ASAS KURIKULUM





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa. Oleh karena itu pentingnya fungsi dan peranan kurikulum, maka setiap pengembangan kurikulum pada jenjang mana pun harus didasarkan pada asas-asas tertentu.
Fungsi asas atau landasan pengembangan kurikulum adalah seperti pondasi sebuah bangunan. Layaknya membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga harus didasarkan pada pondasi yang kuat. Kesalahan penentuan dan penyusunan pondasi kurikulum juga berarti kesalahan dalam menentukan kebijakan dan implementasi pendidikan.[1]
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimanan cara mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengembangkan isi dan bahan pelajaran serta bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menentukan tujuan erat kiatanya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakat.
Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum, misalnya arah dan tujuan pendidikan, pandangan serta hakikat belajar dan hakikat ank didik, pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum dan lain sebagainya. Berdasarkan orientasi itu selanjutnya dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran pedoman pembejaran,
Orientasi pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut enam aspek, yaitu:[2]
1.   Tujuan pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya, hendak dibawa kemana siswa yang kita didik itu.
2.   Pandangan tentang anak. Apakah anak dianggap sebagai organisme yang aktif atau pasif.
3.   Pandangan tentang proses pembelajaran. Apakah proses pembelajaran itu dianggap sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah perilaku anak.
4.   Pandangan tentang lingkungan. Apakah lingkungan belajar harus dikelola secara formal, atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas belajar.
5.   Konsepsi tentang peranan guru. Apakah guru harus berperan sebagai instruktur yang bersifat otoriter, atau guru dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi bimbingan dan bantuan pada anak untuk belajar.
6.   Evaluasi belajar. Apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes atau nontes.

B.     Asas Filosofis
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “Sophia”. Philos artinya cinta yang mendalam dan Sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Filssafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.[3]
Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti dalam penyusunan kurikulum hendaknya berdasar dan terarah pada falsafah bangsa yang dianut. Dalam hal ini prinsip-prinsip ajaran filsafat yang dianut oleh suatu bangsa seperti pancasila, kapitalisme, sosialisme, komunisme dan sebagainya dapat digolongkan sebagai falsafah dalam arti (produk) sebagai pandangan hidup atau falsafah dalam arti praktis. Dalam penyusunan kurikulum di Indonesia yang harus diacu adalah filsafat pendidikan Pancasila. Filsafat pendidikan dijadikan dasar dan terarah, sedang pelaksanaannya melalui pendidikan.
Jadi, asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara. Perbedaan filsafat suatu negara menimbulkan implikasi yang berbeda di dalam merumuskan tujuan pendidikan, menentukan bahan pelajaran dan tata cara mengajarkan, serta menentukan cara-cara evaluasi yang ditempuh. Apabila pemerintah bertukar, tujuan pendidikan akan berubah sama sekali. Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara. Mengapa filsafat sangat diperlukan dalam dunia pendidikan? Menurut Nasution (2008: 28), filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni: Filsafat pendidikan menentukan arah kemana anak- anak harus dibimbing.[4]
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu:[5]
1.   Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan.
2.   Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
3.   Filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan karena filsafat dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran.
4.   Memalalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
C.     Asas Psikologis Dan Anak Didik
1.   Asas Psikologis
Asas psikologis memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek serta cara belajar agar bahan yang disediakan dapat dicerna dan dikuasai oleh anak sesuai dengan taraf pengembangannya.[6]
Kurikulum disajikan dalam bentuk pengalaman-pengalaman belajar yang harus sesuai/selaras dengan perkembangan anak dalam belajar, sehingga setelah dilaksanakan disekolah-sekolah hasilnya dapat dipergunakan dalam kehidupan masyarakatnya. Pertimbangan psikologis dalam menyusun suatu kulikulum dimaksudkan agar masalah-masalah tentang pengertian belajar dan teori belajar, serta ciri-ciri anak didik dijadikan landasan dasar penyusunan kurikulum sekolah.[7]
a.    Pengertian Belajar
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman dan latijhan. Sehingga suatu kurikulum sekolah sudah seharusnya berisi pengalaman-pengalaman belajar dan latihan-latihan yang banyak, dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian diharapkan agar anak dapat berperan sesuai dengan keinginan masyarakat dan berperan sesuai dengan keinginann pribadinya, yaitu mengembangkan sendiri dan memiliki sendiri peranan yang dianggap cocok. Dengan demikian belajar dapat diartikan sebagai proses yang sedang berlangsung dan hasilnya dari kegiatan belajar itu sendiri berupa perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku.[8]
b.   Teori Belajar
Teori tentang proses belajar akan mempunyai pengaruh penyusunan dan penyajian kurikulim secara efektif, serta pemilihan penyajian bahan pelajaran yang harus disajikan dihadapan siswa. Secara psikologis belajar merupakan proses jiwa yang di dalamnya terdapat fungsi-fungsi jiwa yang mana fungsi-fungsi tersebut daoat dilatih dan dapat saling berkaitan atau berasosiasi dengan fungsi jiwa lainnya.[9]
Terdapat bermacam-macam teori belajar, dan setiap teori menjelaskan aspek-aspek tertentu dalam belajar serta dijadikan landasan belajar dalam menyusun kurikulum sehingga akan mewarnai kurikulum yang dikembangkan. Ada tiga teori belajar dalam ilmu jiwa, yaitu:

1)   Teori Belajar Ilmu Jiwa Daya Atau Psikologi Daya
Teori belajar dalam ilmu jiwa/ psikologi daya disebut juga teori belajar psikolog humanistik, yang beranggapann bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Konsep teori ini memandang bahwa otak manusia terdiri dari sejumlah daya (kemampuan potensial) yang beraneka ragam, seperti menalar, mengingat, menghayal fantasi, yang dapat dikembangkan dengan latihan.
Menurut teori ini penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi yang ada pada diri mereka. Teori belajar ini banyak menekankan pembentukan daya mental tertentu dalam menentukan isi kurikulum, tidak banyak mempersoalkan tentang bentuk atau jenis bahan apa yang dijadikan isi kurikulum, tetapi yang paling penting adalah fungsi dalam membentuk daya mental tertentu. Kesulitan dalam menerangkan teori ini adalah dalam menentukan jenis bahan pelajaran apa yang terbaik untuk melatih, membentuk atau mengembangkan otak.[10]
Proses belajar mengajar yang paling menonjol dalam menerapkan teori psikologi daya ini adalah melalui praktek dan latihan, seperti dalam memecahkan soal-soal, menghafal dan mengarang dan tentang transfer (pengalihan) dalam belajar dipandang sebagai sesuatu yang bersifat otomatis.
2)   Teori Belajar Ilmu jiwa Asosiasi Atau teori S-R
Teori ini dikembangkan oleh para psikologi behavioristik; mereka sering disebut “S-R Psikologist”. Mereka berpandangan bahwa manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari hubungan (asosiasi/koneksi) dengan respons (R) tertentu. Belajar dalam hal ini adalah membentuk sejumlah ikatan/ jalinan stimulus respons pada individu.untuk membentuk assosiasi itu perlu dilakukan latihan secara mekanis, misal dengan cara tanya jawab.
3)   Teori Belajar Ilmu Jiwa Gasalt Atau Psikologi Gasalt
         Teori ini dekemukakan oleh Koffa dan Kohler dari Jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu di dahului oleh keseluruhan. Dalam belajar, menurut teori Gasalt yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-halyang harus di pelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan.
2.   Anak Didik atau Peserta Didik
Peserta didik dalam belajar di sekolah akan lebih senang jika bahan pelajaran yang diberikan guru sesuai dengan kebutuhan diri anak sesuai tingkat perkembangannya. Kebutuhan anak secara garis besar ada dua yaitu: kebutuhan psikologis (seperti di nyatakan dalam keinginan, harapan, minatnya, masalahnya dan tujuan yang diinginkan), dan kebutuhan sosial (seperti tuntutan masyarakatnya sebagai orang dewasa ingin menyelesaikan diri dengan kehidupan masyarakatnya).
Atas kebutuhan anak tersebut, maka kurikulum yang di dasarkan pada kebutuhan psiko-biologis akan anak cenderung menjadi kurikulum Child centered curriculum. Sedangkan kurikulum yang di dasarkan pada kebutuhan menjadi kurikulum jenis Adult centered Curriculum atau Society Centered Curriculum. Kurikulum tersebut sering bertalian dan senantiasa bermakna bagi anak. Kebutuhan tersebut menurut penelitian psikologis sesuai dengan perkembangan fisik, intelektual dan moral.
Perkembangan intelektual anak, ada empat taraf, yakni:[11]
a.    Taraf sensori-motoris; (bayi sampai umur 18 bulan), yakni mengasimilasi perangsang sensoris dan menyesuaikan dengan benda-benda di sekitarnya, dan mengembangkan struktur mental untuk memanipulasi benda-benda.
b.   Taraf pra-operasional (18 bulan sampai 7 tahun), anak melatih pengamatan, dan dapat membayangkan dan menggunakan kata-kata untuk melambangkannya.
c.    Taraf operasi konkrit (usia 7 tahun sampai 11 tahun), mulai berfikir logis. Ia telah dapat melihat sekaligus beberapa faktor dan mengkombinasikannya dengan berbagai cara, dan mengerti panjang, luas, isi dan berat.
d.   Taraf operasi formal, kemampuan menggunakan pikiran logis dan menerapkan aturan-aturan atau prinsip-prinsip dalam situasi yang lebih abstrak (usia 11 tahun ke atas). Ia mulai sanggup mengajukan hipotesis, mengujinya dan merumuskan kesimpulan.
Perkembangan moral; ada empat tingkat perkemabangan berdasarkan penelitian Lawrence Kohlberg, yakni:
a.    Tingkatan pra konvensional, anak memberi reaksi terhadap perbuatan orang lain yang dinilainya buruk atau baik.
b.   Tingkatan konvensional, yakni anak mulai berpegang pada aturan, berbuat untuk menyenangkan orang lain, mengharap pujian biloa ia mematuhi peraturan.
c.    Tingkatan post konvensional, yakni berpegang pada hukum yang disetujui bersama yang dituangkan dalam peraturan atau undang-undang.
d.   Tingkatan prinsip etika universal, yakni berpegang pada kata atau hati nuraninya, seperti yang berkenaan dengan keadilan dsn persamaan hak.
D.    Asas Sosiologis
Asas sosiologis mempunyai peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa apa saja di muka bumi ini. Suatu kurikulum, pada prinsipnya mencemirkan keinginan, cita-cita, tertentu dan kebutuhan masyarakat. Sudah sewajarnya kalau pendidikan memperhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti member jawaban atau tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan pada saat tertentu.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu dengan individu, antar golongan, lembaga sosial yang disebut juga ilmu masyarakat. Dunia sekitar merupakan lingkungan hidup bagi manusia. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama hingga mereka mengatur diri mereka sendiri dan menganggap sebagai suatu kesatuan sosial. Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan asyarakat. Maka kurikulum sekolah dalam penyusunan dan pelaksanaan banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang berkembang dan selalu berubah di dalam masyarakat.[12]
Dari sudut pandang sosiologis sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan didalamnya dapat dilihat sebagai bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat yakni:[13]
1.      Mengadakan refisi dan perubahan sosial
2.      Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah
3.      Mendukung dan turut member kontribusi kepada pembangunan
4.      Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional
5.      Mengeksploitasi orang banyak demi kesejahteraan golongan elite
6.      Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh pemerintah terdahulu
7.      Mendukung kelompok-kelompok tertentu, antara lain kelompok militer, industry, atau politik
8.      Menyebarkan falsafah,politik atau kepercayaan tertentu
9.      Membimbing dan mendisiplin jalan fikiran generasi muda
10.  Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
11.  Mendidik generasi muda agar menjadi warga negara nasional dan warga dunia
12.  Mengajarkan ketrampilan pokok, misalnya membaca, menulis dan berhitung, dan
13.  Memberikan ketrampilan dan berhubungan dengan mata pencaharian.
Aspek-aspek lain yang turut memberikan pengaruh mengenai apa yang harus dimasukkan kedalam kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan masyarakat (the need of society) antara lain:
1.   Interaksi yang kompleks antara kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi, militer, industry dan cultural dalam masyarakat
2.   Kekuatan-kekuatan sebagaimana diungkapkan diatas dominan dibagian dunia lainnya yang erat hubungannya dengan negara bersangkutan dan
3.   Pribadi pimpinan dan tokoh-tokoh yang memegang kekuasaan formal dan informasi diberbagai lapisan masyarakat.                                                
Berkaitan dengan hal-hal diatas maka para pengembang kurikulum, memiliki tugas-tugas atau tanggung jawab untuk:
1.   Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, peraturan, keputusan pemerintah, dan lain-lain.
2.   Menganalisis masyarakat dimana sekolah berada
3.   Menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja
4.   Menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup kepentingan masyarakat.
Dalam mengambil suatu keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal, merespon terhadap bebrbagai kebutuhan yang dilontarkan atau diusulkan oleh beragam golongan dalam masyarakat dan pemahaman atas tuntutan pencantuman nilai-nilai falsafah pendidikan bangsa dan berkaitan dengan falsafah pendidikan yang berlaku.
Kadangkala para pengembang kurikulum akan menghadapi bermacam kendala, antara lain ketentuan-ketentuan pemerintah yang hingga pada taraf tertentu akan membatasi keputusan yang diambilnya.
Barangkali tantangan-tantangan yang dihadapi para pengembang akan beragam menurut tingkat kesulitan dan jenjang pendidikan yan ada, tentu tingkat kesulitan pada tingkat perguruan tinggi tidak serumit pada tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah. Meskipun demikian prinsip dasar dalam pengembangan kurikulum tetap diberlakukan sama. Kurikulum sedapat mungkin dibangun dan dikembangkan dengan tetap merujuk pada asas kemasyarkat, berikut dengan kebutuhan-kebutuhan pada zamannya.

E.     Asas Organisatoris
Asas ini berkenaan dengan masalah bagaimana bahan pelajaran akan disajikan. Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bentuk broad field atau bidang studi seperti IPA, IPS, Bahasa, dan lain-lain. Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran (dalam bentuk kurikulum terpadu).
Penganut ilmu jiwa asosiasi akan memilih bentuk organisasi kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran, sedangkan penganut ilmu jiwa Gestalt akan cenderung memilih kurikulum terpadu. 8 Ilmu jiwa asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama dengan jumlah bagian-bagiannya, cenderung memilih kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran, yang dengan sendirinya akan terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu jiwa Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan karena keseluruhan itu bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat.[14]
Di samping pendekatan organisasi bahan pelajaran yang dipilih dengan serasi, tujuan dan sasaran kurikulum pada dasarnya disusun: dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang kongkrit kepada yang abstrak, dan dari ranah (domain), tingkat rendah kepada yang lebih tinggi, kognitif, efektif, maupun psikomotor.
Sebagai konklusi dari uraian asas organisatoris tersebut, maka ada 3 (tiga) hal utama yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.   Tujuan bahan pelajaran
2.   Sasaran bahan pelajaran
3.   Pengorganisasian bahan pelajaran.



[1] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2008), hlm 31.
[2] Ibid., hlm 33
[3] Ibid., hlm 42
[4] Moh. Yamin. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Jakarta: Diva Press, 2009), hlm 65
[5] Wina Sanjaya, op. cit. hlm 43
[6] Ahmad M. dkk, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 15
[7] Chasanatin, Haiatin, 2015, Pengembangan Kurikulum, Metro:STAIN Jurai Siwo Metro, hal 34
[8] Ibid, hal 35
[9] Ibid,
[10] Ibid., hlm 37
[11] Ibid., hlm 39
[12] Moh. Yamin. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Jakarta: Diva Press, 2009), hlm 120
[13]Chasanatin, Haiatin. op, cit.. Hlm 28
[14] Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. Th 2009. Hal 127.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "ASAS KURIKULUM"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel