PERBANDINGAN MAZHAB TENTANG WUDHU


MAKALAH

PERBANDINGAN MAZHAB TENTANG WUDHU

Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Fiqih Perbandingan Mazhab


Dosen Pengampu: Isa Ansori, S.Ag., SS., M.H.I


Disusun Oleh 
Danil Setiawan       (1802093002)
Ilham Pangestu      (1802092017)



Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1441 H/ 2019 M
KATA PENGHANTAR


Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan hidayah untuk berfikir sehingga dapat melaksanakan tugas untuk pembuatan makalah dalam upaya untuk memenuhi syarat dalam mata kuliah Perbandingan Mazhab yang kami beri judul “Perbandingan Mazhab Tentang Wudhu”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah yang kami sajikan  ini, tentunya tidak luput dari adanya berbagai kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati dan keterbatasan, kami mohon maaf kepada pembaca.
Dan kepada semua pihak kami mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya penyusunan makalah ini pada kesempatan selanjutnya. Dan kami ucapkan terimakasih terkhusus kepada Bapak Isa Ansori Selaku Dosen mata kuliah Bapak Isa Ansori, S.Ag., SS., M.H.I yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
            Demikian kiranya dan sebagai harapan kami, semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi para pembaca, semoga bisa diterima sebagai berkas ataupun penalaran yang mendasar.


Metro, 22 Oktober 2019
Penyusun,


Kelompok 8




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.     Tujuan Penulisan................................................................................... ....... 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wudhu....................................................................................... 2
B.     Hukum Wudhu............................................................................................ 2
C.     Rukun Wudhu yang Disepakati dan Diperselisihkan.................................. 3
D.    Menyentuh Perempuan yang Membatalkan Wudhu Menurut
Empat Imam Madzhab................................................................................. 8
E.     Menyentuh Farji, Qubul dan Dubur Menurut Empat Imam
Madzhab.................................................................................................... 10

BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................ 12

DAFTAR  PUSTAKA

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Wudhu adalah syari’at (tatanan) agama yang mempunyai makna bersih, baik bersih dari kotoran, najis, dosa atau lainya. Dengan melakukan wudhu seseorang diperbolehkan melakukan ibadah yang asalnya dilarang sebab hadats kecil. Dengan melakukan wudhu sesuai dengan kriteria yang ada di salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) maka diperbolehkan melaksanakan sholat, thawaf, atau yang lainya Penghalang ma’nawi dapat kembali sebab melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu, diantaranya menyentuh wanita.

Berbicara tentang menyentuh wanita apakah dapat memabatalkan wudhu’  maka  beragam perbedaan dikalangan madzhab al-arba’ah mengenai hal-hal yang termasuk kategori menyentuhnya wanita tersebut akan dapat membatalkan wudhu. Maka dari itu perlunya kita membahas dalam mkalah ini sehingga jelas dan terungkap hukum-hukum dikalangan ulama’ khususnya madzhab yang empat perihal masalah ini.

Namun sebenarnya Nabi sudah pernah melakukan wudhu sebelum isro’ mi’roj, yaitu ketika permulaan Nabi SAW di utus menjadi Nabi, kemudian beliau didatangi malaikat jibril untuk diajari wudhu yang kemudian beliau diajak untuk melakukan shalat dua raka’at (Shalat sunnah dua raka’at). Wudhu merupakan syari’at Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya, seperti memperluas basuhan muka dan memperpanjang basuhan tangan pada ajaran nabi kita.

Dengan melakukan wudhu sesuai dengan kriteria yang ada di salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali) berarti penghalang ma’nawi yang melarang melakukan hal yang disyari’atkan suci telah sirna, sehingga diperbolehkan melaksanakan sholat, thowaf, atau yang lainnya dari hal-hal yang di larang sebab hadats kecil. Penghalang ma’nawi dapat kembali sebab melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu, diantaranya mengeluarkan sesuatu dari salah satu dua jalan (depan dan belakang), namun beragam perbedaan dikalangan madzhab alm arba’ah mengenai hal-hal yang termasuk kategori membatalkan wudhu.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Wudhu?
2.      Bagaimana Hukum Wudhu?
3.      Bagaimana Rukun Wudhu yang Disepakati dan Diperselisihkan?
4.      Bagaimana Menyentuh Perempuan yang Membatalkan Wudhu Menurut Empat Imam Madzhab?
5.      Bagaimana Menyentuh Farji, Qubul dan Dubur Menurut Empat Imam

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Wudhu
2.      Dapat mengetahui Rukun Wudhu yang Disepakati dan Diperselisihkan
3.      Agar mengetahui tentang Menyentuh Perempuan yang Membatalkan Wudhu Menurut Empat Imam Madzhab
4.      Dapat mengetahui tentang Menyentuh Farji, Qubul dan Dubur Menurut Empat Imam
  



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wudhu
Yang dimaksud berwudhu ialah membasuh sebagian anggota badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil.[1]
Wudhu secara etimologi adalah kebersihan adapun pengertian wudhu adalah nama bagi suatu perbuatan, yaitu menggunakan air bagi anggota badan yang tertentu pula.[2] Ataupun juga mengalirkan air yang suci kepada anggota tubuh tertentu (wajah kedua tangan, kedua kaki, kepala) dengan cara tertentu.[3]
Menurut wahbah Al-Zuhaili pengertian wudhu adalah mempergunakan air pada anggota tubuh tertentu dengan maksud untuk membersihkan dan menyucikan.[4] Adapun menurut syara’, wudhu adalah membersihkan anggota tubuh tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.[5]
Adapun syarat-syarat sahnya seorang itu berwudhu diantaranya, Islam, tamyiz, tidak berhadats besar, dengan air mutlaq dan tidak ada hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit.[6]

B.     Rukun Wudhu yang Disepakati dan Diperselisihkan
Adapun  fardunya wudhu menurut madzab Syafi’i itu ada enam, keempat fardu seperti, membasuh muka,dua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kaki adalah fardu fardu yang sudah diterangkan dalam Al Qur’an surat Al-Maidah ayat 5, dan keempat fardu ini sudah disepakati oleh semua ulama’, sedangkan yang dua/lain, para ulama’ madzab memiliki pendapat mereka sendiri.
1.      Niat
Rukun wudhu yang pertama adalah niat, niat menurut bahasa adalah kesengajaan dalam hati dan  niat ini harus ada pada saat membasuh wajah karena letak niat itu pada saat membasuh wajah, jadi apabila niat itu diletakkan sebelum membasuh wajah maka wudhu itu tidak afsah, karena sudah jelas disebutkan bahwa :

الفروض التى لا يصحّ الوضوء الا بها ستّة الاوّل النية ويجب ان تكون مقرونة بأول جزء يغسله من الوجه

Artinya: “Beberapa fardu yang membuat keafsahan wudhu ada enam yang pertama adalah niat, niat itu wajib disertakan pada awal bagian yang dibasuh dari wajah”.[7]                          
Dan  menurut jumhur ulama’ berpendapat bahwa niat merupakan fardunya wudhu, yang bertujuan untuk mewujudkan ibadah atau pendekatan diri pada Allah SWT, jumhur beralasan dengan sunnah yaitu sabda nabi SAW:

عن عمر بن الخطاب رضي ا لله عنه انّ النبي صلى الله عليه وسلم قال انما الأعمال بالنية, وانما لكل امرء م نوى.  (متّفق عليه)

Artinya: “Dari umar bin khattab bahwa nabi SAW bersabda: sesungguhnya perbuatan itu hanya dengan niat,dan sesungguhnya (yang diperoleh) bagi setiap orang hanya sekedar apa yang diniatkannya”. (HR Muttafaq Alaih)
Dan Jumhur Ulama’juga menyamakan wudhu dengan tayammum. Jika niat disyaratkan pada tayammum, maka disyaratkan pula pada wudhu karena sama sama berthaharah menghilangkan hadas.[8]
Sedangkan menurut golongan Hanafiah niat bertujuan untuk mendapatkan pahala  oleh karena itu sunnah  bagi orang yang ingin berwudhu memulai dengan niat, alasan mereka adalah:
1.      Tidak adanya dalil dalam nash Al Qur’an yang secara tegas memerintahkan untuk niat
2.      Juga tidak adanya  hadist yang mewajibkan niat, adapun kewajiban niat pada tayammum menurut mereka tidak bisa disamakan dengan wudhu karena tayammum merupakan pengganti wudhu yang dilakukan dengan tanah.[9]
2.      Membasuh Muka/ Wajah
Rukun wudhu yang kedua adalah membasuh wajah, seperti yang sudah dijelaskan dalam Al Qur’an:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Artinya: “Hai orang orang yang beriman, jika kamu hendak mendirikan shalat maka basuhlah mukamu, tanganmu sampai siku, dan sapulah/ usaplah kepalamu, dan basuhlah kakimu sampai mata kaki”. (QS. Al-Maidah : 6)
  Disini para Ulama, sepakat bahwa membasuh muka adalah salah satu dari rukun wudhu. Adapun  hal yang perlu dicermati pada hal ini adalah mana batas batas wajah itu, batas  batas wajah itu adalah. Dari  panjangnya  antara tempat tumbuhnya rambut kepala sampai bawah dagu, dan lebarnya antara anak telinga kiri sampai anak telinga kanan.[10]
3.      Membasuh Dua Tangan Hingga Siku
  Rukun wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan, jadi sudah jelas bagian yang harus dibasuh adalah kedua tangan yang meliputi telapak tangan dan tangan bagian bawah/ hasta bersamaan dengan siku.
  Membasuh siku menurut jumhur Ulama’ hukumnya adalah wajib karena kata الى dalam ayat diatas mengandung pengertian مع  (bersama). Bila seseorang itu berwudhu dan tidak membasuh sikunya maka wudhunya dianggap tidak sah, tetapi golongan Malikiyah memandang membasuh sampai siku aadalah sunnah.
4.      Menyapu/Mengusap Sebagian Kepala
Rukun wudhu yang keempat adalah mengusap sebagian kepala, disini para ulama’ berbeda pendapat mengenai masalah ini
a.    Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa yang difardukan adalah mengusap sebagiannya saja walaupun sehelai rambut,tetapi ada juga yang mengatakan paling kurang tiga helai rambut.
b.    Ulama’ Malikiyah berpendapat bawa yang difardukan adalah mengusap seluruh kepala.
c.    Sedangkan Ulama’ Hanafiah memiliki dua pendapat yaitu yang dipegang oleh  ulama’ mutaakhirin bahwa yang difardukan adalah seperempat kepala, sedangkan ulama’ mutakoddimin, yang difardukan adalah sekedar tiga jari
d.   Adapun Ulama’ Hambaliah juga memiliki dua riwayat, yaitu sama dengan pendapat Ulama’ Malikiyah, dan yang kedua hanyalah seluas ubun ubun saja,tetapi disini pendapat pertamalah yang paling kuat.[11]

Letak perbedaan para ulama’ ini adalah mengenai potongan ayatومسحوا برؤسكم    :
  Ulama’ Syafi’i berpendapat bahwa ba’ disitu adalah bermakna ilsaq, yaitu makna yang hampir tidak punya makna lain kecuali makna itu saja, maka ayat itu adalah mutlak dan yang diminta disitu adalah melekatkan tangan ke kepala, dan ini bisa dilakukan dengan  mengusap sebagian atau seluruhnya, dan juga dibuktikan adanya beberapa hadist yang menerangkan itu.  
Adapun Ulama’ Maliki dan Hambali dalam pendapatnya yang lebih kuat mengatakan wajib mengusap seluruh kepala berpendapat bahwa ba’ disitu bermakna zaidah yaitu tidak mempunyai arti dan juga ilsaq yang bermaksud bahwa kepala dalam hakikatnya dimaksudkan pada seluruh bagiannya,berdasarkan itu maka menurut ulama’ Maliki dan hambali wajib mengusap seluruh kepala.[12]
  Golongan Hanafiah dalam pendapatnya yang mashur mengatakan wajib mengusap seperempat kepala dan yang wajib hanya satu kali. Walaupun dengan tumpahan air hujan atau sisa air yang tinggal sesudah membasuh. Argumentasi mereka adalah bahwa dalam pengertian membasuh harus terpenuh pengertian secara ‘urf  (kebiasaan).
5.      Membasuh Dua Kaki Hingga Mata Kaki
  Selanjutnya adalah membasuh dua kaki hingga mata kaki apabila tidak memakai sepatu (muzah) dan apabila memakai sepatu (muzah) maka diwajibkan mengusap sepatu (muzah)  atau membasuh kedua kaki, dan diwajibkan membasuh sesuatu yang ada pada kedua kaki seperti rambut,kutil ataupun tambahan jari, mata kaki adalah dua tulang yang menojol pada dua sisi kaki bagian bawah. Menurut jumhur Ulama’ kewajiban membasuh hanya satu kali. Selain penjelasan dari Al Qur’an di atas terdapat hadist yang menerangkan keharusan membasuh kaki.[13]

عن جابر قال : أمر نا رسول الله صلّى الله عليه وسلم اذا توضّأنا للصلاة ان نغسل ارجلنا. روه الدارقطن


Artinya : “dari Jabir beliau berkata: Rasul SAW menyuruh kami membasuh kaki bila kami berwudhu untuk shalat. (HR Al Daruqutni).



6.      Tadlik
Tadlik atau menyelat-nyelati menurut Imam Malik ialah menggosok anggota wudhu dengan tangan serta meratakan air, baik ketika sedang membasuh atau sesudah membasuh sebelum kering.[14]
Para Fuqaha berbeda pendapat tentang kedudukan tadlik ini, apakah termasuk rukun wudhu atau tidak. Maka dalam masalah ini terdapatlah dua pendapat.
Pendapat pertama yang mengatakan, tadlik adalah merupakan rukun wudhu. Pendapat ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki yang diriwayatkan oleh ‘atha, Mazni dan Abu Aliyah dari tabi’in. Dan riwayat lain juga dari madzhab Maliki mewajibkan tadlik apabila air tidak sampai ke anggota wudhu.
Pendapat kedua yang mengatakan tadlik bukan termasuk rukun wudhu dan hanya merupakan sunnat saja, yang berpendapat demikian ialah sebagian besar Fuqaha (Jumhur)
Adapun yang menyebabkan timbulnya perselisihan dalam masalah ini, kembali kepada arti membasuh dalam bahasa Arab. Sebagian ahli bahasa mengatakan yang dimaksudkan dengan membasuh ialah mengalirkan ke atas sesuatu yang dibasuh serta menggosoknya dengan alat pembasuh. Maka sesuai dengan arti ini bahwa yang dinamakan membasuh mengandung arti tadlik. Sebagian lagi berpendapat arti membasuh ialah hanya mengalirkan air ke atas sesuatu yang di basuh dan dengan arti yang demikian tadlik bukan termasuk dalam arti membasuh.
Pendapat pertama yang mengatakan tadlik merupakan salah satu rukun wudhu dikuatkan dengan dalil Al-Qur’an, Hadist, dan Qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an adalah dari ayat wudhu seperti yang telah kami kemukakan yang mana ayat tersebut memerintahkan membasuh muka, tangan dan kaki. Hanya menurut mereka bahwa Imam Qurthubi pernah mengatakan arti membasuh dalam bahasa Arab ialah melalukan tangan dan air di atas anggota wudhu. Maka menurut pengertian ini yang dimaksudkan dengan tadlik terkandung di dalam arti membasuh tadi yang di maksudkan dalam ayat wudhu.
7.      Tertib
  Tertib adalah mendahulukan yang seharusnya dahulu dan meng akhirkan yang seharusnya menjadi akhir, dalam bab ini tertib adalah mendahulukan membasuh wajah sebelum kedua tangan, membasuh kedua tangan sebelum mengusap kepala, mengusap kepala sebelum membasuh kedua kaki.
Tentang masalah tertib para ulama’berbeda pendapat dengan satu sama lain, ulama’ Syafi’iyah dan hambaliyah mengambil beberapa dalil yakni:
a.       Dalil dari Al-Qur’an : ayat itu sudah jelas menunjukkan arti tertib karena pastilah ayat yang sudah tertulis itu mempunyai maksud tertentu, yakni untuk menunjukkan bahwa urut urutan yang demikian itu wajib pada wudhu
b.      Dalil dari hadist : semua hadist mengenai wudhu Nabi dan parasahabat, menunjukkan adanya tertib menurut urutan yang disebutkan dalam ayat wudhu.
c.       Dalil dari qiyas : wudhu itu adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perbuatan yang berbeda beda, yang satu terikat dengan yang lain tentang terwujudnya tujuan yang dimaksudkan,. Oleh karena itu wajib tertib seperti halnya shalat dan haji

Ulama’ Malikiyah dan Hanafiyah mengambil dalil sebagai berikut:
a.       Huruf ‘athof yang berupa و tidak menunjukkan arti tertib,jadi apabila keseluruhan dalam wudhu sudah terlaksana walaupaun tanpa tertib itu sudah sah menurut syara’
b.      Karena adnya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari ‘Ammar tentang nabi SAW mengajarkan tayammum dengan mengusap tangan terlebih dahulu, dari hadist itu maka wudhu boleh tidak berurutan karena tayammum dan wudhu adalah sama
c.       Wudhu adalah bersuci sehingga tidak wajib tertib seperti halnya mandi, dan tidak wajib mendahulukan yang kanan dengan yang kiri.[15]

C.    Menyentuh Perempuan yang Membatalkan Wudhu Menurut Empat Imam Madzhab
Bersentuhan antara kulit lelaki dan perempuan yang bukan muhrim dan masing-masing sudah baligh.
1.      Imam Syafi’i mengatakan   bahwa persentuhan kulit antara laki-laki dewasa dan wanita dewasa (termasuk istri) membatalkan wudhu, walaupun tanpa dibarengi rangsangan syahwat.[16]  Tapi jika bukan wanita lain seperti saudara wanita maka tidak batal wudhunya.
2.      Imam Hanafi mengatakan wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
3.      Imam Maliki lebih kondisional dalam menyikapi hal ini, yakni bersentuhan antara lelaki dan perempuan itu membatalkan wudhu apabila:
a.       Lelaki yang menyentuh perempuan itu sudah baligh
b.      Sentuhan itu bermaksud untuk mendapatkan kenikmatan, atau tidak bermaksud begitu, tapi ternyata merasa nikmat.
c.       Perempuan yang disentuh kulitnya terbuka atau berpakaian tapi dengan kain yang tipis. Jadi kalau kain penutup itu tebal, maka tidak batal wudhuya, kecuali bila persentuhan itu dengan cara memegang salah satu anggota tubuh yang bertujuan untuk mendapat kenikmatan atau ternyata merasa nikmat meski awalnya tidak bermaksud demikian.
d.      Orang yang disentuh tergolong perempuan yang sudah dapat membangkitkan syahwat lelaki.
4.      Imam Hambali dengan tegas menetapkan bahwa sentuhan antara lelaki dan perempuan jelas membatalkan wudhu. Apabila sentuhan itu terjadi dengan syahwat tanpa ada penghalang. Tidak peduli apakah yang bersentuhan itu masih muhrim atau bukan, dan apakah yang disentuh itu masih hidup atau sudah mati, masih muda atau sudah tua, telah dewasa maupun masih kecil, asal telah mencapai umur yang biasanya sudah dapat menimbulkan syahwat. Madzhab ini menitik beratkan pada timbulnya syahwat atau tidak, jika sentuhannya timbul syahwat maka batal. Dalil yang menjadi pijakan beliau adalah : Artinya : “apabila kamu semua dalam keadaan sakit atau bepergian atau setelah buang hajat atau menyentuh perempuan…”(Al-maidah :6)

Dalam penjelasan lain disebutkan ulama’ berbeda pendapat tentang  hukum batalnya wudhu’ sebab menyentuh anggota seorang perempuan yang bukan mahram. Sebab iktilaf pada masalah ini karna penamaan lamsu menurut kalam arab. Ada yang  mengartikan kata lamsu menyentuh dengan menggunakan tangan dan ada pula yang mengartikan dengan bersetubuh (jimak). Sedangkan ulama’ yang menyatakan bahwa menyentuh itu membatalkan wudhu’mengemukakan argumentasi bahwa kata al-lams  pada hakikatnya berarti menyentuh dengan tangan akan tetapi makna secara majaz dapat berarti bersetubuh. jika suatu kata berada di antara  arti hakikat dan majas, maka kata itu di bawah ke arti hakikat sehingga ada dalil atas kemajasanya. Sedangkan ulama’ lain berpendapat bahwa jika suatu lafal banyak di pakai arti majas, maka arti majas lebih kuat digunakan di bandingkan dengan arti hakikat.[17]
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu. Menurut pendapat mereka hokum tersebut juga berlaku bagi orang yang menyentuh laki-laki yang memiliki paras cantik layaknya wanita, maka menyentuhnya dengan kenikmatan dapat membatalkan wudhu.[18]
Menurut Imam Hanafi : wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Menurut Imamiyah : menyentuh itu tidak dapat membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula orang yang berwudhu itu menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya tanpa adanya aling-aling, maka menurut Imamiyah dan Hanafi ia tidak membatalkan wudhu.
Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa menyentuh itu dapat membatalkna wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Imam Malik mengatakan : ada hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak tangan (bagian depan) maka membatalkan wudhu, tetapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu.
Hadits Nabi :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَ ضَّأ

Artinya : ”Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu”.
Dalam hal ini ulama’ madzab memiliki batas batasnya masing masing, ulama’ Hanafiyah berpendapat , menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, kecuali disertai dengan bertemunya dua kemaluan tanpa penghalang. Sementara ulama’ Syafi’iyah mengatakan bahwa menyentuh waita membatalkan wudhu dengan syarat orang yang disentuh bukan anak kecil atau saudara kandung dan tidak terdapat penghalang antara penyentuh dan yang disentuh. Sedangkan jika yang disentuh adalah rambut, gigi, atau kuku, maka tidak membatalkan wudhu, karena benda tersebut tidak merasakan sentuhan. Dalam hal ini ulama’ Malikiyah dan Hambaliyah mengambil jalan kompromi diantara dalil dali yang ada. Menurut mereka, menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu, walaupun yang disentuh saudari kandungnya jika tujuan menyentuh adalah mencari kenikmatan, atau dia merasakan kenikmatan karenanya, sedang kalau menyentuh tanpa sengaja maka tidak membatalkan wudhu. dan juga apabila menyentuh laki laki yang memiliki paras cantik, bila menyentuhnya maka juga membatalkan wudhu, tetapi tidak membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh orang tua renta, baik laki laki atau perempuan yang tertutup kemungkinan untuk menikah, karena mereka dihukumi sama dengan anak kecil.[19]

D.    Menyentuh Farji, Qubul dan Dubur Menurut Empat Imam Madzhab
Dalam madzhab Syafi’i, dubur itu termasuk al-farju. Maka dalil yang menunjukkan batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, dijadikan sebagai dalil untuk menunjukkan bahwa menyentuh dubur termasuk pembatal wudhu.
Menyentuh kemaluan anak Adam dengan bathinnya telapak tangan dari diri orang yang berwudhu dan lainnya, baik itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, masih hidup atau sudah mati.[20]
Yang tepat, dalil-dalil yang ada menunjukkan batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, bukan karena menyentuh dubur. Hukum asalnya adalah tetap dalam keadaan suci, tidaklah batal. Hukum asal ini bisa berubah kalau ada dalil pemaling yang meyakinkan.
1.      Hanafiyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan, tidak membatalkan wudhu maupun menyentuh kemaluan sendiri atau orang lain. Mereka berpegang kepada hadits yang artinya: Seorang bertanya kepada Nabi: “ Saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu shalat, haruskah ia berwudhu? Nabi menjawab, “Tidak, sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
2.      Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan wudhunya batal dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Orang itu menyentuh kemaluannya sendiri.
b.      Orang itu sudah balig.
c.       Sentuhan itu tanpa batas penghalang.
d.      Sentuhan itu dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung jari tangan.
Golongan Malikiyah, tidak mempersoalkan, apakah sentuhan itu merasakan nikmat atau tidak, asal sudah memenuhi ketentuan di atas, wudhu menjadi batal.
3.      Syafi’iyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan orang lain, membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu. Sebagai dasarnya adalah hadits : ”Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu”’. (HR,Lima Ahli Hadist). Sabda Rasullah: “Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (H.R. Ahmad).  
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian dahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa pengahalang batas, membatalkan wudhu. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk pengertian di atas, baik menyentuh kemaluan anak kecil maupun orang mati. Hendaknya diingat bahwa pengertian “farj” dalam hadits di atas adalah “qubul dan dubur”. Dengan demikian, menyentuh dubur pun membatalkan wudhu.
4.      Hambaliah  pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun membatalkan wudhu, sedangkan Syafi’iyah sentuhan dengan telapak tangan bagian dalam, membatalkan wudhu, dengan belakang telapak tangan tidak.[21]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berwudhu ialah membasuh sebagian anggota badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil.
Adapun  fardunya wudhu menurut madzab Syafi’i itu ada enam, keempat fardu seperti, membasuh muka,dua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kaki adalah fardu fardu yang sudah diterangkan dalam Al Qur’an surat Al-Maidah ayat 5, dan keempat fardu ini sudah disepakati oleh semua ulama’, sedangkan yang dua/lain, para ulama’ madzab memiliki pendapat mereka sendiri.
Menyentuh wanita tanpa aling-aling itu membatalkan wudhu ini menurut Syafi’i, selama yang disentuh itu bukan muhrimnya. Menurut Hanafi bahwa menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu selama tidak ada syahwat di situ. Imamiyah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu tidak dapat membatalkan wudhu secara mutlak.
Untuk menyentuh kemaluan Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu, baik dengan aling-aling maupun tanpa aling-aling, karena mereka berpendapat bahwa itu masih merupakan anggota tubuh. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hambali menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu, baik menyentuh dengan telapak tangan maupun dengan punggung tangan. Maliki berpendapat bahwa apabila menyentuh kemaluan dengan telapak tangan maka hal itu dapat membatalkan wudhu, namun apabila memakai punggung tangan tidak dapat membatalkan wudhu.
Menyentuh kemaluan anak adam dengan bathinnya telapak tangan dari diri orang yang berwudhu dan lainnya, baik itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, masih hidup atau sudah mati

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Qadir Ar Rahbawi, Ash Sholah alaa Madzhaahib Al Arba’ah terj. Abu Firly Bassam Taqiy, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011)

--------, Fiqh Shalat: Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007)

Ibid. Abdu al-Rahman al-Jaziri, Silsilah –Arba’ah, Juz 1, (Mesir: Dar al-Fikr, 1996)

Ibnu Kosim Al Ghozi,  Fathul Qorib Mujib  (tt: Darul Ihya Kitab Arabiyah, 2005)

Imron Abu Amar, Fathul Qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983)

Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah,  (Ponorogo: Stain Po Press, 2009)

Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Mazhab, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000)

Mahmud Syaltut dan Ali As Sayis, Perbandingan Madzab dalam Masalah Fiqih (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005)

Muh. Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam. (Yogyakarta : Dian, 1987)

Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 1999)

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima mAdzhab. (Jakarta : Lentera)

Nawawi Al jawi, Simaril Yani’ah Fi Ar Riyaadil Badi’ah  (tt: Al Haromain Jaya Indonesia, 2011)

Rahman Ritongga,Zainuddin,  Fiqih Ibadah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, (Mesir: Daar al-Fikri)

Zainuddin Rahman Ritongga, Fiqih Ibadah  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)

 

 





[1] Muh. Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam. (Yogyakarta : Dian, 1987). hal. 42
[2] Rahman Ritongga,Zainuddin,  Fiqih Ibadah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal  29.
[3] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah,  (Ponorogo: Stain Po Press, 2009), hal 16.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, (Mesir: Daar al-Fikri), hal.359-360.
[5] Ibid. Abdu al-Rahman al-Jaziri, Silsilah –Arba’ah, Juz 1, (Mesir: Dar al-Fikr, 1996), hal. 44.
[6] Muh. Dachlan Arifin. Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam, hal. 42
[7] Nawawi Al jawi, Simaril Yani’ah Fi Ar Riyaadil Badi’ah  (tt: Al Haromain Jaya Indonesia, 2011),  hal. 20.
[8] Zainuddin Rahman Ritongga, Fiqih Ibadah  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal  39.
[9] Ibid, hal.38
[10] Nawawi Al jawi, Simaril Yani’ah Fi Ar Riyaadil Badi’ah, hal. 20.
[11] Mahmud Syaltut dan Ali As Sayis, Perbandingan Madzab dalam Masalah Fiqih (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005),  hal. 11
[12]  Ibid, hal 11-12
[13] Ibnu Kosim Al Ghozi,  Fathul Qorib Mujib  (tt: Darul Ihya Kitab Arabiyah, 2005), hal 5.
[14] Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Mazhab, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), hal, 96
[15] Mahmud Syaltut dan Ali As Sayis, Perbandingan Madzab dalam Masalah Fiqih, hal. 26
[16] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 75
[17] Rusdy,Ibnu,Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid,hal 66-68
[18] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqh Shalat: Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), hal. 95.
[19] Abdul Qadir Ar Rahbawi, Ash Sholah alaa Madzhaahib Al Arba’ah terj. Abu Firly Bassam Taqiy, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011), hal. 99- 101.
[20] Imron Abu Amar, Fathul Qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983), hal. 26.
[21] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima mAdzhab. (Jakarta : Lentera), hal. 25

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "PERBANDINGAN MAZHAB TENTANG WUDHU"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel