HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM
Assalamu’alaikum, Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik, serta Hidayah-Nya
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Penyelesaian tugas ini tentunya
penulis telah banyak mendapat bantuan dan arahan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen
Pengampu dan seluruh rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari dalam
penyusunan tugas ini masih banyak kekeliruan dan kesalahan, maka besar harapan
penulis agar kiranya semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk perbaikan tugas penulis kedepannya.
Demikian yang dapat penulis
sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi
penulis khusunya. Amin.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb
Metro, 21 Maret 2019
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR
ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan
Penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Hadis............................................................................. 2
B.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran...................................................... 6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 9
B.
Saran.................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 10
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan
cerita(khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadist ialah “segala
ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan
tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi pengertian hadits hanya pada
”Segala perkataan, segala perbauatan dan segala taqrir Nabi Muhammah SAW, yang bersangkut
paut dengan hukum.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang
kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam
realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an
membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja atau bahkan tidak
dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan
merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah.
Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari
Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah
Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
C. Bagaimana kedudukan Hadis?
D. Bagaimana Fungsi Hadis terhadap Al-Quran?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
kedudukan Hadis
2.
Dapat mengetahui Fungsi
Hadis terhadap Al-Quran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Hadis
Seluruh umat Islam, tanpa terkecuali, telah sepakat bahwa hadis
merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam. Ia menempati kedudukannya
sangat yang penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadis bagi umat
Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena hadis merupakan mubayyin
terhadap AL-Quran. Tanpa memahami dan menguasai hadis, siapa pun tidak akan
bisa memahami Al-Quran. Sebaliknya, siapa pun tidak bisa memahami hadis tanpa
memahami Al-Quran karena Al-Quran merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya berisi garis besar syariat, dan hadis merupakan dasar hukum kedua,
yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Quran. Dengan demikian,
antara hadis dan Al-Quran memiliki katian yang sangat erat, yang satu sama lain
tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut kedudukan hadis dalam Isalm tidak dapat
diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik di dalam Al-Quran maupun
dalam hadis Nabi Muhammad SAW, seperti diuraikan dibawah ini.[1]
1.
Al-Quran
Banyak ayat
Al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang disampaikan oleh rasul kepada ummatnya untuk dijadikan pedoman hidup
diantara ayat-ayat dimaksud adalah:
Firman Allah
SWT:
$¨B tb%x. ª!$# uxuÏ9 tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4n?tã !$tB öNçFRr& Ïmøn=tã 4Ó®Lym uÏJt y]Î7sø:$# z`ÏB É=Íh©Ü9$# 3 $tBur tb%x. ª!$# öNä3yèÎ=ôÜãÏ9 n?tã É=øtóø9$# £`Å3»s9ur ©!$# ÓÉ<tGøgs `ÏB ¾Ï&Î#ß `tB âä!$t±o ( (#qãYÏB$t«sù «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur 4 bÎ)ur (#qãYÏB÷sè? (#qà)Gs?ur öNä3n=sù íô_r& ÒOÏàtã ÇÊÐÒÈ
Artinya: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang
yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang
buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa
yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. karena itu berimanlah kepada
Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu
pahala yang besar”. (QS. Ali Imran (3): 179).
Dalam ayat lain
Allah SWT berfirman:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur (
bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya: “Katakanlah ! "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS.
Ali-Imran (3) 32).
2.
Al- Hadis
Dalam
salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis
sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran sebagai pedoman umatnya, beliau
bersabda:[2]
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ
وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ (رواه لحكم)
“Aku
tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpgang kepada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah Rasul-Nya.”
(H.R. Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lain,
Rasulullah SAW, bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ الْمَهْدِيِّيْنَ
تَمَسَّكُوْابِهَا (رواه أبوداود)
Kalian wajib berpegang
teguh dengan Sunahku dan Sunah khulafar-Rasidin yang mendapat petunjuk, berpegang
teguhlan sekalian deganya...” (H.R Abu Dawud).
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa
Nabi SAW diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan diwajibakan kita berpegang teguh pada
keduannya, serta mengambil yang ada pada sunnah seperti mengambil pada
Al-Kitab. Masih banyak hadis lainnya yang menegaskan tentang kewajiban
mengikuti perintah dan tuntutan Nabi SAW.[3]
3.
Ijma’
Seluruh umat
Islam telah sepakat untuk mengamalkan hadis. Bahkan, hal itu mereka anggap
sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT, dan Rasul-Nya yang terpercaya.
Kaum muslimin menerima hadis seperti menerima Al-Qur’an Al-Karim karena
berdasarkan penegasan dari Allah SWT bahwa hadis merupakan salah satu sumber
ajaran Islam. Allah juga memberikan kesaksian bagi Rasulullah SAW bahwa beliau
mengikuti apa yang diwahyukan.[4]
Banyak
peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum
Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa dibawah ini:
a.
Ketika
Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikit
sesuatu yang diamalkan/ dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b.
Saat
Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata: “Saya tahu bahwa engaku dalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu”.
c.
Pernah
ditanyakan kepada ‘Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam
Al-Quran. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW
kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat
sebagaimana kedudukanya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
d.
Diceritakan
dari Sa’id bin Musayyab bahwa ‘Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah
dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.[5]
4.
Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi
Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban
misinya itu, kadang-kadang, beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima
dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinnya dan kadang kala atas inisiatif
sendiri dangan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau
membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk
oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap
berlaku sampai ada nas yang menasakhnya.
Bila kerasulah
Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala
peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau
ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan
sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika
kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan
mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.[6]
Dari uraian
diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber
ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran. Sedangkan bila
dilihat dari segi ke hujjahan-nya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali
hadis yang mutawatir.
B.
Fungsi Hadis Terhadap Al-Quran
Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan satu kesatuan. Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama banyak
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran
hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi Al-Quran tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan
Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS.
An-Nahl (16): 44).
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan)
Al-Quran itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi,
yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts,
bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan
al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’ dan bayan
al-nasakh. Dalam “Al-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Imam
Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fugsi yaitu bayan al-ta’kid, bayan
al-tafsi, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish.[7]
Dalam hubungannya dengan Al-Quran, hadis berfungsi sebagai
penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Quran tersebut. Apabila
disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungannya dengan Al-Quran adalah
sebagai berikut:
1.
Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud
dengan bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal,
dan musytarak. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan
perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang
masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan
memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.
Di antara
contoh bayan at-tafsi mujmal adalah seperti hadis yang menerangkan ke-mujmal-an
ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan
haji. Ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih
bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan
shalat, namun Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak
menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tetang
kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW.
2.
Bayan At-Taqrir
Bayan
at-taqrir atau sering juga disebut dengan bayan
at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadis yang berfungsi untuk
memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Quran. Dalam hal ini, hadis hanya
berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Quran.
3.
Bayan At-Tasyri’
Yang dimaksud
dengan Bayan Al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam Al-Quran, atau al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya
(ashl) saja.
Hadis-hadis
Rasul SAW yang termasuk kedalam kelompok ini, di antaranya tentang penetapan
haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya),
hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum
tentang hak waris bagi seorang anak.[8]
4.
Bayan An-Nasakh
Secara bahasa, an-nasakh
bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan),
at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir naskh dari segi
kebahasaan.
Para ulama,
baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam
mendifinisikan bayan an-naskh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan di
antar amereka dalam mendefinisikan kata naskh dari segai kebahasaan.
Menurut Ulama mutaqaddimn,
yang dimaksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang
datang kemudian. Dari pengertian tersebut, menurut ulama yang setuju adanya
fungsi bayan an-nasakh, dapat dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan
yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Quran
yang datang kemudian.
Di antara ulama
yang membolehkan adanya naskh hadis terhadap Al-Quran, juga berbeda
pendapat dalam macam hadis yang dapat dipakai untuk men-naskh Al-Quran.
Dalam hal ini mereka terbagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama,
yang membolehkan men-naskh Al-Quran dengan segala hadis,
meskipun hadis ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para
ulama mutaqaddimin dan Ibn Hasm serta sebagian besar pengikut Zhahiriah.
Kedua,
yang membileh me-naskh dengan syarat hadis tersebut harus mutawatir.
Pendapat ini di antaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga,
ulama yang membolehkan me-naskh dengan hadis masyhur, tanpa
harus dengan Mutawatir. Pendapat ini di antarannya dipegang oelh ulama Hanifiyah.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah
Al-Quran sebagai sumber utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaran-
ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah
beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis
harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang
menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam
beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur’an, dalil
Hadits, Ijma’ dan Ijtihad. Kehujjahan hadits dapat dipahami dari 7 aspek yaitu:
Ishmah, sikap sahabat terhadap sunnah, Al-Qur’an, Al- Sunnah, Kebutuhan
Al-Qur’an terhadap al-sunnah, realitas – sunnah sebagai wahyu dan Ijma’
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu: bayan tafsir, bayan taqrir,
bayan tasyri’ dan bayan an-nasakh.
B.
Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini. Harapan penulis untuk
mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa
difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para
pembaca, khususnya dari Bapak Dosen yang telah membimbing kami dan para
Mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2009), Cetakan Ke-I
Suprata Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014), Cetakan Ke-9
[1] Agus Solahudin
dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009),
Cetakan Ke-I, hal. 73
[2] Suprata
Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), Cetakan
Ke-9, hal.53
[3] Agus Solahudin
dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, hal. 76-77
[4] Ibid., hal.
77
[5] Suprata
Munzier, Ilmu Hadis,hal. 56
[6] Ibid.,hal.
57
[7] Suprata
Munzier, Ilmu Hadis,hal. 58
[8] Suprata
Munzier, Ilmu Hadis,hal. 64
[9] Agus Solahudin
dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis,hal. 85
0 Response to "HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM"
Posting Komentar