnya, dan tidak ada kemungkinan pemahaman selain dari makna tersebut.
Ke-qath’i dari pengguna dalil-dalil secara bersamasama dari gabungan dalil-dalil itulah ditarik secara induktif suatu kesimpulan dimana dalil-dalil tersebut salling berkolaborasi suatu kepastian. Prinsip-prinsip inilah yang melandasi konsep qath’i dalam pandangan Asy-Syathibi. Misalnya, rukun islam yang lima itu adalah qath’I dan ke- qath’i- annya  diperoleh dengan cara demikian, yakni dari berbagai ayat dan sunnah yang mengutkan akan kewajiban (rukun iman). Kepastian kita tentang wajibnya shalat fardhu yang lima, umpamanya, tidak semta-mata ditunjukan oleh firman Allah, “dan dirikanlah shalat” (Q.S. 2:43). Apabila orang yang berargumentasi atas kewajibanya shalat dengan semata-mata ayat tersebut, argumentasinya akan mengandung kekurangan dari berbagai segi. Kita mengetahui wajibnya shalat adalah dari kebersamaan firman tersebut dengan sejumlah bukti lain berkolaborasi untuk mendukung pemaknaan perintah (amr) dalam firman tersebut sebagai hal yang menunjukan wajib. Misalnya, kita menemukan pujian terhadap orang yang mengerjakan shalat, celaan terhadap orang yang meninggalkan shalatnya, adanya perintah untuk mengerjakannya dalam keadaan duduk bila tidak mampu berdiri, bahkan berbaring apabila tidak bisa duduk, dan sejumlah indikasi lain. Kebersamaan dalil-dalil ini yang menghasilkan kepastian (qath’i) pada kita atas wajibnya shalat.[8]
Muhammad Fu’ad Fauzi Faidullah menjelaskan secara terperinci, hal-hal yang termasuk ke dalam kriteria qathi dalalah adalah sebagai berikut.
1.      Al-Aqidat, yaitu tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.
2.      Al-Akhlaqiyyat, yaitu yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, seperti baiknya kejujuran, buruknya kebohongan, dan semacamnya.
3.      Al-Dharuruyyat, yaitu yang diketahui dari agama secara dhururi, meliputi Al-Muqqaddarat, yaitu ketentuan-ketentuan bilangan yang jelas dalam nash, seperti hukum bagi penzinah, hukuman qadhaf, kaffarah, ketentuan jumlah hari-hari ‘iddah dan sebagainya.
4.      Al-Yaqiniyyat, yaitu yang diketahui dari agama secara dharuri dari segi tsubut dan dalalah-nya dan tidak ada seorang pun dari kalangan ahli ijtihad yang menentangnya, seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, haramnya zina, mencuri, dan sebagainya.
5.      Al-Mu’abbadat, yaitu hukum-hukum juz’iyyat yang diberlakukan  abadi oleh syari’, seperti Fatdhuyystul ijtihad, Tautsiq Al-Ushul, tahrim idha Al-Rasul, dan sebagainya.
6.      Al-Qawa’id Al-Ammah, yaitu kaidah-kaidah yang selalu di lestarikan dalam tasyri hukum, seperti daf’u al-haraj, istisna al-dharurah, mana’al-idrar bi al-kharin dan sebagainya.
Sementara itu, sumber dan hukum atau dalil yang Zhanniy adalah dalil hukum yang tidak pasti menunjukan pengertian tertentu, tetapi hanya dapat diupayakan oleh seorang mujtahid atau mufassir pada dugaan yang kuat (zhan). Menurut Abdul Wahhab Khallaf nash yang Zhanniy adalah nash yang menunjukan suatu makna tertentu, tetapi masih mengandung kemungkinan ta’wil atau penyimpanan makna dari makna semula atau makna dasar kepada makna-makna yang lain. Menurut Wahbah Al-Zuhaily, Zhanniy al-dalalah adalah lafal yang mengandung lebih dari satu makan sehingga dapat di ta’wilkan. Sa’id Khan mendefinisikan Zhanniy al-dalalah sebagai teks lafal-lafalnya menunjukan suatau makna yang memungkinkan adanya pertakwilan dan pembelokan makna kepada selain makna yang ditunjukan oleh lafal-lafal tersebut.[9]
Pada umumnya  hukum-hukum dalam Al-Quran bersifat Kulli dan bersifat umum, demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qadh’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain dan kadang-kadang bersifat dhani’  yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.[10]
Senada dengan itu, A. Djazuli mendefinisikan nash yang Zhanniy al-dalalah-i dengan pengertian sebagai berikut: “Nash-nash yang Zhanniy al-dalalah-nya adalah nash-nash yang menunjukan kepada suatu arti, tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan dan di keluar dari arti tersebut kepada arti lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian istilah qath’iy dan zhanniy di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman , bagimana yang dituturkan A. Djazuli, bawasanya pembahsan istilah-istilah qath’iy dan zhanniy tersebut berhubungan dengan nilai suatu dalil syara’, baik dari sisi kebenaram sumbernya (al-tsubut atau al wurud), maupun kandungan maknanya (al-dalalah). Hal-hal yang qath’iy (tegas) memberikan kepastian nilai dalil yang tidak diragukan lagi. Hal ini berbeda dengan dalil yang Zhanniy, Yang nilai kebnarannya masih berupa dugaan. Perbedaan penilaian tersebut fungsi dari nash itu sendiri dan dalam penempatannya. Dalam sistem hukum islam, suatu dalil yang tertinggi nilanya dan merupakan pegangan yang mutlak dalam menetapkan suatu hukum, serta tidak termasuk terhadap lapangan ijtihad, adapun dalil yang bersifat Zhanniy merupakan lapangan bagi ijtihad, yang hasil dan ijtihad itu sendiri melahirkan ketetapan hukum ya ng Zhanniy juga.
Perincian yang termasuk dalam kriteria dzanni dalalah adalah sebagai berikut.
1.      Semua hukum amaliah yang bersumber dari dalil yang bersifat dzanni al-wurud, seperti Khabar ahad. Dalam hal ini mujtihad melakukan penelitian terhadap sanad.
2.      Semua hukum amaliah yang bersumber dari dalil yang dzanni al-dalalah. Dalam hal ini mujtihad melakukan penelitian terhadap makna yang dikehendaki (al-makna al-murad) oleh suatu dalil untuk mengetahui apakah makna yang dikehendaki adalah bersifat am,muthlaq, dan sebagainya. Selain itu, mujtihad meneliti sisi dalalah lafal terhadap makna yang terkandung penunjukan maknanya dengan ibarah, isyarah, atau dalalah al-iqtidha.

Dalam membicarakan qath’iy dan zhanniy, Qardhawi sebagaimana pakar ushul fiqh yang lain, berpendapat bahwa nash yang qath’i adalah nash yang bergabung di dalam dua hal yang ketetapannya bersifat pasti dabn penunjukannya bersifat pasti.[11]
Berbicara dalil yang penunjuakanya bersifat pasti (qadh’i al-dalalah), Qardhawi berpendapat bahwa nash yang hanya mempunyai satu penafsiran an satu arah pandangan, baik dari segi bahasanya maupun dari segi syaratnya. Atau ditunjukkan oleh berbagai konteksnya bahwa ia tidak mungkin mengandung  pemahaman yang lain.
Kalaupun diduga ada pertentangan antara dalil yang qadh’i dengan kemaslahatan, menurut Qardhawi, Kemungkinan penyebabnya dua kemungkinan. Pertama, kemaslahatan yang bersifat zhanni atau di ragukan dari akal pikiran manusia. Misalnya, menurutnya, kemaslahatan memperbolehkan riba untuk berpihak kepada investor asing, memperbolehkan khamar untuk kepentingan pariwisata dan wisatawan asing, atau mmbatalkan hukuman hudud karena penghormatan kepada negara modern. Kedua, boleh jadi nash yang dianggap qadh’i tersebut berbicara sesuatu yang tidak qadh’i  yang menjebak para peneliti yang tidak ahli dan belom memahami ilmu syariat atau belum mengusainya. Qardhawi memberikan contoh pandangan Abdul Hamid Al-Mutawali, seorang ahli hukum perundang-undang (taqnin), Qardhawi mengkritik seseorang selalu mengabaikan nash yang qadh’i seseorang yang menjadikan nash yang qadh’i menjadi zanniy. Ia memberikan contoh, pandangan Asmawi seorang hakim agung Mesir yang terkenal liberal tentang ayat keharaman khamar (minuman keras).[12] Yang berbunyi sebagai berikut :
* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? ÇËÊÒÈ  

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha  Pengampun”. (Q.S. An-Nisa [4]: 43)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Al-Maidah [5]: 90)
Menurut Asmawi, dengan ayat-ayat tentang khamar di atas, tidaklah menunjukan pengharaman yang tegas, namun hanya untuk diperintahkan untuk menjauhi dengan melihat lafaz “faj tanibuh”.  Menurut Qardhawi, pendapat Aswani ini sesuatu yang salah karena jelas menurutnya pengharman khamar bukan wilayah untuk ijtihad, namun sesuatu yang telah diketahui kepastiannya.
Dengan demikian juga, Qardhawi mengkritik orang yang memperdebatkan lagi tentang keharaman riba, daging babi, masalah hak waris perempuan, kewajiban menutup aurat, (hijab), kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, atau lain-lainnya yang secara tegas diungkapkan di dalam rumah tangga, atau lain-lainnya yang secara tegas diungkapkan di dalam Al-Quran secara qath’i al-tsubut wa al-dilalah dan para ulama telah sepakat dalam fiqh, amal, teori, dan praktik selama belasan abad sejak kelahiran islam. Dengan demikian, di atas, di antara konteks dan dalil itu ialah, konsensus umata atas pemahaman tersebut serta kesepakatan berbagai kelompok dari mazhab umat atas pemahaman itu.
Sementara menurut Al-Qardhawi,  Zhanniy al-dalalah adalah dalil-dalil yang memungkinkan penafsiran yang berbeda dan dijadikan wilayah ini sebagai lapangan ijtihad sehingga dimungkinkan adanya pertarungan berbagai paham sehingga figh islam mengalami perkembangan dan regenerasi. Ia berkata:
Artinya:“….dan ada daerah yang terbuka, yaitu daerah hukum-hukum yang zhanniyah baik tsubut atau dalalahnya. Ini adalah hukum-hukum figh yang paling luas, ia adalah lapangan ijtihad, tempat bertarungnya berbagai paham sehingga figh mengalami kemajuan, dinamika,dan pembaharuan.”
Dengan demikian, pandangan Al-Qardhawi tentang qath’iy dan zhanniy hampir sama dengan keumuman para ulama ushul fiqh, namun ia menekankan bahwa harus ada sikap yang jeli dan teliti dalam menelaah dan menyeleksi mana hukum-hukum yang bersifat qath’i dan mana yang zhanniy. Dalam titik ini, Al-Qardhawi belum qath’iy dan zhanniy al-dalalah, karena, bagaimanapun, dalam hal ini sering terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan suatu dalil atau masalah hukum termasuk qath’iy dan zhanniy.[13]

C.    Nash Hukum yang Tetap (Tsabit) dan yang bisa Berubah (Mutaghayyirat)
Dalam syariat Islam Terhadap aspek-aspek yang tepat (tsabat) yang menjadi sandaran figh Islam. Syariat merupakan bagian dari fitrah dan realitas manusia yang selalu ada dan senatiasa melekat kuat. Dalam syariat islam terhadap pula berbagai kaidah yang mengandung unsur-unsur dinamis yang memungkinkan syariat tersebut tetap berlaku di setiap zaman tentang persoalan ini, Yusuf Qardhawi mengatakan:
di antara manusia, ada orang yang menyembunyikan rasa takut, untuk menyerukan kembali kepada syariat dan figh islam serta mengambil syariat sebagai asas penetapan hukum dan putusan. Sumber ketakutan tersebut ada 2 macam, yakni prinsip ketuhanan dan sifat keagamaan yang ada didalam fiqh islam.Telah disepakati bahwa kedua sumber pokok figh islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pandangan mereka hal demikian menuntut adanya pemberian status “tetap”
Dan “statis” terhadap figh islam serta upaya mendudukan rasio manusia di hadapan figh tersebut dengan sikap pasrah dan taklid; tanpa sikap kreatif, karena tidak ada ruang bagi akal di hadapan waktu adan tidak ada tempat bagi ijtihad di hadapan nash”
Senada dengan pernyataan diatas, Abdul Halim Uways berpendapat bahawa di antara spesifikasi yang paling menonjol dalam hukuman islam adalah wataknya yang mengakomodasi stabilitas (tsabat) dan elastisitas sekaligus di dalam keteraturan dan keseimbangan yang tidak ada bandingannya. Oleh karena itu, fiqh Islam cenderung dikatakan tetap secara mutlak yang membuat kehidupan dan aspek kemanusiaan menjadi jumud (stagnan). Sebaliknya, ia juga tidak dikatakan ketidakpastian serata ketidakabadian nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya. Akan tetapi, figh islam senatiasa berada ditengah-tengah diantara keduanya.
Sementara cabang-cabang syariat islam yang dikenal dengan masalah furu yang parsial bersifat elastis dan bisa berubah sehingga di dalamnya terdapat potensi dinamika. Keberadannya adalah seeperti berbagai perubahan persial yang terdapat di alam semesta dan kehidupan yang selalu mengikuti dinamika manusia. inilah yang menurut Al-Qardhawi bagian dari sunnatullah.
Selanjutnya, menurut Al-Qardhawi, mengapa figh islam mengandung aspek perubahan (mutaqhayyir) yang dalam bahasa ia al-murunah (elastisitas). Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1.      Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for granted segenap hal, bahakan dia memberikan adanya suatuy wilayah yang luas tanpa terukat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemuadahaan, dan rahmat bagi makhluk-Nya.
2.      Sebagian besar nash datang dengan orinsip-prinsip yang umum dan hukum-hukum universal yang tidak mengemukakan berbagai perincian dan bagian-bagiannya, kecuali dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, talak, warisan, dan lain-lain. Pada selain perkara-perkara itu, syariat islam cukup menetapkannya secara umum dan global. Misalnya, Allah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apa bila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkan dengan adil” (Q.S An-Nisa’ [4]: 58)
3.      Nash-nash yang berkaitan dangan hukum-hukum yang parsial menhadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu meperluas berbagia pemahamna dan penafsiran baik secara ketat maupun secara longgar, baik secara menggunakan hafiah teks maupun yang memanfaatkan subtansi dan maknanya.
4.      Dalam penafsiran wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukun isam terhadap ke mungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana yang beraneka ragam, yang menyebakan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaannya.
5.      Adanya prinsip mengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan membantu manusia karena kelemahan mereka di hadapan berbagai keadaan darurat serta kondisi kondisi yang menekan. (berbagai kondisi darurat menyebabkan bolehnya hal-hal yang terlarang).[14]

D.    Hubungan Penetapan qath’iy- Zhanniy dan Tsabit-Mutaghayyir dengan ijtihad
Ijtihad, menurut bahasa adalah pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan “sesuatu yang sulit”. Oleh sebab itu, salah apabila istilah ijtihad diterapkan pada pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan. Menurut ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuan, baik dalam menetapkan hukum-hukum syara maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.
Ali Yafie mengatakan bahwa sebagaian materi hukum dalam Al-quran dan as-sunnah sudah berbentuk dictum yang otentik (tidak mengandung pengertian lain), atau sudah diberi interprestasi otentik dalam sunah sendiri. Materi hukum seperti ini disebut qath’iyyat. Juga ada diantaranya yang sudah memperoleh kesepatan bulat dan diberlakukan secara umum sepeti ini disamakan dengan yang otentik tersebut,dan disebut dengan ijma. Wujud dan sifat ajaran agama atau hukum islam yang demikian itu tidak lagi masuk dalam ruang gerak ijtihad.
Adanya pembagian qah’iy-dzanny al dalalah tampaknya hubungannya sangat erat dan upaya membedakan antar unsur-unsur statis, tetap (tsawabit) dan unsur-unsur dinamis berubah (mughayyirat/tathawwurat) dalam hukum islam cukup merujuk pada nash yang qath’iy. Demikian juga yang taghayyur cukup merajuk pada nash yang dzanni. Namun, penelusuran tsawabit tahtawurat dengan diatas bukanlah satu-satunya jalan. Untuk mengetahui tsawabit dan tahtawurat harus juga memperhatikan kaidah al-wasail dan al-maqasid,yaitu bahwa dalam penerapan suatu hukum harus terdapat aspek yang merupakan sarana (al-wasil) da nada yang merupakan tujuan (al-maqasid) dan mana dalil yang kuli dan jus’iy. Menurut isham Thalimah, hal inilah yang menjadi karakter metodologi Al-Qardawi dalam rumusan ijhadnya.[15]
Alasan untuk dikatakan bahwa kesulitan mengklasifikasikant tsawabit dam taghayyurat itu antara lain disebabkan olh kesulitan menentukan dalil yang mana disepakti sebagai yang qhat’i untuk menetapkan hal-hal yang merupakan tsawabit. Yusuf Al-Qardawi sangat menekankan pengetahuan tentang qath’i dan zanni bagi kalangan mujtahid. Hal ini sangatlah penting untuk mengetahui wilayah ijtihad dan perubahan fatwa. Oleh karena itu, Qardhawi sangat memperhatikan sebagai prasyarat bagi siapa saja yang berijtihad.
Menurut Yusuf Qardawi, pengetahuan tentang qath’i dan zanni al-dalalah merupakan tanda dari kefakihan seseorang dan keluasannya dalam masalah-masalah fiqih. Sebab salah satu bencana yang menimpa meraka yang sedang mendalami fiqh dan orang yang terjun didalamnya adalah kekurangpahamn mereka secara mendalam tentang titik-titik penting ijma. Bahkan,dikalangan mereka terdapat pemahaman bahwa semua khazanah warisan fiqh yang kini telah menguasai pikiran banyak orang, baik dari kalangan orang yang sedang dalam belajar fiqih maupun yang telah terjun, merupakan titik kesepakatan yang tidak ada perselisihan lagi didalamnya.
Dalil-dalil qath’i harus tetap dipertahankan agar qath’iy, tidak boleh diubah menjadi dalil yang zanni. Demikian pula dalil yang zanni harus dipertahankan agar zanni tidak boleh diubah menjadi dalil yang qhat’iy. Al-Qardawi mengingatkan bahwa masalah-masalah yang bersifat qaht’i maka disana tidak ada ruang untuk melakukan ijtihad. Sesungguhnya ijtihad itu hanya bisa dilakukan dalam hal-hal yang bersifat zanni. Ia berkata “ Hendaknya kita semua ingat bahwa ruang ijtihad yang terbuka bagi umat adalah hukum-hukum yang dalilnya masih bersifat zanni. Adapun hukum yang bersifat qaht’i maka tidak ada jalan bagi siapa pu untuk melakukan ijtihad. Ke-zanni-an satu dalil dilihat dari sudut ke-tsubutannya ataupun dari segi dilalah atau dari keduanya”. [16]
Dengan demikian tidak boleh ada ijtihad pada hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an dengan dalil-dalil yang qaht’i. Seperti kewajiban puasa atas umas islam,keharamannya minuman keras, haramnya daging babi dan praktik riba, atau kewajiban memotong tangan pencuri jika tidak ada keraguan dan syarat-syarat yang terpenuhi. Selain itu, masalah-masalah lain yang dengan tegas telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-sunna, dan telah disepakati oleh umat serta telah diketahui secara umum sebagai tonggak penyatu pemikiran moralitas umat.
Dalam berijtihad Al-qardawi kembali menempuh jalan tengah (moderat), yakni ia ingin melakukan itsbatu tsawabit wa tagyirul mutaghayyirat  (mempertahankan hal-hal yang sudah baku dan mengubah hal-hal yang memang sifatnya dapat berubah/elatstis). Sikap ini merupakan jalan tengah diantara jalan ekstream lainnya yaitu:
1.      Isbatu tsawabit wa itsbat al mutagahyyirat ,(menetapkan yang sudah baku dan mempertahankan sifat elastis)
2.      Tagyirus tsawabit wa tagyir al mutaghayyirat (mengubah yang sifatnya baku dan mengubah yang sifatnya dinamis)
3.      Tagyirus tsawabit wa itsbat al-mutagahyyirat ( mengubah hal yang baku dan mempertahankan hal yang elastis)
Inilah keunggulan pemikiran Al-Qardawi tentang ijtihad kontemporer. Ia telah menetukan rambu-rambu yang jelas untuk berijtihad pada zaman ini. Sikap setiap muslim terhadap masalah-masalah ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’iy tsubut dan qath’iy ai-dalalah harus menerimanya dengan senang hati dan pasrah, seperti yang dijelaskan Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 36.
Berdasarkan pemikiran diatas,Al-Qardawi membantah seruan presiden tunisia Habib Bourguiba yang memperintahkan agar bagian warisan anak laki-laki disamakan bagian dengan anak perempuan. Dalam pidato pembukaan seminar internasional tentang kebudayaan dan kesadaran bangsa 18 mei 1974 di Tunis. Bourguiba mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan diturunkan sosial budaya tertentu. Pada saat itu kedudukan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan kedudukan perempuan, bahkan anak perempuan dikuburkan hidup hidup. Sementara situasi sekarang sudah berubah, kedudukan perempuan sudah sederajat dengan laki-laki dalam segala bidang seperti, dalam bidang pendidikan, aktivitas pertanian, lapangan pekerjaan kecuali dalam pembagian harta warisan. Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad karena hukum islam dapat mengikuti perkembangan sosial budya pada setiap zaman.
Ijtihad yang disebutkan Bourguiba itu tidak boleh dilakukan karena nash yang menjelaskan pembagia waris itu adalah nash yang qath’iy al-tsubut dan qath’iy al-dalalah. Seruan yang dikemukakan presiden Tunis ini dimunculkan kembali di Indonesia pada tahun 1980an oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali yang dikemas dengan gaya ilmiah. Menurut Al-Qardawi, mereka yang berani mempermainkan nash yang qath’iy dengan berpura-pura melakukan ijtihad tidak boleh dibiarkan berkembang, karena hukum hukum yang ditetapkan dengan dalil yang qath’iy merupakan pilar kesatuan akidah,pemikiran dan prilaku umat islam diseluruh dunia. Dalil-dalil yang qath’iy ini dibagikan gunung-gunung dibumi yang dapat melindunginy dari guncangan. Diantara yang mempermainkan ayat-ayat yang qath’iy adalah mereka yang berpendapat bahwa daging babi yang diharamkan oleh Al-Qur’an adalah babi yang makanannya kotor sehingga dagingnya dianggap najis. Adapun sekarang babi dipelihara dan diberimakan dengan makanan yang baik dan bersih, tidak sama dengan babi zaman dulu(pada zaman nabi) sehingga babi menjadi halal sekarang. Ajaran islam yang qath’iy merupakan identitas kepribadian umat yang harus tetap dipertahankan sepanjang zaman. Memang hukum berubah mengikuti perubahan sosial yang terjadi tetapi dalam konteks hukum islam,yang dapat berubah hukum yang dapat ditetapkan dengan dalil-dalil zanniy, bukan ditetapkan hal-hal yang sudah baku. Selain itu hukum tidak selamanya “menyerah” pada perubahan sosial. Karena hukum juga berfungsi sebagai rekayasa sosial ,pengendalian sosial, pengendalian masyarakat dan penyejahteraan masyarakat.  [17]






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam dalam Alquran tidak akan pernah didapatkan. Tapi yang biasa digunakan adalah syariat islam, hukum syara’, fiqhi, dan syariat ataupun syara. Sedangkan perubahan sosial adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Dalam syariat Islam Terhadap aspek-aspek yang tepat (tsabat) yang menjadi sandaran figh Islam. Syariat merupakan bagian dari fitrah dan realitas manusia yang selalu ada dan senatiasa melekat kuat.
Dengan demikian tidak boleh ada ijtihad pada hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an dengan dalil-dalil yang qaht’i. Seperti kewajiban puasa atas umas islam,keharamannya minuman keras, haramnya daging babi dan praktik riba, atau kewajiban memotong tangan pencuri jika tidak ada keraguan dan syarat-syarat yang terpenuhi. Selain itu, masalah-masalah lain yang dengan tegas telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-sunna, dan telah disepakati oleh umat serta telah diketahui secara umum sebagai tonggak penyatu pemikiran moralitas umat.


  

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh ,Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996)

Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)

Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)

Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)

Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2010)

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992)

Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996)

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press,1995)

Totok Jumantoro and Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Fikih (Jakarta: AMZAH, 2005)



[1] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992) h.12
[2] Ibid, h.17
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: rajawali Press,1995), h.337
[4] Totok Jumantoro and Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Fikih, (Jakarta: AMZAH, 2005.), h. 35.
[5] Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 55-57.
[6] Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh ,Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996).h.45
[7]Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996) h. 26-27
[8] Badri Khaeruman, h.57.
[9] Ibid, h. 59-60.
[10] Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2010), h. 142.
[11] Ibid. h.61-62
[12] Ibid. h. 64
[13] Ibid, h. 66
[14] Ibid. h.66-68
[15] Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 72-74.
[16] Ibid , h.74-75
[17] Badri Khaeruman, Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h.76-78.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM DALAM MENJAWAB PERUBAHAN SOSIAL"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel