PERBANDINGAN FIQIH IBADAH EMPAT MADZHAB TENTANG QUNUT SUBUH, MENGGERAKAN JARI DALAM TASYAHUD DAN PENYEBAB DAN TEMPAT SUJUD SYAHWI


MAKALAH
PERBANDINGAN FIQIH IBADAH EMPAT MADZHAB
TENTANG QUNUT SUBUH, MENGGERAKAN JARI DALAM TASYAHUD DAN PENYEBAB DAN TEMPAT SUJUD SYAHWI

Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Fiqih Perbandingan Mazhab



FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
1441 H/ 2019 M



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum . Wr . Wb.
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan hidayah untuk berfikir sehingga dapat melaksanakan tugas untuk pembuatan makalah dalam upaya untuk memenuhi syarat dalam mata kuliah Perbandingan Mazhab.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah yang kami sajikan  ini, tentunya tidak luput dari adanya berbagai kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati dan keterbatasan, kami mohon maaf kepada pembaca. Dan kepada semua pihak kami mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya penyusunan makalah ini pada kesempatan selanjutnya. Dan kami ucapkan terimakasih terkhusus kepada Bapak Isa Ansori Selaku Dosen mata kuliah Perbandingan Mazhab Bapak Isa Ansori, S.Ag., SS., M.H.I yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Demikian kiranya dan sebagai harapan kami, semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi yang membutuhkan, semoga bisa diterima sebagai berkas ataupun penalaran yang mendasar.

Wassalamu’alaikum . Wr . Wb.
Metro, 03 November 2019
Penyusun,


Kelompok 10



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.     Tujuan Penulisan................................................................................... ....... 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bacaan Qunut............................................................................ 3
B.     Perbandingan 4 Madzhab Tentang Bacaan Qunut pada Subuh.................. 4
C.     Menggerakkan Jari dalam Tasyahud............................................................ 7
D.    Pengertian Sujud Syahwi..................................................................... ....... 9
E.     Pendapat 4 Madzhab Tengang Penyebab dan Tempat Sujud Syahwi. ....... 9

BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................ 14

DAFTAR  PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Banyaknya Aliran-Aliran Islam Di belahan dunia, bahkan di Negara kita yang tercinta inipun banyak sekali Aliran-Aliran Islam. Diantara Aliran-aliran itu ada yang dianggap sesat dan ada juga yang di anggap benar oleh para peneliti dan pemikir-pemikir Islam. Namun, semua orang berhak berpendapat dan menjalankan Ibadahnya masing-masing, tapi jika aliran itu di ikuti tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist maka telah di anggap sesat dan menyesatkan.
Banyaknya aliran-aliran Islam di Negara Indonesia membuat banyaknya perbedaan-perbedaan meskipun itu juga di sandarkan pada Al-Qur’an dan Hadist. Namun, semua perbedaan itu terlahir dari para pemikir-pemikir Aliran tersebut, membuat satu aliran dengan aliran yang lain menjadi berbeda. Perbedaannya pun ada yang relatif kecil dan ada juga relatif begitu besar. Sekarang coba kita perhatikan saja masalah peribadatan antar Aliran itu sendiri sudah berbeda.
Sholat merupakan salah satu tiang islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk ditinggalkan.
Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci. Shalat merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Bacaan Qunut?
2.      Bagaimana Perbandingan 4 Madzhab Tentang Bacaan Qunut pada Subuh?
3.      Bagaimana Perbandingan 4 Madzhab Tentang Menggerakkan Jari dalam Tasyahud?
4.      Apa pengertian Pengertian Sujud Syahwi?
5.      Bagaimana Pendapat 4 Madzhab Tengang Penyebab dan Tempat Sujud Syahwi?  

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengatahui Pengertian Bacaan Qunut
2.      Dapat mengatahui Perbandingan 4 Madzhab Tentang Bacaan Qunut pada Subuh
3.      Agar mengetahui Perbandingan 4 Madzhab Tentang Menggerakkan Jari dalam Tasyahud
4.      Untuk mengetahui pengertian Pengertian Sujud Syahwi
5.      Dapat mengetahui Pendapat 4 Madzhab Tengang Penyebab dan Tempat Sujud Syahwi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bacaan Qunut Pada Sholat Subuh
Qunut menurut arti bahasa berarti do’a, sedangka menurut istilah syara’ berarti sebutan atau zikir yang telah di tentukan. Lafal do’a qunut tidak ditentukan (tidak harus pakai lafal yang ditentukan), artinya seseorang boleh berqunut dengan menggunakan ayat Al-Qur’an yang mengandung kalimat do’a dengan niat membaca qunut, maka dia (yang membaca ayat) dinyatakan telah memperoleh kesunnatanya.[1] Dan juga lafal qunut berkaitan dengan kalimat-kalimat pujian.
Demikian pula kata qunut dalam ungkapan ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain bacaan doa, yaitu taat, berdiri, khusyuk, diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih. Selain itu makna tersebut juga terdapat dalam hadits:
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Artinya : “Sebaik-baik shalat adalah yang qunutnya panjang.” (Sahih, HR. Muslim).
Maksudnya, yang lama berdirinya. Inilah maknanya berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim.[2]
Dengan demikian, bisa jadi makna hadits di atas-apabila dikatakan sahih-ialah bahwa Rasulullah tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama, dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia. Sebab, memang shalat subuh yang beliau lakukan selalu panjang/lama. Ayat yang beliau baca sekitar 60-100 ayat. Ibnul Qayyim mengatakan,[3] “Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya Rasulullah SAW. Melakukan qunut setiap subuh dan berdoa dengan doa sebagaimana yang dibaca Rasulullah SAW. serta para sahabat mengaminkannya, tentu penukilan umat semuanya pada perbuatan tersebut sama dengan penukilan mereka dalam hal mengeraskan bacaan dalam shalat.”
Bacaan qunut dibaca pada shalat subuh ketika iktidal pada rokaat kedua, dan qunut dibaca dengan mengangkat kedua tangan setinggi pundak. Dan juga setelah bacaan qunut disunahkan untuk membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dan keluarganya, dimana hal ini tidak disunahkan dibaca awal bacaan qunut.[4]
Membaca do’a qunut pada sholat subuh hukumnya sunnah Ab’ad. dan apabila lupa atau disengaja tidak dibaca maka harus diganti dengan sujud sahwi. Karena Do'a qunut subuh selalu dikerjakan oleh Nabi SAW, pada setiap shalat subuh, Nabi  tidak pernah meninggalkan sampai akhir hayatnya sebagaimana dalam hadisnya.[5] Bacaan qunut sebagaimana Rusulullah membecanya setiap sholat subuh.

B.     Pendapat 4 Madzhab tentang bacaan Qunut Subuh
1.      Pendapat Madzhab Imam Syafi’I
Qunut subuh adalah masalah khilafiyah, artinya para ulama berbeda pendapat dalam hal itu. Para ulama pengikut Imam Syafi’I mereka mengatakan bahwa qunut saat sholat subuh adalah sunnah ab’ad. Ulama pengikut Imam Abu Hanifa mengatakan jika qunut subuh itu tidak sunnah. Masing-masing mempunyai hujjah yang bersumber dari Rasulullah SAW.
Kalau kita kembali kepada ilmu para ulama ada banyak sebab perbedaan pendapat para ulama yang akan menjadikan orang yang sadar akan semakin kagum dengan kinerja para ulama terdahulu. Bahkan mereka senantiasa saling menghormati tanpa harus mencela yang berbeda denganya. Bagi kita adalah mengikuti mereka bukan mencela. Yang mencela orang yang tidak berqunut itu sama artinya mencela Imam Abu Hanifa, begitu sebaliknya yang mencela orang yang berqunut itu sama artinya mencela Imama Syafi’i.
Menyikapi hal itu kita harus bijak, jangan membuat keanehan di masyarakat  kita. Karena tidak semua orang awam tahu perbedaan ini. Maka jika kita hidup di Negeri orang tidak berqunut seperti India, maka kita jangan memaksa mereka mengikuti kita yang ber Qunut. Karena hal itu akan membuat resah ummat sehingga dengan keresahan itulah umat akan saling tunjuk, saling menjatuhkan, tidak menyadari akan perbedaan. Seperlunya kita salaing menghargai akan keyakinan mereka karna mereka punya hak untuk melakukan segala hal yang menjadi kewajiban mereka. Begitu juga jika kita pengikut Imam Abu Hanifa lalu kita ke Indonesia yang masyarakatnya pengikut Imam Syafi’i jangan kita membuat resah mereka dengan kita memaksa mereka untuk tidak berqunut.
Dalam kitab Al-Majmu’ Syarahnya kitab Muhazzab jilid III/504 “Dalam madzab syafi’i disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak’’. Dengan hukum inilah para Ulama Salaf dan orang-orang yang sesudah mereka, setiap akan sholat subuh maka dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan kita setinggi pundak seraya kita membaca qunut atau ayat Al-Qur’an yang mengandung kalimat do’a atau pujian, bacaan qunut yang di sunahkan sebagaimana yang dibaca Nabi Muhammad SAW.
Pendapat ulama berbeda-beda mengenai qunut dan kemuthlaqannya. Ada yang berpendapat qunut muthlaq hanya dilakukan pada waktu sholat witir sebelum ruku’ (Hanafi) atau sesudah ruku’ (Hanbali). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu hanya disunnahkan pada waktu sholat witir sebelum ruku’ kedua (Maliki). Ada pula yang sholat witir pertengahan terakhir bulan Ramadlan sebelum ruku’ terakhir (Syafi’iy). Berdasarkan telaah atas beberapa hadis qunut, maka qunut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni; qunut nazilah, qunut witir dan qunut shubuh.

2.      Pendapat Madzhab Hanafi dan Hanbali
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali membaca qunut pada sholat shubuh hukumnya tidak boleh, sebab membaca qunut itu tempatnya hanya di waktu mengerjakan sholat witir saja dengan berdasar hadis, yang artinya :
“Abu bakar bin abi syaibah telah menceritakan hadis kepadaku, (Abu Bakar berkata) Abdullah bin Idris, Hafs Bin Ghiyats dan Yazid Bin Harun telah memberi khabar kepadaku. Dari Abi Malik Al-Asyja’i, Saad bin Thoriq berkata: aku berkata bapakku: hai bapak “sesungguhnya engkau telah sholat di belakang Rasulullah saw. Abu Bakar, Umar, Utsman (di Madinah) dan Ali bin Abi Tholib disini (Kufah), selama lima tahun adakah dia membaca qunut dalam sholat shubuh? ia menjawab: Hai anakku “qunut itu hal baru”.

3.      Pendapat Madzhab Maliki
Menurut mahzab Maliki, membaca doa qunut diwaktu mengerjakan sholat shubuh hukumnya mustabah, yakni sesuatu perbuatan yang disukai oleh Nabi Muhammad saw, tetapi tidak dibiasakan seperti hadis Nabi Muhammad.
“Sulaiman Abu Harb dan Musaddad telah menyampaikan hadis kepadaku, keduanya (Hammad) telah diberi khabar dari Ayub, Ayub dari Annas bin Malik, ia ditanya: bahwasanya ia (Annas bin Malik. ra)ditanya:apakah Rasulullah saw membaca qunut dalam sholat shubuh ? ia menjawab, “ya”, maka ditanyakan kepadannya : sebelum ruku’atau sesudahnya?, Jawabannya ‘sesudah ruku’, Musaddad berkata ‘hanya membaca sebentar”.
Imam An Nawawi menyatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa qunut sholat shubuh adalah sunah, karena hadis sholat di dalamnya, dari Annas ra bahwa Rasulullah saw, tidak pernah meninggalkan qunut di dalam (sholat) shubuh hingga beliau meninggal dunia”. (Hadis ini diriwayatkan oleh Al Hakim Abu Nabdilah dalam kitab al-Arba'in dan dia berkata shahih”.

C.    Menggerakkan Jari dalam Tasyahud
Ulama salaf dari 4 madzhab punya teknis yang berbeda sati dari yang lainnya dalam urusak memberikan isyarat dengan telunjuk ini, dan juga tentu di dalamnya di bahas terkait apakah boleh menggerakkan atau tidak.[6]

1.      Madzhab al-Hanafiyah
أَنَّهُ لَيْسَ لَنَا سِوَى قَوْلَيْنِ: الْأَوَّلُ وَهُوَ الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ بَسْطُ الْأَصَابِعِ بِدُونِ إشَارَةٍ. الثَّانِي بَسْطُ الْأَصَابِعِ إلَى حِينِ الشَّهَادَةِ، فَيَعْقِدُ عِنْدَهَا وَيَرْفَعُ السَّبَّابَةَ عِنْدَ النَّفْيِ وَيَضَعُهَا عِنْدَ الْإِثْبَاتِ، (ابن عابدين – رد المحتار على الدر المختار 1/509(
Artinya : “dalam madzhab kami hanya ada 2 pendapat: meregangkan jari-jari tanpa memberi isyarat,  merenggangkan jari-jari sampai syahadat lalu menggenggamnya dan mengangkat telunjuk ketika nafiy (laa illallah) dan menurunkannya lagi ketika itsbat (illa Allah)”. (Ibn Abidin dalam Radd al-Muhtar 1/509)

Dari teks yang disebutkan oleh Imam Ibnu ‘Abdin dalam kitabnya, ketentuan madzhab Imam Abu Hanifah dalam hal ini adalah sama sekali tidak memberikan isyarat, atau memberikan isyarat namun hanya sebentar saja, yaitu ketika ia membaca kalimat “Laa Ilaaha” [لا إله], dan menurunkannya lagi ketika kalimat “Illallah” [إلا الله].
2.      Madzhab al-Malikiyah
)وَ) نُدِبَ (تَحْرِيكُهَا) أَيْ السَّبَّابَةِ يَمِينًا وَشِمَالًا (دَائِمًا) فِي جَمِيعِ التَّشَهُّدِ وَأَمَّا الْيُسْرَى فَيَبْسُطُهَا مَقْرُونَةَ الْأَصَابِعِ عَلَى فَخِذِهِ (أحمد الدردير – حاشية الدسوقي على الشرح الكبير للدردير 1/250 – 251(
Arinya : “Dan disunnahkan menggerak-gerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri seterusnya selama tasyahhud. Adapun tangan kiri, direnggangkan jari-jarinya di atas paha kiri” (al-Dardir dalam al-Syarh al-Kabir 1/250-251)

Dari teks yang disebutkan Imam Ahmad al-Dardir ini, ketentuan madzhab al-Malikiyah sebegai berikut:
a.       Memberi isyarat telunjuk sejak awal tasyahhud.
b.      Menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan, bukan atas bawah.
c.       Membukan jari-jari tangan kiri dan tidak menggenggamnya.
3.      Madzhab al-Syafi’iyyah
وَيَقْبِضُ مِنْ يُمْنَاهُ الْخِنْصَرَ وَالْبِنْصِرَ وَكَذَا الْوُسْطَى فِي الْأَظْهَرِ وَيُرْسِلُ الْمُسَبِّحَةَ وَيَرْفَعُهَا عِنْدَ قَوْلِهِ: إلَّا اللَّهُ وَلَا يُحَرِّكُهَا (النووي – منهاج الطالبين 28(
Artinya : “dan menggenggam kelingking serta jari manis tangan kanannya begitu juga jari tengah menurut pendapat yang masyhur dalam madzhb ini dan menjulurkan telunjuk lalu mengangkatnya ketika perkataan ‘illallah’ dan tidak menggerakkannya”. (Ian-Nawawi dalam Minhaj al-Thalibin hal. 28)

Ketentuan dalam madzhab Syafi’i terkait hal ini adalah:
a.       Jari kelingkin, jari manis dan jari tengah digengggam, telunjuk dibiarkan beserta jempol.
b.      Memberi isyarat telunjuk ketika kalimat “illallah”, sampai akhir tasyahhud.
c.       Memberi isyarat tanpa menggerak-gerakkannya.

4.      Madzhab al-Hanabilah
(ويشير بسبابتها) من غير تحريك (في تشهده) ودعائه في الصلاة وغيرها عند ذكر الله تعالى تنبيها على التوحيد (البهوتي – الروض المربع 84(

Artinya : “Dan memberi isyarat dengan telunjuk tanpa menggerak-gerakkan ketika tasyahhud dan doa dalam shalat atau selainnya ketika menyebut ‘Allah’ ta’ala sebagai bentuk kesadaran akan tauhid”. (al-Buhuti dalam al-Raudh al-Murbi’ hal. 84)

Berbeda dengan madzhab-madzhab pendahulunya, madzhab Imam Ahmad ini punya bahwa Memberi isyarat dengan telunjuk hanya pada momen di mana seorang muslim yang bertasyahhud mengucapkan kalimat “Allah”. Dan isyarat itu tidak terus menerus, akan tetapi langsung turun kembali dan diangkat lagi ketika membaca kalimat “Allah” lagi. Dan yang pasti ketika memberi isyarat dengan telunjuk, tidak disertai dengan gerak-gerak.

D.    Pengertian Sujud Syahwi
Sujud secara bahasa berarti menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala, sedangkan sahwu berarti meninggalkan sesuatu tanpa diketahui. Dan makna dari as-sahwu, asy-syak,dan an-nisyan memiliki makna sama menurut para ahli fiqh.[7] Sedangkan kalimat as-sahwu fi syaiun artinya meninggalkan sesuatu tanpa sengaja atau tidak tahu, sedangkan as-sahwu ‘an syaiin artinya meninggalkan sesuatu dengan sengaja. Kata an-naasi dan as-saahi memilki arti yang sama yaitu lupa, akan tetapi an-naasi jika diingatkan masih bisa ingat berbeda dengan as-saahi.[8]
Dalam kitab shohih fikih sunnah dijelaskan bahwa sujud sahwi menurut istilah adalah sujud yang dilakukan pada akhir sholat atau setelahnya untuk menutupi kekurangan karena tertinggalnya sesuatu yang diperintahkan atau melakukan sebagian perkara yang dilarang tanpa sengaja.

E.     Pendapat 4 Madzhab Tengang Penyebab dan Tempat Sujud Syahwi
1.      Penyebab Sujud Syahwi Menurut 4 Madzhab
 Sebab-sebab sujud sahwi sangatlah banyak sehingga tak heran jika didalamnya terdapat perbedaan pendapat.  Adapun para ulama berselisih pendapat dalam sebab-sebab sujud sahwi sebagai berikut:
a.      Madzhab Malikiyah
Menurut Malikiyah penyebab sujud sahwi terbagi menjadi 3 yaitu:[9]
1)         Adanya pengurangan, maksud dari pengurangan adalah meninggalkan sunnah muakkadah di dalam sholat baik sengaja ataupun lupa. Jika seseorang meninggalkan atau mengurangi secara sengaja maka sholatnya batal. Namun jika ia lupa melakukannya maka ia mengerjakannya sebelum lewat akan tetapi jika sudah lewat maka satu rakaat dibatalkan kemudian di qadha.
2)         Adanya penambahan, maksud dari penambahan ialah adanya sedikit penambahan gerak dalam sholat, baik penambahan itu termasuk dari bagian sholat atau tidak. Jika ini dilakukan maka sujud sahwi dilakukan setelah sholat. Adapun penambahan ucapan dalam sholat karena lupa dan ucapan itu termasuk dalam ucapan sholat maka di maafkan dan jika ucapan tersebut bukan dari bagian sholat maka ia harus melakukan sujud sahwi.
3)         Adanya pengurangan beserta penambahan, maksud dari pengurangan beserta penambahan secara bersamaaan adalah mengurangi sunnah meski bukan sunnah muakkadah serta melakukan penambahan, seperti seseorang tidak mengeraskan suara saat membaca surat dan menambahkan rakaat karena lupa maka sujudnya di lakukan sebelum salam karena menguatkan pengurangan daripada penambahan.
Akan tetapi siapa saja yang ragu akan bilangan rakaat sholat, maka dalam hal ini di ambil rakaat yang sedikit lalu melakukan sujud sahwi setelah salam, sebagaimana sabda Rasulullah :
عن عبد الله بن جعفر أنَ النبي صلى الله عليه و سلَم قال : من شكَ في صلاته فليسجد سجدتين بعد ما يسلَم (رواه أحمد وأبو دادود و النَسائى)

Artinya: Dari Abdulloh bin Ja’far, sesunggguhnya Rasulullah shollahu’alaihiwasallam bersabda: “Barangsiapa yang ragu terhadap bilangan raka’at sholatnya maka sujudlah dua kali setelah salam.”[10]
b.      Madzhab Hanifiyah
Menurut Hanafiyah dijelaskan beberapa penyebab melakukan sujud sahwi antara lain:[11]
1)      Sujud sahwi yang dilakukan karena kesengajaan ada 3 hal yaitu:
·         Sengaja meninggalkan atau mengakhirkan duduk iftirosy
·         Sengaja melakukan sujud dari raka’at pertama hingga akhir shalat
·         Sengaja berfikir sehingga menghabiskan masa kira – kira satu rukun
2)      Sujud  sahwi yang dilakukan karena lupa sehingga meninggalkan salah satu perkara wajib dalam shalat, terdapat pada 11 perkara: tidak membaca surat Al-fatihah pada 2 raka’at pertama shalat fardu, tidak membaca surat pada 2 raka’at pertama shalat fardu, mengacak-ngacak atau membolak-balik suara bacaan dalam shalat, Meninggalkan duduk iftirosy, tidak membaca tasyahud pada duduk tawaruk, tidak tertib dalam gerakan yang berulang dalam tiap satu raka’at, tidak tumaninah dalam rukuk dan sujud, mendahulukan membaca surat dari pada surat Al-fatihah atau semisalnya, tidak membaca qunut subuh, meninggalkan takbir do’a qunut, meninggalkan keseluruhan atau sebagian takbir - takbir dalam shalat ied , meninggalkan takbir rukuk pada raka’at ke-2 shalat ied karena itu hukumnya wajib berbeda dengan takbir pada raka’at pertama.
3)      Menambahkan gerakan dalam shalat yang tidak termasuk gerakan shalat , seperti melakukan rukuk 2 kali.

c.       Madzhab Syafi’Iyah
Menurut Syafi’iyah penyebab sujud sahwi adalah meninggalkan salah satu bagian dari sholat yang enam, yaitu: tasyahud awal, duduk tasyahud awal, qunut subuh dan akhir witir pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, berdiri ketika qunut, Shalawat atas Nabi shAllahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, dan shalawat atas keluarga nabi pada tasyahud akhir.[12] Sedangkan dalam kitab al-muhadzab dijelaskan bahwa sebab sujud sahwi karena adanya kekurangan dan penambahan, penambahan dalam hal perkataan atau perbuatan.
d.      Madzhab Hanbali
Sedangkan menurut Hanbali penyebab sujud sahwi dikarenakan penambahan seperti menambahkan gerakan dalam sujud, pengurangan seperti meninggalkan rukuk atau sujud, adapun ragu dalam urutan sholat seperti ragu dalam bilangan raka’at sholat. Pendapat ini seperti Syafi’iyah terjadi disebabkan lupa, tetapi jika sengaja maka sholatnya batal jika dalam gerakan dan sholatnya tidak batal jika dalam bacaan.[13]

2.      Tempat Sujud Syahwi Menurut 4 Madzhab
a.      Madzhab Malikiyah
Ulama Malikiyah berkata, sujud sahwi dilakukan sebelum salam jika sebabnya pengurangan dan pengurangan beserta penambahan. Adapun dilakukan setelah salam disebabkan karena adanya penambahan. Dalam sujud setelah salam diwajibkan untuk berniat, membaca takbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud , dan sunnahnya membaca tasyahud tanpa membaca do’a ataupun shalawat kemudian salam, tetapi salam termasuk wajib bukan syarat sedangkan takbir dan tasyahud hukumnya sunnah.[14]
b.      Madzhab Hanifiyah
Menurut Ulama Hanafiyah berpendapat,” sujud sahwi itu sunnahnya dilakukan setelah salam, baik lupa disebabkan penambahan atau pengurangan dalam sholat. Akan tetapi sujud sahwi boleh juga di lakukan setelah salam tanpa harus mengulangi sholat. Adapun sifat sujud sahwi dilakukan dua kali setelah salam pertama ke arah kanan, kemudian setelah itu wajib membaca tasyahud, solawat atas nabi, dan membaca doa dalam duduk setelah sujud sahwi, menurut pendapat yang shohih karena doa itu tempatnya paling akhir.[15]
c.       Madzhab Syafi’Iyah
Menurut Ulama Syafi’iyah sujud sahwi dilakukan sebelum salam.[16]  Adapun sifat sujud sahwi seperti sujud yang dilakukan dalam sholat dan membutuhkan niat dalam hati jika dilafadzkan maka sholatnya batal. Dan dalam sujud sahwi boleh membaca doa سبحان الله من لا ينام و لا سهو dan sebagian yang lain mengatakan bahwa berdoa seperti sujud dalam sholat.[17]
d.      Madzhab Hanbali
Menurut Hanbali sujud sahwi dilaksanakan sebelum salam dan juga setelah salam, baik hukumnya sunnah atau wajib. Akan tetapi dianjurkan sujud sahwi setelah seseorang telah salam dari sholatnya sebelum sholatnya sempurna. dan cukup bersujud dua kali walaupun telah melakukan banyak kesalahan karena lupa, walaupun berbeda waktu sujudnya dan kebanyakan tempatnya sebelum salam.[18] Adapun cara sujud sahwi dengan cara bertakbir dahulu, lalu sujud dua kali dan membaca  tasbih, takbir dan istighfar seperti halnya dalam sholat. Kemudian duduk iftirasy jika sholatnya dua rokaat, dan tawaruk jika sholatnya tiga atau empat rokaat.[19]
  Jumhur ulama sepakat bahwa sujud sahwi juga dilakukan dalam sholat sunnah sebagaimana sholat fardhu, karena keumuman penyebutan sholat dalam hadits-hadits yang berkaitan tanpa adanya pembeda antara sholat fardhu dan sholat sunnah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Bacaan qunut dibaca pada shalat subuh ketika iktidal pada rokaat kedua, dan qunut dibaca dengan mengangkat kedua tangan setinggi pundak. bacaan qunut sebagaimana yang di baca Nabi SAW.
2.      Bahwa Nabi SAW. Pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia.
3.      Qunut subuh adalah masalah khilafiyah, artinya para ulama berbeda pendapat dalam hal itu. Para ulama pengikut Imam Syafi’I mereka mengatakan bahwa qunut saat sholat subuh adalah sunnah ab’ad. Ulama pengikut Imam Abu Hanifa mengatakan jika qunut subuh itu tidak sunnah. Masing-masing mempunyai hujjah yang bersumber dari Rasulullah SAW.

Dalam hal menggerakkan telunjuk jari dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu :
1.      Madzhab Maliki dianjurkan ketika duduk tasyahud agar menekuk jari jemari kecuali telunjuk dan jempol tangan sebelah kanan, meluruskan telunjuk dan jempol, telunjuk ke arah bawah jempol, menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus ke kanan dan kiri dengan gerakan sedang.
2.      Madzhab Hanafi. Menunjuk dengan jari telunjuk sebelah kanan saja, andai terputus atau cacat tidak dapat digantikan jari yang lain dari jari jemari tangan kanan dan kiri ketika berakhir tasyahud. Jari telunjuk diangkat ketika menafikan Tuhan selain Allah pada ucapan: [Laa IlaHa], dan menurunkannya kembali ketika menetapkan ketuhanan Allah pada lafaz: [Illallah]. Dengan demikian maka mengangkat telunjuk sebagai tanda menafikan (Tuhan selain Allah) dan menurunkan telunjuk sebagai tanda menetapkan (Allah sebagai Rabb yang disembah).
3.      Madzhab Hanbali. Menekuk jari kelingking dan jari manis, melingkarkan jempol dan jari tengah, menunjuk dengan jari telunjuk pada tasyahud dan doa ketika menyebut lafaz Allah tanpa menggerakkannya.
4.      Madzhab Syafi’I. Menggenggam semua jari jemari tangan kanan, kecuali telunjuk, menunjuk dengan telunjuk pada lafaz: [Illallah], terus mengangkat telunjuk tanpa menggerakkannya hingga hingga salam pada tasyahud akhir, sembari memandang ke arah jari telunjuk selama waktu tersebut. Afdhal menggenggam jempol di samping telunjuk dan posisi jempol di tepi telapak tangan.

Sedangkan berdasarkan pembahasan diatas tentang sujud syahwi, dapat disimpulkan, sebagai berikuta:
1.      Sujud sahwi merupakan sujud yang dilakukan sebelum atau sesudah salam ketika seseorang mengurangi atau menambahkan gerakan atau bacaan dalam sholat.
2.      Pelaksanaan sujud sahwi ulama berbeda pendapat, adapun Malikiyah dilakukan setelah salam jika ada penambahan dan sebelum salam jika ada pengurangan, Syafi’iyah sebelum salam, Hanafiyah setelah salam, dan Hanabilah memilih antara dua perkara tersebut.
3.      Sebab dari sujud sahwi ialah adanya pengurangan, penambahan, dan keraguan dalam sholat. Adapun sifat sujud sahwi seperti sujud dalam sholat.






DAFTAR PUSTAKA


Abu Abdillah, Syekh Syamsudidin. Terjemah Fathul Qorib. (Surabaya Mutiara Ilmu, 2010)

Abu Abdillah, Syekh Syamsudidin. Terjemah Fathul Qorib. (Surabaya Mutiara Ilmu, 2019)

Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Asy-Syekh Zainudin. Fathul Mu’in. (Surabaya : Al-Hidayah)


Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, (Darul Haditsal-Qohiroh), Jilid 3

Manshur ar-rifa’i ‘ubaid, al-‘ibadat fi fiqhislam, Cet 1, (qohiroh:dar ats-tsaqofiyah linnasyar, 2001)

Muhammad Sulaiman Abdulloh Al-Asyqary, Al-Mujalla fi Fiqh Islamy, (Damaskus: Darul Qalam), Jilid 1

Qurratul Aeni dan Dewi, Mengenal Sholat Sunnat.2009. (Semarang : Aneka Ilmu, 2009)

Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Fiqh Islamy, (Damaskus:Darul Fikr), Jilid 1

-------, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Jild 2

Wahbah Zuhaili, Mausu’ah, Fiqh Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, (Damaskus: Darul Fikr) jild 2






[1] Abu Abdillah, Syekh Syamsudidin. Terjemah Fathul Qorib. (Surabaya Mutiara Ilmu, 2010), h. 119
[2] Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Asy-Syekh Zainudin. Fathul Mu’in. (Surabaya : Al-Hidayah), h. 98
[3] Abu Abdillah, Syekh Syamsudidin. Terjemah Fathul Qorib. (Surabaya Mutiara Ilmu, 2019), h. 201
[4] Qurratul Aeni dan Dewi, Mengenal Sholat Sunnat.2009. (Semarang : Aneka Ilmu, 2009), h. 27
[5] Abu Abdillah, Syekh Syamsudidin. Terjemah Fathul Qorib. h. 123
[7] Manshur ar-rifa’i ‘ubaid, al-‘ibadat fi fiqhislam, Cet 1, (qohiroh:dar ats-tsaqofiyah linnasyar, 2001),h. 122
[8] Wahbah Zuhaili, Mausu’ah, Fiqh Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, (Damaskus: Darul Fikr) jild 2, h. 89
[9] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Jild 2, h. 95
[10] Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, (Darul Haditsal-Qohiroh), Jilid 3, h. 124
[11] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Jilid 2, h. 100
[12] Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Fiqh Islamy, (Damaskus:Darul Fikr), Jilid 1, h. 210
[13] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Jilid 2, h. 100
[14] Ibid., h. 106
[15] Ibid.
[16] Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Fiqh Islamy, h. 210
[17] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, h. 107
[18] Muhammad Sulaiman Abdulloh Al-Asyqary, Al-Mujalla fi Fiqh Islamy, (Damaskus: Darul Qalam), Jilid 1, hal 133
[19] Ibid., h. 134

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "PERBANDINGAN FIQIH IBADAH EMPAT MADZHAB TENTANG QUNUT SUBUH, MENGGERAKAN JARI DALAM TASYAHUD DAN PENYEBAB DAN TEMPAT SUJUD SYAHWI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel